Senin, 20 Januari 2014

UNSUR RELIGIUS “ROMAN DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”

1
UNSUR RELIGIUS
“ROMAN DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH” KARYA HAMKA
DITINJAU DARI SUDUT PSIKOLOGI, PHISIK,DAN SOSIOLOGI
Oleh : Mohammad Zuhdi
Abstract
Roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” by Hamka is suitable to use as
learning material of Indonesian, especially the learning of literate
appreciation. We can take many lessons from this roman. Students
can sowe the problem if they face problem in “love” related to their
age as “teenagers” it is because the religious co mponents explicitly
in this roman
Key words: -Roman
-Relegous
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Bukan dikatakan ilmu bila suatu pengetahuan tidak membawa
manfaat bagi kehidupan manusia, di samping syarat -syarat lain yang
menjadi standar apakah suatu pengetahuan itu dapat dikatakan ilmu
atau bukan ilmu. Demikian juga karya sastra, yang di sebut ilmu
sastra, di samping membawa manfaat bagi manusia juga memenuhi
syarat lain untuk dapat dikatan sebagai ilmu. Syarat lain yang
dimaksud adalah misalnya, memiliki teori sendiri, kritik sendiri,
sejarah sendiri. Gubahan atau hasil karya sastra yang lain dapat
mempengaruhi pembacanya, baik cara berfikir, cara berperilaku,
menilai baik dan buruk serta mengenai benar dan salah.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Alfon Taryadi dalam
bukunya “ Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra dan Kemampuan
2
Bahasa” karangan Suyitno bahwa kegunaan sastra antara lain
adalah:
a. Merupakan salah satu sarana yang ampuh untuk memanusiakan
diri dan lingkungan kita.
b. Dapat memperkaya wawasan kita tetang kehidupan, menggugah
kecintaan kepada hidup, merangsang kreatifitas dan semangat
untuk menyempurnakan diri.
c. Menumbuhkan kepercayaan diri dan memupuk rasa identitas
sebagai bangsa.(2005:1)
Sedangkan A. Teew mengemukakan dalam bukunya
“Khasanah Sastra Indonesia”, bahwa: Sastra sebagai jalan ke -empat
ke kebenaran adalah pemakaian bahas a yang di mana-mana kita
dapati, di samping agama ilmu pengetahuan, dan filsafat. (2002:7)J.
Culler mengemukakan dalam buku “Kritik Sastra” karangan Mursal
Esten, bahwa roman bertindak sebagai model lewat mana
masyarakat membayangkan diri sendiri, penutura n, dan lewat mana
disendikan dunia.(1994:229) Bertolak dari berbagai pendapat para
tokoh sastra tersebut di atas dapat disimpulkan, betapa ilmu sastra
sangat bermanfaat bagi manusia dalam memperoleh wacana,
bagaimana menyikapi hidup dan kehidupan agar perj alanan hidup ini
menjadi lebih bermanfaat, lebih bijak dan sesuai dengan arti falsafah
hidup, dan kehidupan ini.
Bertolak dari paparan di atas penulis ingin mengaitkan isi roman
“Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka ini dengan pembelajaran
apresiasi sastra pada siswa, Penulis berasumsi, bahwa kondisi siswa
yang pada umumnya mereka masih membutuhkan arahan,
bimbingan dan teladan dalam memilih jalan hidup dan identitas diri.
agar jalan hidup mereka berada di jalan yang benar dan bijak dalam
mengarungi kehidupan. Roman yang banyak menampilkan perilaku
positif dari tokoh utama dengan sifat yang religius ini , menurut penulis
penting dan sangat bermanfaat sebagai renungan bagi siswa yang
3
menginjak dewasa, karena bukan tidak mungkin suatu saat mereka
akan mengalami masalah sebagaimana yang diceritakan dalam
roman ini. Atau paling tidak mereka memiliki strategi sebagai
antisipasi bagaimana memilih jalan hidup yang baik bila suatu saat
mereka menemui masalah semacam itu.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan roman ini bagi siswa adalah:
a. Untuk mengetahui sejauh mana unsur Relegius yang ada pada
roman “Di bawah Lindungan Ka’bah” ini.
b. Untuk dipakai sebagai teladan dan wawasan bagi para siswa
dalam mengarungi hidup mereka.supaya terhindar dari hal -hal
yang negative.
c. Untuk mengetahui gambaran kebudayaan masyarakat pada masa
lalu.
1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan roman ini di bagi dua
yaitu manfaat bagi siswa dan manfaat bagi guru
a. Manfaat bagi siswa adalah :
- Siswa mengetahui unsure reli gius yang terdapat roman
tersebut
- Siswa dapat mengambil contoh dari isi roman itu untuk
dijadikan wawasan dalam mengambil kebijakan yang benar
dalam masalahyang serupa.
- Siswa mengetahui budaya masyarakat pada jaman dulu.
b. Manfaat bagi guru adalah;
- Guru dapat mempersiapkan strategi pembelajaran Apresiasi
sastra dengan baik.
- Guru dapat melakukan proses KBM dengan mengaitkan isi
roman itu dengan kondisi siswa yang sedang menginja k
dewasa.
- Guru dapat mendoktrin unsure religious pada siswa melalui isi
cerita dari para tokoh roman tersebut.
4
1.4 Landasan Teori
Untuk menganalisis roman ini, penulis menggunakan teori M.S.
Hutagalung dan teori yang digunakan Suyitno. Adapun teori y ang
digunakan M.S. Hutagalung adalah sebagai berikut:
Dalam membangun watak tokoh -toko suatu cerita beliau
mengemukakan tiga sudut pandang, yaitu:
a. Sudut Psikologis
Aspek yang masuk dalam sudut ini adalah termasuk: cita-cita,
ambisi, kekecewaan, kecakapan, dan temperamen seseorang.
b. Sudut Phisik
Aspek yang masuk dalam sudut phisik ini adalah: kelainan jenis,
tampang muka, dan cacad tubuh.
c. Aspek Sosiologi
Aspek yang termasuk dalam sudut sosiologi ini adalah: lingkungan
masyarakat, kepangkatan seseorang, agama, kebangsaan dan
sebagainya.(2008; 63)
Untuk aplikasi pembelajaran, penulis menggu nakan teori yang
dikemukakan Suyitno, yang mengemukakan empat langkah dalam
proses pembelajaran apresiasi sastra, ke -empat langkah itu adalah
sebagai berikut:
a. Guru harus mempunyai sifat yang menyenangi sastra
b. Guru harus menguasai ilmu sastra
c. Guru harus memahami hakekat dan tujuan sastra
d. Guru memiliki kemampuan mengapresiasi sastra. (2005:13)
5
BAB II
Tinjauan Umum
2.1 Biografi Pengarang dan Karyanya
Berdasarkan buku yang berjudul “Hamka Sebagai Pengarang
Roman” yang ditulis oleh (Yunus Amir Hamzah, 2004 ) dan buku
“Leksikon Kesusastraan Modern” (Pamusuk, 1994 ) di bawah ini
penulis uraikan secara singkat riwayat hidup Hamka dengan hasil
karyanya.
Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Karim Amrullah. Di
samping nama singkatan ini, dikenal juga nama samarannya: AS
Hamid, Indra Maha dan Abu Zaki. Ia dilahirkan di Sungai Batang,
Maninjau, Smatera Barat pada tanggal 16 Pebruari 1908. Ayahny a
seorang Ulama’ Islam yang terkenal di Sumatera Barat yaitu Doktor
Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA). Dia pembawa pembaharu Islam
di Minangkabau.
Di saat Hamka masih kecil, perguruan agama Islam di
Minangkabau sudah cukup maju, banyak para penunt ut agama
dating ke situ ( Minangkabau). Sebagai gurunya waktu itu adalah
Syeh Ibrohim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan
Zaenuddin Lebbay, yang dipimpin ayah Hamka sendiri. Hamka
sebagai seorang Minangkabau, memang mendengar dan membaca
juga pantun-pantun, kaba-kaba, dan cerita-cerita rakyat
Dalam usia enam tahun, Hamka disekolahkan oleh ayahnya ke
Padang Panjang dan di sekolahkan di sana, pagi sekolah dan sore
harinya mengaji Al-qur’an pada Ayahnya sendiri hingga tamat. Dari
tahun 1916 sampai tahun1923 dia belajar ilmu agama pada sekolah
Diniyah di Thowalib Padang Panjang dan Parabek.
Penderitaan pada masa kecil yang disebabkan perceraian
Ayah dan Ibu kandungnya sangat berpengaruh pada Hamka.Akibat
6
dari perceraian itu, Hamka yang pad a waktu kecil dipanggil Si Malik
menjadi anak yang terlunta-lunta. Semua itu meresap dalam diri
Hamka dan kemudian nampak pada dalam karya sastranya. Setelah
beliau menguasai bahasa Arab, beliau menjelajahi hasil -hasil sastra
Arab. Segera beliau kenal deng an nama-nama Manfaluti, Abduh,
Mustofa Sadik Rafi’I, Zaki Mubarok dan lain -lain. Kesemuanya itu
membri corak dan arah pada jiwa Hamka.
Pada Tahun 1924, ia berangkat ke Yogyakarta dan mulai
mempelajari pergerakan-pergerakan Islam yang pada waktu it u ia
sedang berkelana. Ia dapat kursus dar HOS Cokroaminoto, H.
Fahruddin, Suryo Pranoto dan lain -lain.
Pada tahun 1925 ia pulang ke Padang Panjang. Pada saat
itulah tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula -mula
dikarang berjudul “Khotibul Ummah” . Pada tahun 1927 beliau
berangkat ke Makkah menunaikan ibadah Haji, Pengalamn naik haji
inilah rupanya yang menjadi ilham yang dikemudian hari dituangkan
dalam roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah”.
Pada tahun 1928 keluarlah buku ceritanya yaitu “Si Sabariyah”
di samping buku “Perempuan”, “Adat Minangkabau dan Agama
Islam”
Pada waktu ia pindah dari Makasar tahun1932 diterbitkan “Al -
Mahdi”, berkat pengalamannya terhadap masyarakat Bugis itulah
terjalin kebudayaan Bugis dan Padang, sementara itu muncullah
roman nya yang kedua yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Vander
Wijck”.Kemudian pada tahun itu juga ia pergi ke Medan dan
Melahirkan Novel yang berjudul “Merantau Ke Deli”
Pada tahun 1950 beliau pindah ke Jakarta . Selama 25 tahun
telah dituisnya tidak kurang dar 60 buku. Pada tahun itulah diangkat
pemerintah menjadi anggoa Badan Pertimbangan Kebudayaan dari
kementerian PPdan K .
7
Pada tahun 1958 Hamka diundang oleh pemerintah Mesir
untuk berpidato yang dalam pidatony a itu beliau memberi judul “
Pengarang Mohammad Abduh di Indonesia”.di situ beliau mendapat
gelar Doctor Honoris Causa dar Universitas Al Azhar Mesir.Sampai
di akhir hayatnya beliau aktif berceramah di seluruh penjuru tanah
air.
2.2. Sinopsis
Roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka ini
mengisahkan hubungan cinta antara dua anak manusia yang
berlainan jenis, menghadapi kegalauan, karena adanya perbedaan
derajat di masyarakat, di samping perbedaan harta kekayaan,
pangkat dan keturunan.
Hamid diceritakan, sejak kecil telah ditinggal Ayahnya untuk
selama-lamanya, dia bersama ibunya tinggal di kota Padang. Dalam
kehidupan yang sederhana itu ia membantu ibunya yang berjualan
kue. Dari berjualan kue itulah ia berkenalan dengan tetangganya
yang sangat baik budi, yaitu keluarga Haji Ja’far. Haji Ja’far adalah
seorang saudagar yang kaya. Beliau sangat kasihan bila melihat
kehidpan Hamid. Karena kebaikan Haji Ja’far itulah Hamid
disekolahkan bersama anaknya yang perempuan itu, bernama
Zaenab. Mereka disekolahkan sampai sekolah tingkat menengah.
Persahabatan antara keluarga Hamid dan keluarga Haji Ja’far makin
lama semakin erat saja. Setelah Hamid dan Zaenab sama -sama
lulus dari sekolah menengah, Hamid melanjutkan ke sekolah agama
ke Padang Panjang yang masih juga atas pertolongan Haji Ja’far,
Sedangkan Zaenab harus masuk pingitan sebagai adat dar i
bangsawan Padang yang masih kokoh itu
Bilamana liburan datang, Hamid merasa gembira, karena akan
bertemu dengan ibunya, Haji Ja’far serta Zaenab. Sejak itulah benih
cinta antara Hamid dan Zaenab mulai tumbuh. Namun kedua
8
keluarga itu terjadi perubahan ketika Haji Ja’far meninggal duni a.
Hamid yang tadinya leluasa datang ke rumah Zaena b, kini tidak lagi
seperti dulu, ia jarang ke rumah Zaenab. Tak lama juga ibu Hamid
sendiri meninggal dunia. Dan itulah yang menyebabkan hubungan
Hamid dan Zaenab semakin sukar, namun api cinta semakin
membara di antara mereka. Sebelum ibu Hamid meninggal dunia,
beliau sempat berpesan pada anaknya, supaya api cinta Hamid
terhadap Zaenab dipadamkan saja sebelum membakar segalanya.
Kemudian Hamid berjanji kepada ibunya untuk menghapuskan
cintanya pada Zaenab. Pada suatu saat Hamid sedang jalan-jalan di
pesisir Batang Arau dan bertemu Mak Asiah yang baru datang
menziarahi kubur Almarhum Haji Ja’far. Mak Asiah menyuruh Hamid
agar Hamid datang ke rumah Mak Asiah untuk suatu kepentingan.
Saat Hamid datang ke rumah Mak Asiah, Hamid disuruh membujuk
Zaenab, agar Zaenab mau dikawinkan dengan saudara sepupunya.
Dengan perintah itu Hamid mengabulkan perintah Mak Asiah.
Agaknya sulit sekali Hamid memulai pembicaraannya , karena
pekerjaan itu sangat bertentangan sekali d engan hatinya sendiri .
Tapi ternyata Hamid tidak berhasil membujuk Zaenab Pada saat itu
pikiran Hamid berkata-kata (memang saya ini hanya pantas menjadi
saudara Zaenab)
Untuk melaksanakan pesan Ibu Hamid, Hamid terpaksa harus
meninggalkan kota Padang, agar tidak lagi melihat Zaenab. Tanpa
sepengetahuan seorang pun Hamid dengan rela meninggalkan kota
Padang menuju Medan. Dari Medan melanjutkan perjalanannya ke
Singapura, terus ke Bangkok, Basrah, Nejid dan sampai ke Makka h.
Pengembaraan itu dimulai setelah terlebih dulu tiba di Medan, dan
mengirim sepucuk surat kepada Zaenab yang tanpa diberi alamat
pengirim. Dalam suratnya itu Hamid secara samar-samar
mengutarakan isi hatinya, namun demikian Hamid mendesak
Zaenab untuk kawin dengan saudara sepupunya.
9
Maksud pengembaraan Hamid ke Makkah tidak lain ialah
untuk menghilangkan luka di dadanya yang dibawa dari Padang. Di
Makkah itulah Hamid berusaha untuk menghilangkan luka di dada
dengan mendekatkan diri pada Tuhan. S egala ingatan yang duludulu
sedikit-demi sedikit berangsur lupa, meski bekasnya masih ada.
Luka yang hampir sembuh itu kembali sakit, pada saat Hamid
bertemu Saleh (teman Hamid), dan Saleh bilang kalau sebenarnya
Zaenab juga mencintai Hamid, hal itu disampaikan istri saleh, Rosna.
teman Zaenab yang memang sering ke rumah Zaenab, dan Zaenab
menuturkan rasa cintanya pada Hamid itu pada Rosna. Tapi
sebelum Hamid melaksanakan cintanya, datang berita dari istri
Saleh, bahwa Zaenab telah meninggal dun ia, karena menanggung
rindu. Mendengar berita itu, Hamid yang sudah sakit -sakitan,
semakin kritis dan akhirnya pada saat melaksanakan ibadah Haji di
bawah lindungan Ka’bah. dia menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
10
BAB III
A N A L I S I S
3.1 Unsur Relegius
Kata religius berasal dari bahasa Latin “Relego” yang berarti
merenungkan keberatan hati, keberatan keagamaan (Prent,
2009:733). Menurut YB. Mangunwijaya bahwa, arti kata “Relegio”
orang hanya dapat menduga, sebab ada yang berpendapat bahwa
relegio dating dari kata religo artinya menambatkan hati (200 2:182)
Antara relegius dan agama banyak dikacaukan orang dalam
pengertiannya, memang sebenarnya ada perbedaan arti antara
relegius dan agama. Relegius, lebih condong da lam melihat aspek
yang ada dalam lubuk hati , riak getaran hati pribadi. Sedangkan
agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada
Tuhan dalam aspek yang resmi, yuridis secara agama.
Dalam roman “Di bawah Lindungan Ka’bah” ini ada beberapa
tokoh utama yang perilakunya menunjukkan sifat relegius. Adapun
unsure relegius dari para pelaku roman ini, akan penulis tinjau dari
sudut psikologis, phisik, dan sosiologi.
3.1.1 Unsur Religius roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” Ditinjau Dari
Sudut Psikologi
Hamka dalam roman ini banyak mengisahkan cerita yang
sedih-sedih dan pengharapan-pengharapan. Kemudian dari
pengharapan itu oleh pengarang disandarkannya pada Tuhan.
Memang demikianlah hendaknya sikap manusia yang baik. Setiap
usaha perlu adanya rasa optimis, dan setelah berusaha,baru kita
berserah diri pada Tuhan, tercapai atau tidak usaha itu kita serahkan
pada Tuhan. Perilaku demikian ditunjukkan oleh pelaku utama,
Hamid. Dalam kemiskinanya setelah ayah Hamid meninggal dunia,
Hamid membantu pekerjaan ibunya, termasuk menjualkan kue .
11
Dalam menjalankan pekerjaan itulan dalam hati Hamid selalu
memohon belas kasihan dan berdo’a pada Tuhan.
“ Ibu pun menunjukkan kepadaku beberapa do’a
Dan bacaan, yang menjadi wirid dari almarhum
Ayah semasa mendiang hidup, mengharapkan
pengharapan yang besar-besar kepada Tuhan
serwa sekalian alam memohon belas kasihannya ”.
(Hamka, 1989:16)
Dalam kemiskinan itu Hamid mendapat pertolongan
tetangganya yang baik budi yaitu Haji Ja ’far. Hamid yang semula
menjual kue di masa kecil kini disekolahkan Haji Ja’far mulai dari
sekolah rendah (HIS) sampai sekolah menengah dan cita -cita
sekolah Hamid sampai berlanjut ke sekolah agama di Padang
Panjang
“ … dan saya bila sekolah itu tamat a kan
berangkat ke Padang Panjang, sebab Haji
Ja’far masih sanggup membelanjai saya, apa
Lagi demikianlah cita-cita ibuku”. (Hamka,1989:25)
Karena kecakapan Hamid itulah Haji Ja’far tidak segan -segan
membiayai Hamid sekolah mulai dari Sekolah Rendah sampai
Sekolah Tinggi Agama. Dalam hal ini pengarang juga mencerminkan
nilai agama, dimana dalam agama menyatakan bahwa, orang yang
membiayai anak sekolah itu sama dengan amal jariah yang tidak ada
putusnya, karena bila anak yang dibayai sekolah itu ilmunya
bermanfaat, orang yang membiayai sekolah anak itu juga masih
mendapatkan kiriman pahala. Jadi Hamka dalam penceritaan itu
mengandung unsure relegiusnya.
“Sekolah-sekolah Agama yang di situ mudah
sekali sayaMasuki, karena lebih dahulu saya
mempelajari ilmu umum, saya hanya tinggal
memperdalam pengertian dalam perkaraagama
saja, sehingga akhirnya salah seorang guru
menyarankan saya mempelajari agama di luar
sekolah , sebab kepandaian saya dalam
ilmu umum”. (Hamka,1989:26)
12
Hamid yang menuntut ilmu di Padang Panjang yang jauh dar
Zaenab mulai merasa kehilangan tanpa Zaenab di dekatnya. Inilah
mulai tumbuh benih cinta antara Hamid dan Zaenab, namun Hamid
tak berani mengutarakan cintanya pada Zaenab, karena adat masih
membelenggu.Tak mungkin orang seperti Hamid yang miskin dapat
diterima sebagai suami Zaenab yang kaya meskipun sebenarnya
Zaenab juga mencintai Hamid. Disn i pengarang agaknya protes
pada adat masyarakat yang tidak sesuai dengan agama, karena
dalam agama semua derajat manusia sama di mata Allah. Yang
membedakan antar manusia hanyalah kadarkeimanannya.
“ cinta adalah jiwa, antara cinta sejati dan
Jiwa tak dapat dipisahkan, cintapun merdeka
Sebagaimana jiwa. Ia tak membedakan antara
Derajat dan bangsa, kaya miskin, mulia papa
Demikian jiwa saya di luar dari kekang kerendahan
Saya dan kemulyaannya, saya merasai bahwa,
Zaenab adalah diri saya”. (Hamka,1989:30)
Setelah Haji Ja’far meninggal dunia yang kemudian disusul
pula oleh ibu Hamid, Hamid sering menyepi di tepi pantai. Pada saat
Hamid jalan-jalan bertemu dengan Mak Asiah. Pada saat bertemu
itulah Mak Asiah berpesan agar Hamid mau datang ke r umah Mak
Asiah. Pada saat datang ke rumah Mak Adiah, Hamid disuruh
membujuk Zaenab agar Zaenab mau dikawinkan dengan
sepupunya, namun Hamid tak berhasil membujuknya. Dengan
kejadian itulah Hamid merasa kecewa dan menginsafi dirinya sendiri
bahwa di dunia mesti ada sebagian orang yang bahagia, sebagian
lagi ada orang yang menanggung kesediahan.di sini Hamka
memaparkan cerita yang sesuai dengan kodrat kekuasaan Tuhan
bahwa, di dunia ini adalah tempat manusia menghadapi cobaan, baik
dalam hidup bahagia maupun dalam hidup susah semuanya itu
adalah ujian dari Allah sebagaimana firman Allah dalam Surat A l
Angkabut, ayat 2 yang artinya . Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang
13
mereka tidak diuji lagi? Jadi pada hakekatnya hidup ini adalah ujian
baik yang dalam kebahagiaan maupun dalam keadaan
ketidakberuntungan.
“Kemudian saya insyafi, bahwa ala mini penuh
Dengan kekayaannya. Tidaklah adil jika semua
makhluk dijadikan dalam tertwa, yang akan
menangis mesti juga ada, kita mesti mengukur
perjalanan alam dengan ukuran luas,bukan nasib
sendiri” (Hamka, 1989:50)
Kekecewaan Hamid dalam menghadapi permasalahan
pribadinya membuat Hamid mengambil kebijakan untuk pergi jauh ,
yakni ke Makkah berlindung di hadapan Ka’bah.. Selain merasa
frustrasi dia juga ingin melupakan rasa cintanya pada Zaenab.
Dalam Hal ini Hamka menggambarkan mencerminan sifat
relegiusnya, yaitu bahwa orang yang mengalami putus cinta tidak
harus dilampiaskan pada hal -hal negatif, tetapi disalurkan melalui
pendekatan diri pada Tuhan. Kita sering menyaksikan orang yang
lagi putus cinta dilampiaskan dengan minum -minuman keras,
mengkonsomsi Narkoba, bahkan sampai bunuh diri. Demikian sifat
relegius yang digambarkan oleh Hamka.
“Sekarang sudah tuan lihat, saya telah di sini
Di bawah lindungan ka’bah yang suci terpisah
Dari pergaulan manusia yang lain, di sini saya
Selalu terpekur dan memohon kepada Tuhan
sarwa sekalian alam, supaya Ia memberi saya
kesabaran dan keteguhan hati menghadapi
kehidupan”. (Hamka,1989:54)
Setelah setahun Hamid di tanah suci luka -luka di hati agak
sembuh, namun kembali berubah menjadi teringat akan hal -hal yang
lama karena kabar dari Saleh teman Hamid. Saleh meng atakan,
bahwa, istrinya, Rosna sering ke rumah Zaenab, dan didapatinya
Zaenab sering kali merenung dan menangis memikirkan kekasihnya
Hamid. Suatu saat Zaenab mengatakan pada Rosna, bahwa ia
sangat mencintai Hamid. Karena berita dari Saleh itulah, Hamid
14
merasa dirinya ada harganya hidup di dunia ini , karena ternyata ada
orang yang mencintainya.semula Hamid memang sudah tidak
mempunyai harapan untuk menikmati hidup ini dan bahkan berhasrat
untuk bunuh diri. Namun hal itu tidak dilakukan. Di sini Hamka
menampakkan unsure religiusnya, bahwa bunuh diri adalah suatu
dosa besar dalam agama Islam, oleh sebab itu walau bagaimana
pun galaunya pikiran Hamid melakukan bunuh diri dalam
menghadapi masahnya.
“ Dahulu saya telah putus asa hendak hidup,
kadang-kadang terlintas dalam hati saya hendak
membunuh diri. Akan sekarang saya hendak hidup
hendak merasai kelezatan cahaya matahari sebagai
orang lain pula, sebab pergantunganku telah ada ”.
(Hamka, 1989:68)
Zaenab anak Haji Ja’far baik sekali budi pekertinya, meski dia
anak orang kaya lagi terhormat dia tidak mau menyombongkan diri,
bahkan sebaliknya dia sangat menyayangi pada fakir miskin. Di sini
pengarang menunjukkan unsur relegiusnya yakni bahwa dalam
ajaran agama sesama manusia harus saling menyayangi , dan
menyantuni, Tuhan tidak membedakan antara orang kaya dan
miskin.laki-laki perempuan, cantik atau jelek, tampang atau tidak
tampang.yang membedakan antara manusia itu adalah kadar
keimanannya.
“Hamid tidak begitu gagah, tidak sepantas dan
selagak pemuda lain, tetapi hati kecilku amat
kasihan kepadanya, agaknya hidupnya yang
sederhana itulah yang telahmemaut sanubariku”.
(Hamka, 1989: 61)
Zaenab merenungi nasibnya yang selalu dirundung kedukaan
dan kerinduan, namun ia menerima kenyataan hidup itu dengan
penuh kesabaran dan ketabahan, di sini penga rang juga
menunjukkan unsur religiusnya yaitu bahwa dalam segala
permasalahan yang menimpa pada diri Zaenab, dia menerima
dengan kesabaran dan ketabahan, dalam ajaran agama dikakan
15
bahwa manusia Cuma sebatas berencana, dan Tuhanlan yang
menentukan segalanya.
“Bukan demikian sahabat, buat diriku sendiri
Tuhan telah menakdirkan barlain dari orang.
kedukaanku tumbuh diantara dua rumpun
kedukaan pula. Dahulu saya telah berduka,
sekarang berduka, dan kelak agaknya, terus
berduka”.(Hamka,1989:58)
Kekecewaan Zaenab dalam mengharap kedatangan Hamid
sebelum ajalnya tiba yang disampaikan lewat surat, menunjukkan
kebimbangannya untuk bertemu dengan Hamid, Karena melihat
kondisinya yang semakin kritis dari hari ke hari. Zaenab sendiri
mengetahui ajal itu ada ditangan Tuhan, sehingga dia menyerah saja
kepada yang kuasa. Unsur religius tertera di dalamnya. Bahwa,
masalal ajal ada di tangan Tuhan, kita tidak usah takut karena
sewaktu-waktu kita akan menemui kematian itu.Dalam Al -Qur’an
dinya takan yang artinya : Ketika datang ajal seseorang, tidak akan
dapat diundur sedetikpun dan tidak pula dimajukan.
“Sekarang abang, badan adinda sakit -sakit ajal
entah berlaku pada pagi hari, entah besok sore
gerak Allah siapa tahu. Besar harapan bertemu,
dan jika abang terlambat pulang,agaknya bekas air
penalkin dan jejeak mejan yang dua, hanya yang
akan abang dapati”.(Hamka,1989:71)
Ibu Hamid diceritakan oleh pengaran g sebagai seorang yang
pemalu, Hal ini wajar, karena ibu Hamid seorang yang miskin, dan
berada di lingkungan keluarga Zaenab yang kaya,dan terhormat,
sebagaimana dimaklumi adat masyarakatnya , bahwa perbedaan
kaya-miskin masih tetap lekat.Namun rupanya ibu Hamid dapat
menempatkan diri dalam pergaulan terutama di lingkungan
keluarganya Zaenab.Sifat malu memang diajarkan agama, Agama
mengajarkan bahwa Malu adalah sebagian dari cerminan iman
seseorang.di situlah unsure religius yang ditampilkan oleh
pengarangnya.
16
“Meskipun ibu saya merasa malu dan insyaf
akan kerendahan derajatnya, Mak Asiah demikian
istri Engku Haji Ja’far itu sekali-sekali tiada
meninggikan diri, sebagai kebiasaan perempuanperempuan
istri orang hartawan atau orang
berpankat”. (Hamka, 1989: 21
Ibu Hamid di samping tergolong pemalu, juga termasuk orang
yang penyabar,ia tidak cepa putus asa, ia memiliki tekat yang kuat
dalam mendidik anaknya, agar anaknya bisa menjadi orang yang
berguna di masyarakat. Sifat sabar dan tabah memang dia jarkan
dalam agama, bahwa dalam menghadapi segala tantangan hidup
orang harus sabar. Agama mengajarkan bahwa Allah beserta orang -
orang yang sabar. Dan kita tidak boleh putus asa dalam menemui
suatu masalah.
“Tetapi kelihatan ibu tidak putus harapan, ia
berjanji Akan berusaha, supaya kelak saya
menduduki bangku sekolah sekolah, membayar
cita-cita almarhum suaminya yang sangat
besarangan-angannya supaya kelak saya menjadi
orang yang terpakai dalam pergaulan hidup”.
(Hamka,1989:17)
Haji Ja’far digambarkan sebagai orang yang peramah dan
penyantun kepada fakir miskin. Mengingat Haji Ja’far sendiri dulunya
juga pernah mengalami kemelaratan. Oleh sebab itu beliau tahu
betul bagaimana penderitaan orang miskin. Sifat penyantun ini juga
diajarkan kepada istri dan anaknya. Sehingga Mak Asiah istri Haji
Ja’far dan Zaenab anaknya punya sifat penyantun. dan ramah
kepada orang lain. Dalam ajaran Agama kita diharuskan untuk hidup
saling tolong-menolong, saling hormat-menghormati kepada orang
lain, tidak boleh menyombongkan diri, Firman Allah dalam Al -Qur’an:
‘Wala Tuso’ir khoddaka linnas, wala tamsi fil ardhi maroha’ artinya:
janganlan kamu membuang muka terhadap orang lain dan jangan
berbuat sombong di muka bumi ini.
17
“Peribahasa dari Mak Asiah, adalah didikan dari
suaminya juga, seorang hartawan yang ramah pada
fakir miskin. Konon kabarnya kekayaan yang didapat
adalah dari usahanya sendiri, dan cucur keringatnya.
bukan dari warisan orang tuanya. Dahulu Haji Ja’far
seorang yang melarat juga tetapi berkat yakinnya
terbukalahbaginya pintu pencaharian”
(Hamka,1989:21)
Rosna sebagai teman Zaenab sering mendampingi
Zaenab,dan tempat bertukar pendapat tentang suatu hal Kedua
sahabat itu cukup akrab, pengarang menokohkan Rosna yang
banyak berperan dalam menyambungkan pembicaraan antara
Hamid dan Zaenab. Pada suatu saat antara keduanya bercerita
tentang Hamid. Dari situlah diketahui b ahwa sebenarnya Zaenab
sangat mencintai Hamid. Unsur relegius yang digambarkan pelaku
Rosnah adalah, masalah tolong menolong dalam kebaikan. Dalam
suatu Hadits Rosul disebutkan: “Ta’awanu alal birri wat taqwa, wala
ta’awanu alal itsmi wal udwan” artinya: Tolong menolonglah kamu
dalam kebaikan dan jangan kamu tolonh -menolong dalam
kemungkaran”
“ Agaknya engkau pandang rendah saya ini Ros,
Mencintai seseorang yang tiada sekedudukan
Dengan diri sendiri dan jauh tak tentu tempatnya.
Waktu itu istriku menjawa kata Soleh ‘Tidak Nab,
cinta itu adalah perasaan yang mesti ada tiap diri
manusia,laksana setetes embun yang turun dari
langit bersih dan suci’ “ (Hamka,1989:64)
Rosna mengatakan dalam suratnya , bahwa Zaenab telah
meninggal dalam keadaan menyerah , tawakal, dan sabar dalam
menerima cobaan sakitnya. Surat itu sebenarn ya disampaikan
kepada Hamid, tetapi tiba-tiba surat kawat saleh datang pula, yang
menyatakan, bahwa Hamid telah menyusul pula. Ending dari cerita
ini menunjukkan bahwa tokoh utama dalam cerita semuanya
berakhir dengan meninggal dunia. Memang begitulah cir ri-ciri roman
lama, yang menjadi kebiasaan pengarangnya. D an di situ terlihat
18
unsur relegiusnya yakni, dalam mengha dapi cobaan hidup dari takdir
yang menimpa manusia, harus diterima dengan sabar, tawakal
menyerah kepada Tuhan, karena hidup dan meninggalnya
seseorang itu merupakan kepastian Tuhan. Sebagaimana Firman
Tuhan dalam Al-Qur’an: “Idha jaa’a ajaluhum la yasta’khiruuna
saa’atan wala yastaqdimuuna”. Artinya . Bila ajal telah tiba, maka
tidak akan bisa di undur dan dimajukan sedetikpun.
“ …. Adinda kirimkan surat ini menyusul surat
kawat yang dahulu. Zaenab telah wafat. Apakah
selain itu yang adinda nyatakan? Dia telah
menanggung penyakit dengan sabar dan tawakal
mula-mula adinda menyampaikan kabar ini
kepada Hamid, sebab yang senantiasa menjadi
buah bibirnya adalah Hamid. Sampai saatnya
yang penghabisan, tetapi tiba-tiba kawat kakanda
datang pula, bahwa hamid telah menyusul
kekasihnya. (Hamka, 1989: 77)
3.1.2 Unsur Religius roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” Ditinjau dari
Sudut Phisiknya
Hamka dalam menceritakan roman ini kurang menampakkan
bentuk phisik pelakunya. Penampilan bentuk phisik hanya terbatas
pada pelaku utama Hamid. Pengarang menceritakan tokoh Hamid
sebagai seorang pendiam, yang suka bermenung seorang diri, dan
badannya kurus lampai, rambutnya hitam berminyak. Hal tersebut
sesuai sekali dengan kondisi tokoh utama dalam cerita ini yaitu
Hamid, sebagai seorang yang hidupnya kurang beruntung, dan
mengalami gagal dalam memenuhi cintanya. Di samping merenungi
jalan hidupnya, dia sering berpuasa sampai badannya kurus karena
memikirkan nasibnya yang kurang beruntung itu, namun dia seorang
anak yang pandai. Dan dari kegagalannya dalam bercinta itu dia
mengarahkan ke hal yang positif , seperti mempelajari buku-buku
agama, tekun beribadah, dan selalu mendekatkan diri kepada
Tuhan. Memang dalam ajaran Agama dijelaskan, bahwa sebagai
pengobat hati yang luka itu ada lima macam, sebagaimana yang
19
dijelaskan dalam kitab ‘Nashoihul ‘Ibad” yakn i Lima macam pengobat
hati adalah sebagai berikut:
a. Membaca Al-Qur’an sambil mengingat-ingat arti dan maksudnya.
b. Melakukan Sholat malam (sholat Tahajjud)
c. Mencari sahabat dan berkumpul dengan orang -orang yang
barbuat kebajikan ( Orang-orang Sholeh)
d. Suka melakukan Riadhoh atau Tirakat ( melakukan puasa)
e. Melakukan Dzikir, bermunajat, bertasbih (membaca bacaan yang
mensucikan Tuhan) dalam waktu yang cukup lama. (Nawawi,
1993:34)
Dari kelima macam pengobat hati seperti tersebut di atas
semuanya tercermin dalam pribadi tokoh utama, Hamid. Dia selalu
beri’tikaf di masjid sambil mengaji, bila malam hari juga bermunajad
kepada Tuhan, kumpulan mereka juga orang -orang sholeh, ahli
ibadah. Dia juga sering puasa, sampai -sampai badannya kurus, Dan
juga selalu berzdikir dan bertasbih.
“ …. Di hadapan kamar yang telah ditentukan oleh
Syeh untuk saya ada pula sebuah kamar kecil yang
muat dua orang. Di sana tinggal seorang anak muda
yang baru berusia 23 tahun badannya kurus lampai
rambutnya hitam berminyak, sifatnya pendiam
bermenung seorang diri”.(Hamka,1989:9)
Bentuk phisik Hamid sebagai tokoh utama digambarkan juga
oleh pengarang sebagai orang yang tidak gagah,se perti pemuda
lain. Hidupnya miskin dan sebatang kara, jiwa penyantun, serta rasa
iba ditunjukkan oleh Zaenab kepada Hamid. Meskipun Zaenab anak
orang kaya dan terpandang, sedangkan Hamid orang miskin, namun
Zaenab mencintai Hamid bukan kerena bentuk tubuhnya, melainkan
jiwa Hamid. Memang kebaikan jiwa adalah segalanya. Dan kebaikan
jiwa sama dengan kebaikan hati, jika hati seseorang baik, maka
segalanya akan baik pula, jika hati seseorang jelek, maka jeleklah
20
semua amal perbuatannya. Hal ini sesuai Hadits Nabi yang berbunyi:
“Inna fil jasadi mudhghotun idza soluhat sholuhal jasadu kulluh, idza
fasadat, fasadal jasadu kuluh” Artinya: Sesungguhnya dalam diri kita
ada segumpal daging, bila baik segumpal daging it u, maka baik
pulalah seluruh amal perbuatan manusia ,dan bila jelek segumpal
daging itu, maka jeleklah seluruh amal pe rbuatan manusia. Jadi
Zaenab mencintai Hamid bukan karena fisiknya, namun kebaikan
jiwa Hamid.
“Engkau kan tahu Ros, bahwa Hamid tidak gagah
tidak sepantas dan selagak pemuda lain. Tetapi
hati kecilku amat kasihan kepadanya, agaknya
hidupnya yang sederhana itulah yang telah memaut
hati sanubariku. Saya amat ibd kepadanya
karena saya merasa bahwa, tak ada orang lain
yang akan mengibai dirinya”.(Hamka,1989:61)
3.1.3 Unsur Religius Roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” Ditinjau Dari
Sudut Sosiologi
Keluarga Hamid diceritakan sebagai keluarga yang frustrasi.
Masalah yang menjadikan kefrustrasian keluarga Hamid adalah
karena perniagaan ayah Hamid jatuh bangkrut. Bermula dari situlah
kemudian keluarga Hamid memutuskan untuk meningga lkan
lingkungan masyarakat, tempat tinggalnya semula, dan pindah ke
kota Padang.
Pada masa kejayaan perniagaan Ayah Hamid, banyak sanak
saudara dan famili, serta tetangganya yang berdatangan mendekat.
Tetapi setelah usaha Ayah Hamid jatuh bangkr ut tak seorang pun
sanak saudara dan family serta tetangganya mendekati. Memang
begitulah yang terjadi di masyarakat. Bila orang sedang jaya
siapapun menyanjungnya, tapi bila jatuh susah tidak seorang pun
mau mendekatinya. Menghadapi keadaan yang demikian itulah,
kemudian Ayah Hamid mengambil keputusan untuk memindahkan
keluarganya ke tempat lain, dengan maksud menghindari tekanan
21
batin dari suasana yang tidak menguntungkan semua keluarganya.
Dalam agama kita memang diharapkan untuk memilih tempat tinggal
yang bisa menyelamatkan keluarga kita dari keamanan dan
kedamaian suasana lahir batin, Sehingga keadaan rumah tangga
kita dalam kondisi yang tentram dan damai.
“Masa itu daun sedang rimbun, bunga sedang
kembang dan buah sedang lebat, orang pun
dating menghampirkan diri, mengatakan mamak
mereka mendakwakan bersaudara, rumah tangga
senantiasa mendapat kunjungan dari kiri dan
kanan. Tetapi setelah perniagaan ayah jatuh,
kemelaratan menjadi ganti, segala kesenangan
itu tersisihlah dari sediki ke sediki”. (Hamka,1989:15)
Hamid meskipun masih kecil tahu akan keadaan orang tuanya
yang miskin. Dia melihat teman-temannya yang senasib membantu
orang tuanya bekerja dengan menjualkan kue, Hamid pun meniru
ikut menjual kue dalam membantu orang tuanya. Dia tidak merasa
malu dengan teman-temannya untuk menjual kue karena desakan
rasa iba terhadap ibunya. Di sini pengarang menunjukkan unsur
releiiusnya yakni bahwa, sebagai seorang anak seharusnya taat dan
barbakti pada orang tuanya, lebih-lebih kepada ibunya. Bahkan
sampai dijelaskan dalam hadis Rosul: Al jannatu tahta aqdamil
ummahaat. Artinya surga itu terletak di telapak kaki ibu, maksudnya
adalah sebagai seorang anak sudah seharusnya taat , dan barbakti
kepada ibu, mau selamat dunia akhirat, harus hormat dan taat orang
tua kepada ayah dan kepada ibu.
“Setelah saya agak besar, saya lihat banyak
anak-anak yang sebaya saya menjajakan kue,
maka saya mintalah kepadanya supaya dia
sudi pula membuat kue-kue itu, saya sanggup
menjualnya dari lorong-lorong, dari satu beranda
rumah orang ke beranda yang lain,
mudah-mudahan dapat meringankan sedikit
tanggungan yang berat itu”.(Hamka,1989:16)
22
Zaenab anak satu-satunya Haji Ja’far sangat patuh pada
ibunya. Kepatuhan itu tidak lain hasil didikan ayahnya yang berbudi
luhur, sehingga contoh yang baik itu menurun kepada anaknya.
Zaenab juga disayangi oleh orang tuanya, karena memang dia
adalah anak satu-satunya. Di sini pengarang menunjukkan unsure
religiusnya yakni sebagai seorang anak memang seharusnya
mematuhi dan taat kepada orang tuanya terutama kepada ibu.
Hadits Rosul mengatakan: ‘Al Jannatu tahta Aqdamil Ummahaat’
artinya: Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu . Maksud hadits
ini adalah kita harus taat dan berbakti kepada orang tua, jangan
sampai menyakiti hati orang tua, apalagi melawannya. Ingin selamat
dunia akhirat berbaktilah kepada orang tua, terutama kepada ibu.
“Anak perempuan itu masih kecil, sebaya
dengan saya. Apa perintah ibunya diikuti
dengan patuh, rupanya ia amat disayangi
ibunya, karena anaknya hanya seorang itu
(Hamka,1989:19)
Meskipun Zaenab anak orang kaya, terpandang dan hartawan
Namun Zaenab tidak pernah menyombongkan diri. Dia merasa
sebagai anak-anak yang lain. Tidak pernah berperasaan, bahwa ia
memiliki derajat tinggi, serta berbangsawan. Kebaikan budi Zaenab
mencerminkan kebaikan budi ayahnya, ia juga sangat menyayangi
orang miskin. Pada saat sekolah Zaenab sering digoda oleh temantemannya,
mereka mengatakan, anak orang kaya sekarang
bersekolah dengan anak orang penjual pisang goring. Tetapi Zaenab
tidak memperdulikan godaan temannya itu, ia tidak terpengeruh
sedikitpun dengan teman-temannyaitu. Ia juga tidak mau
menyombongkan diri.Di sini pengarang menunjukkan unsure
relegiusnya yakni: Sesama manusia tidak ada perbedaan antara
kaya dan miskin, yang membedakan antara manusia itu adalah
keimanannya kepada Tuhan. Firman Tuhan dalam Al-qur’an: ‘Ya
ayyuhal ladzina amanu inna jaalnaakum min dzakain wa unsa
wajaalnaakum syu’uban waqobaila lita’arofu inna akromakum
indaallahi atqookum’ artinya: Hai orang -orang yang bariman
23
sesungguhnya Allah menjadikan kamu sekalian bersuku -suku dan
berbangsa-bangsa supaya di antara kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang
paling beriman kepada-Nya.
“ …sekali-sekali tidaklah Zaenab memandang
saya orang lain lagi, tidak pula mengangkat diri
agaknya karena baiknya didikan ayah bundanya
Cuma di sekolah, anak-anak orang kaya kerap
Kali menggelakkan saya, anak penjual pisang
Goring telah bersekolah dengan anak orang
Hartawan” (Hamka,1989:23)
Zaenab sangat tertarik dengan kebaikan budi serta tabiat baik
Hamid. Ingin selalu Zaenab hidup berdampingan dengan Hamid.
Sifat Hamid yang terpuji yang tak didapati pada pemuda -pemuda
lain, baik dari kalangan bangsawan atau hartawan. Itulah yang
sangat disukai Zaenab. Jiwa yang baik merupakan modal berharga
dari kehidupan seseorang. Jiwa sama dengan hati. Disini pengarang
menunjukkan unsur relegiusnya, sebagaimana disampaikan Nabi
pada suatu Haditsnya yang berbunyi: ‘Inna fil jasadi mudzghotun
idza soluhal, sholuhaljasadukulluh, idza fasadad, fasadal jasadu
kulluh. Artinya: Sesungguhnya di diri manusia ada segumpal darah,
bila segumpal darah itu baik, maka baiklah semua kepribadian
seseorang itu, namun, bila segumpal dara itu jelek, maka jelek
pulalah semua kepribaian orang itu.Jadi dengan demikian bila
seseorang memiliki jiwa yang bersih, maka itulah orang yang baik.
“ …maka pada dirinya saya dapati beberapa
Sifat yang tinggi dan terpuji, yang agaknya tidak
terdapat pada pemuda-pamuda yang lain baik
dari kalangan kaya dan bangsawan sekalipun.
Sampai pada saat yang paling akhir daripada
Kehidupan ayahku, belum pernah ia menunjukkan
Perangai yang tercela. Wahai Ros saya tertarik
Benar kepadanya” (Hamka,1989:60)
24
Rosna adalah seorang yang berjasa dalam menghubungkan
perasaan cinta yang terpendam antara Zaenab dengan Hamid.
Perasaan cinta yang sekian lama ada di hati antara dua insane itu
belum pernah terungkap secara jelas. Belum sempat Hamid
mengucapkan perasaan cintanya kepada Zaenab, tiba -tiba Mak
Asiah menyuruh Hamid untuk membujuk Zaenab, agarZaenab mau
dikawinkan dengan saudara sepupunya. Namun bujukan Hamid itu
ternyata gagal. Keadaan demikian itulah yang membuat Hamid putus
asa, dan menjauhkan diri dari Zaenab. Hamid pergi tanpa
sepengetahuan seorang pun. Rosna, sahabatnya sebagai tempat
untuk mencurahkan isi hati Zaenab , merasa terharu dengan keadaan
Zaenab yang menahan rindu cukup dalam itu. Rosna merasa
terpanggil hatinya untuk mendampingi Zaenab da n member
pertolongan semampunya. Sekali lagi pengarang menunjukkan
unsure religiusnya; dimana Rosul telah bersabda: ‘Ta’awanu alall
birri wat taqwa’ Artinya: bertolonglah kamu dalam kebaikan. kita
diharuskan tolong menolong dalam kebaikan, bila ada saudara kita
ada yang membutuhkan pertolongan, meski mereka belum minta
tolong hendaknya kita memberikan pertolongan.
“Ingatkah kau Ros, bahwa dahulu ada tinggal
di dekat rumah ini seorang anak muda bernama
Hamid .. sebenarnya saya cinta dengan hamid
… tiba-tiba pada suatu saat dating suatu
kejadian yang menhancurkan angan-angan saya,
ia diminta oleh ibu saya supaya sudi bersuami…
setelah saya mengatakan tak sanggup menurut
perintahnya… ia pulang ke rumahnya semenjak
itu ia tak datang lagi akhirnya saya mendengar
dia telah pergi jauh” (Hamka,1989:59)
Dalam pembicaraan antara Zaenab dan Rosna, Zaenab
sakan- akan menjelaskan dirinya sendiri. Dia mengatakan pada
Rosna bahwa, agaknya kau anggap aku ini seorang yang rendah
Ros. Mencintai seseorang yang tiada sekedudukan dan tiada tentu
tempat tinggalnya. Meskipun dalam perasaan Rosna tidak mungkin
mempunyai perasaan sebagaimana anggapan Zaenab itu. Rosna
25
sendiri menyadari bahwa benih-benih cinta itu akan tumbuh tidak
memperdulikan kedudukan dan kebangsawanan. Di sini pengarang
menunjukkan betapa lembutnya perasaan Zaenab, meskipun dia
tidak bersalah, namun seolah-olah dia sudah melakukan kesalahan,
ini menunjukkan instropeksi diri Zaenab cukup tinggi. Unsur
relegiusnya yakni: Kedudukan manusia di mata Tuhan itu semua
sama, yang membedakan adalah derajat keimanannya.
“Agaknya engkau pandang rendah saya
ini Ros, mencintai seorang yang tiada
sekududukan dengan diri saya sendiri
dan tak tentu tinggalnya”(Hamka,1989:64)
3.2 Aplikasi Roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” Pembelajaran
Aplikasi atau penerapan roman ini dalam proses pembelajaran
pada siswa, menggunakan teori yang di kemukakan Suyitno. Dalam
bukunya “ Teknik pengajaran Apresi asi Sastra dan Kemampuan
Bahasa” yang menyebutkan lima langkah dalam mengajarkan
apresiasi sastra yaitu:
a. Menyenangi sastra
b. Menguasai sastra
c. Memahami hakekat dan tujuan sastra
d. Mempunyai kemampuan mengapresiasi sastra (Suyitno,2005:13 )
3.2.1 Menyenangi Sastra,
maksudnya adalah seorang guru perlu mengkaji terlebih dulu ilmu
yang berkaitan dengan unsure sastra, baik teori, analisis, budaya
masyarakat dan sejarah sastra.
3.2.2 Menguasai Sastra,
maksudnya adalah dengan bermodalkan poin pertama, menyenangi
sastra maka sedikit banyak akan mengkaji berulang -ulang sejauh
mana proses penerbitan roman itu sendiri kaitan nya dengan sejarah
budaya masyarakat.
3.2.3 Memahami Hakekat dan Tujuan Sastra,
maksudnya adalah dengan mendalami budaya masyarakat yang
kurang sesuai dengan aturan dan pedoman hidup berupa ajaran
26
agama, maka melalui sastra ini agar kiranya dapat menunjukkan
aturan seperti apa yang mestinya diikuti masyarakat.
3.2.3 Kemampuan Mengapresiasi Sastra
Maksudnya adalah setelah menyenangi , memahami maksud dan
tujuan guru melakukan diskusi mendalam kekurangan dan kelebihan
dalam sastra bersama-sama dengan siswa, manfaat apa yang dapat
diperoleh dari isi sebuah roman itu. Bila teladan itu layak dan sesuai
dengan kehendak agama dan dianggap b aik masyarakat, maka bisa
kita gunakan untuk perbaikan dalam hasanah kehidupan kita.
27
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
4.1.1 Roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” ini banyak
mengandung unsur relegiusnya, yang sangat bermanfaat
sekali sebagai teladan siswa, terutama pelaku utama
Hamid yang menunjukkan segala perikunya dengan
aturan agama.
4.1.2 Roman ini bermanfaat sekali sebagai bekal bagi siswa
dalam mengarungi kehidupan dunianya, apalagi
dalamkehidupan saat ini keteladanan merupakan barang
langka, melalui membaca roman ini, baik sekali sebagai
renungan dalam menata kehidupan mereka.
4.1.3 Dengan mendalami roman ini siswa meng etahui
kebudayaan lama yang terjadi di suatu daerah
khususnya daeran Sumatera Barat saat itu , yang
mungkin juga sampai saat ini kebudayaan itu masih ada.
4.2. Guru dalam melakukan pembelajaran Apresiasi Sastra
sebaiknya menggunakan teor i yang dikemukakan
Suyatno yang terdiri dari 4 langkah,yaitu:
a. menyenagi sastra
b. menguasai sastra
c. memahami hakekat dan tujuan sastra
d. mempunyai kemampuan mengapresiasi sastra.
28
4.2 Saran
Roman ini sangat baik sebagai bahan ajar khususnya dalam
menganalisi sastra bagi siswa tingkat menengah, karena isi yang
terkandung dalam roman ini pas dan sesuai dengan kondisi
mereka, yang pada umumnya siswa yang sedang mencari
identitas diri.
29
Daftar Pustaka
Eneste. Pamusuk.2005. Unsur Religius Dalam Sastra Jawa,
Semarang: VC. Aneka Ilmu.
Esten, Mursal. 1994. Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern.
Jakarta: PT. Gramedia.
Hamka. 1989. Di Bawah Lindungan Ka’bah . Cetakan ke-19
Jakarta: Bulan Bintang.
Hamzah. Amir. Yunus. 2004. Hamka Sebagai pengarang
Roman.Jakarta: PT. Mega Booktore .
Hutagalung M.S. . 2008. Satu Pembicaraan Jalan Tak Ada
Ujung.Jakarta: Gunung Agung.
Mangun Wijaya Y.B..2002 Sastra Dan Religiusitas. Cetakan ke -9.
Jakarta : PT. Jaya Perusa.
Nawawi, Muhammad. 2003. Nashoihul ‘Ibad. Bandung: PT. Al
Ma’arif.
Prent. CM. K. 2009. Kamus Latin Indonesia. Jakarta : Kanisius
Purwodarminto W. J. S. 2004. Kamus Umum Indonesia.Jakarta:
Balai Pustaka.
Santoso ,Doyo. 2005 Unsur Religius Dalam Sastra Jawa.
Semarang: CV. Aneka Ilmu.
Suyitno. 2005. Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra Dan
Kemampuan Bahasa.Jogjakarta: PT. Hanindita.
S. Yulius 1998. Kamus Baru Bahasa Indonesia. Surabaya: Usaha
nasional
Teew. A. 2002. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: PN. Balai
Pustaka
30http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/RELIGIUS.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar