Senin, 13 Januari 2014

PENGEMBANGAN WAWASAN MULTIKULTURAL BAGI PENYULUH AGAMA

PENGEMBANGAN WAWASAN MULTIKULTURAL BAGI PENYULUH AGAMA
(Kajian Pendalaman Materi Diklat Penyuluh Agama Islam)
Muchammad Toha

ABSTRAKSI
Penyuluh agama di lingkungan Kementerian Agama memiliki fungsi yang sangat penting karena selain menyampaikan pencerahan pemahaman agama terhadap masyarakat serta menyampaikan hasil-hasil pembangunan dalam agama, ternyata ada fungsi yang tidak kalah pentingnya adalah penyuluh agama dapat menyampaikan pemahaman-pemahaman pada masyarakat tentang wawasan multikultural dan keanekaragaman Indonesia. Pentingnya hal ini karena beberapa problem berdarah-darah dengan kerugian material yang cukup besar jumlahnya sering disulut karena perbedaan tentang etnis, budaya dan tata nilainya. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam penyampaian dakwah multikultural ini maka seorang penyuluh diharapkan memahami tentang bahasa, budaya dan perasaan yang menjadi sasaran penyuluhannya.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyuluh agama adalah salah satu ujung tombak Kementerian Agama dalam rangka membina masyarakat mengenai prinsip-prinsip dan etika nilai yang menjadi ajaran agama, sehingga hasil yang diharapkan ialah terwujudnya kehidupan masyarakat binaan yang memiliki pemahaman mengenai agamanya secara memadai, yang ditunjukkan dengan perbuatan yang penuh komitmen dan konsisten dengan disertai adanya wawasan multikultural untuk mewujudkan tatanan kehidupan harmonis serta
saling menghargai, baik diantara sesama agama maupun dengan penganut agama yang berbeda.
Negara Indonesia yang merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia, berbagai ragam dan perbedaan terdapat di dalamnya, mulai dari ras dan warna kulit, bahasa, kebudayaan, sistim mata pencaharian hidup sampai masalah agama dan keyakinan, adanya berbagai berbedaan ini sesuai dengan ragam suku yang mendiami kepulauan yang ribuan jumlahnya. Sejarah telah mencatat tentang adanya kepercayaan animisme dinamisme yang cukup lama berkembang dan tetap ada hingga sekarang ini, dilanjutkan kemudian dengan datangnya Agama Hindu Budha dari Benua India yang dianut masyarakat pegunungan sampai pesisiran, disusul kemudian dengan kedatangan para muballigh dan saudagar Arab maupun Gujarat yang menyampaikan ajaran Islam sampai ke pelosok-pelosok negeri, dan berselang beberapa abad kemudian datanglah Bangsa Eropa yang selain berniat untuk berdagang juga menyebarkan agama Nasrani (gold, glory, gospel), kehadiran agama-agama ini di Indonesia tidak saja mengajarkan nilai-nilai tentang keberagamaan saja, tapi juga tata nilai berbangsa dan bernegara.
Dengan berbagai keragaman ini, satu sisi sangat menguntungkan karena merupakan modal untuk mencapai kemajuan bangsa yang sangat tidak ternilai harganya, namun di sisi yang lain justru sebaliknya, berbagai berpedaan dan keragaman ini dapat dijadikan sarana pemicu konflik yang berkepanjangan diantara suku bangsa di Indonesia. Dalam durasi waktu antara 1990 hingga 2000 saja, tidak sedikit muncul konflik maupun kerusuhan sosial yang terjadi di berbagai daerah dengan sulut masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Sebenarnya konflik dan kerusuhan tersebut disebabkan oleh berbagai hal dan kepentingan, tetapi dalam kenyataannya menyeret-nyeret simbol-
simbol dan sentimen agama. Korban penderitaan yang merupakan efek dari konflik dan kerusuhan tersebut menimpa sasaran dan obyek-obyek keagamaan semisal tempat ibadah; gereja, masjid serta tempat ibadah lainnya, disamping korban jiwa dan harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sebenarnya konflik dan kekerasan atau kerusuhan tidak selalu sama. Konflik tidak harus diikuti dengan kekerasan atau kerusuhan yang menimbulkan korban yang besar seperti terjadi di beberapa daerah sebagaimana diatas, karena konflik secara konseptual dalam ilmu-ilmu sosial tidak selalu berkonotasi negatif. Menurut Coser konflik dalam batas tertentu merupakan unsur esensial bagi pembentukan kelompok dan bagi berlangsungnya kehidupan kelompok. Konflik merupakan bagian dinamikadari sebuah sistem dan proses reintegrasi yang berlangsung dalam masyarakat, tanpa adanya konflik maka tidak akan ada dinamika atau perubahan (Imam Tholkhal, 2002: 1). Sedangkan menurut Pareto konflik dan pergolakan hanyalah sesuatu yang sementara dan merupakan masa peralihan, dimana masyarakat beralih dari dari kondisi seimbang yang satu kepada keadaan seimbang yang lain. (Veeger, 1993: 73).
Namun sebaliknya konflik yang destruktif dan berekses menjadi kekerasan dan kerusuhan akan dapat menghancurkan keberadaan bangsa yang telah terbangun dengan suatu konsep berbagi kesepakatannya. Lebih berbahaya lagi bila konflik-konflik kekerasan tersebut membawa simbol-simbol agama maka penyelesaiannya akan semakin sulit dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Karena konflik-konflik yang melahirkan kerusuhan tersebut menyebar hampir di seluruh Indonesia, maka dibutuhkan para Penyuluh Agama yang memiliki tugas utama menyampaikan ajaran agama dengan
program-program pembangunan melalui bahasa agama yang memahami tentang kebhinekaan Indonesia atau Penyuluh Agama berwawasan multikultural.
B. Metodologi
1. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang diatas maka fokus permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana pengembangan wawasan multikultural bagi penyuluh agama ?
2. Tujuan Penulisan
Secara khusus tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana pengembangan wawasan multikultural bagi penyuluh agama, sedangkan secara umum tulisan ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan tentang keragaman etnis di Indonesia, terutama bahasa, adat, budaya dan agama.
3. Manfaat Penulisan
Secara teoritis, sasaran penulisan ini adalah terkumpulnya data yang berhubungan dengan pengembangan wawasan multikultural bagi penyuluh agama, sehingga diharapkan hasil penulisan ini nantinya dapat digunakan sebagai bahan pustaka dan kajian teoritis bagi studi dan penulisan sejenis. Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan khususnya para penyuluh agama atau intitusi lainnya yang berkiprah dan berkepentingan dengan pembinaan agama dan kerukunan bangsa.
KERANGKA TEORI
A. Sosiologi dan Agama
Dalam membicarakan tentang keadaan manusia dan agama, Nottingham berpendapat bahwa tidak ada definisi agama yang benar-benar memuaskan. Karena satu hal, agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi (batasan). Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama telah menimbulkan khayalnya yang paling luas dan juga digunakan untuk membenarkan kekejaman orang yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batinyang paling sempurna serta perasaan takut dan ngeri. Meskipun dalam masalah agama ini perhatian biasanya tertuju kepada adanya suatu dunia yang tidak dapat dilihat (akhirat), namun agama juga melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia ini. Agama senantiasa digunakan untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga yang ada di alam tersebut, namun demikianb agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang telah usang. (Nottingham, 2002: 2)
Beribadat bersama-sama, memakai lambang-lambang keagamaan telah mempersatukankelompok-kelompok manusia dalam ikatan yang paling erat, akan tetapi perbedaan agama telah mampu membantu timbulnya beberapa pertentangan yang paling hebat diantara kelompok-kelompok itu dan sekarang ini banyak sarjana sosiologi yang berusaha mendefinisikan agama dengan melihat manusia sebagai pelaku dan mereka memberikan tekanan khusus pada bagaimana menggunakan agama dalam kehidupan sosialnya.
Dalam kontek sosial lainnya, para pemimpin agama maupun para pengikutnya sering datang dari berbagai latar belakang sosial, jelasnya dari segala ragam kelas atau sejenisnya. Karena kelompok tersebut memiliki perbedaan fungsi, dengan demikian juga menerima perbedaan ganjaran dari masyarakat, maka mereka pun memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kondisi dan gaya hidup yang tidak sama telah pula melahirkan pandangan, kebutuhan, tangapan danstruktur motivasi yang beraneka. Beberapa prinsip keagamaan akan menunjukkan secara jelas kaitan konkrit antara kebutuhan dan pandangan kelompok tertentu saja daripada kelompok lain yang kadangkala kepentingannya tak tercermin sama sekali. Karena itu kebhinekaan kelompok dalam masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis kebutuhan keagamaan, akibatnya dalam sosiologi agama terbentang luas lapangan studi yang menyangkut hubungan antara agama dengan struktur sosial. Tetapi dalam hal ini terjadi hubungan dua arah, yaitu tidak saja kondisi spsial saja yang menyebabkan lahir dan menyebarnya ide serta nilai-nilai, namun bila ide-ide dan nilai telah terlembaga maka ia mempengaruhi tindakan manusia. Karena itu sosiologi agama tidak hanya harus mempelajari pengaruh struktur sosial sosial terhadap agama saja, tetapi juga harus mempelajari pengaruh agama terhadap struktur sosial. (O’Dea, 1994: 106).
B. Psikologi dan Agama
Pada umumnya ajaran agama membentuk sikap-sikap yang baik (seperti persaudaraan, cinta kasih, kesatriaan dan sebagainya) yang sangat membantu ketentraman dan keamanan masyarakat, disamping itu semua agama mempunyai keyakinan bahwa agamanya memiliki ajaran yang paling benar, maka kadang-kadang yang muncul adalah rasa sombong, merasa lebih tinggi dari penganut agama yang lain.
Dalam kesombongannyan ini akan merasa lebih tahu tentang rahasia dunua akhirat dan memastikan dirinya akan masuk surga, sedangkan penganut agama lain masuk neraka. Kesombongan ini melahirkan sikap memandang rendah (menghina) pemeluk agama lain. Dengan kacamata superior memandang sesuatu yang ada pada golongan lain serba bodoh dan serba salah, baik ajarannya, ibadatnya. Masyarakat yang terkenal beragama tidak dengan sendirinya menjadi masyarakat yang ideal, karena tidak ditempati oleh penghuni-penghuni yang ideal sebab belum sanggup mengekang hawa nafsu, belum saling mencintai sebagaimana dituntut oleh ajaran-ajaran agama yang sering muncul justru sikap mental negatif seperti ketegangan, ketakutan dan kecemasan, ini cerminan dari sikap intoleransi (Hendropuspito, 2000: 155)
Dalam membahas psikologi agama, Freud berpendapat bahwa agama adalah alat psikologis yang digunakan untuk menggantungkan harapan harapan kebaikan dan ideal-ideal kepada wujud supernatural yang disebut Tuhan. Pendapatnya yang lain mengatakan, agama memiliki fungsi-fungsi psikologis tertentu yaitu agama akan muncul sebagai respon terhadap konflik dan kelemahan emosional yang dalam. (L.Pals, 2001: 133)
C. Hermeneutik dan Agama
Hermeneutik bukan barang asing lagi bagi para pengkaji ilmu-ilmu seperti teologi, kitab suci, filsafat dan ilmu-ilmu sosial.metode ini menurut sejarahnya telah digunakan dalam penelitian teks-teks kuno seperti kitab suci kemudian juga diterapkan dalam teologi dan direfleksikan secara filosofis sampai pada akhirnya juga menjadi metode dalam ilmu-ilmu sosial. Kemudian sejauh mana hermeneutik merupakan penafsiran teks, hermeneutik juga dipakai dalam berbagai bidang lainnya, seperti ilmu sejarah, hukum, sastra dan sebagainya. (Sumaryono, 2003: 28)
Salah satu gejala yang membedakan manusia dengan hewan adalah pemakaian lambang-lambang, khususnya bahasa. Kehidupan manusia tak pernah lepas dari bahasa, khususnya dalam percakapannya karena itu terus-menerus melakukan penafsiran, dengan kata lain hermeneutik merupakan gejala khas manusia. Apa yang terjadi saat manusia melangsungkan sebuah proses percakapan, baik penutur maupun pendengar terus menerus melakukan penafsiran dunia luar maupun dunia batin dari pengalaman-pengalaman yang diungkapkan dalam bentuk bahasa. Bahasa, sebagai terwujud dalam bentuk kata-kata, kalimat, kesatuan gagasan, merupakan obyektifikasi dari kesadaran di luar atau di dalam batin manusia. Percakapan adalah proses pertukaran hasil-hasil obyektifikasi ini dan dalam pertukaran ini gagasan-gagasan bukan hanya saling diungkapkan, melainkanjuga diperluas, diperdalam, dan dipertegas serta diperjelas maknanya melalui proses penafsiran timbal-balik.
Di hadapan manusia alam merupakan suatu obyek, penjelasan tentang alam merupakan upaya untuk menemukan tentang hukum sebab-akibat yang bekerja dalam proses-proses alamiah itu. Penjelasan kausal ini ini merupakan usaha penafsiran sejauh dilakukan oleh ilmu pengetahuan tentang alam. Akan tetapi, alam juga dapat dipahami secara berbeda dari pemahaman ilmu-ilmu alam, karena alam tidak hanya mengandung sebab-akibat. Alam memiliki makna manusiawi sejauh menafsirkannya dalam hubungannya dengan dirinya. Dengan kata lain, selain memiliki makna kosmologis sebagaimana dipahami ilmu alam, alam juga memiliki makna antropologis. (Hardiman, 2007: 38)
Obyek-obyek pemahaman manusia yang lain menuntut proses aktif dari pihak manusia yang ingin memahaminya. Obyek-obyek itu adalah dunia peralatan, yaitu obyek-
obyek yang diciptakan oleh manusia sendiri dalam kontek kebudayaannya. Sedangkan salah satu unsur terpenting untuk memahami kebudayaan adalah bahasa. Bahasa sebenarnya juga termasuk di dalam alat-alat, karena bahasa merupakan wahana bagi proses batiniah manusia, dengan kata lain, bahasa merupakan alat bagi realisasi diri manusia. Menjadi manusia berarti mampu memberi makna bagi realitas dan mampu berkomunikasi dengan orang-orang lain dengan bahasa.
Proses memahami bahasa sedikit banyak akan menjelaskan bagi kita bagaimana hermeneutik terjadi. Bahasa terdiri dari unut-unit kecil, yaitu suku-suku kata. Untuk memberi makna pada suku kata, harus terbentuk kata-kata. Kata-kata ini dapat dipahami maknanya dalam kontek yang lebih luas, yaitu kalimat. Kalimat-kalimat dapat dupahami maknanya dalam kontek yang lebih luas. Dua kalimat yang persis sama bunyinya bisa memiliki makna yang berbeda kalau diungkapkan dalam gaya bahasa yang berbeda, maka kontek yang lebih luas itu adalah gaya bahasa dan gaya bahasa erat hubungannya dengan konteks sosial atau kehidupan masyarakat.
Mengikuti proses pemahaman bahasa diatas, akan terlihat sesuatu yang menarik. Suatu makna hanya dapat dipahami dalam wawasan makna pada taraf yang lebih tinggi lagi. Sebuah kata tertentu dalam sbuah teks kuno dan asing, melalui proses penafsiran dan pemahaman, akan membawa ke arah totalitas kebudayaan yang menghasilkan bahasa tersebut. Dengan demikian, di dalam proses pemahaman bahasa, harus senantiasa mengatasi konteks yang lebih sempit dengan konteks yang lebih luas. Sehinga dapat diambil suatu kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu memberi makna pada realitas dan dalam hal ini bahas memegang peranan sentralnya.
HASIL KAJIAN
A. Berdakwah dengan Budaya
Fenomena sejarah, bahwa Agama Islam masuk ke Indonesia khususnya Jawa tanpa kekerasan dan berproses damai. (De Graaf, 1986: 50). Bentuk dakwah Islam dengan cara damai salah satu contoh misalnya di Jawa. Masuknya orang-orang Jawa menjadi penganut Islam ini, menurut cerita masyarakat Jawa karena peran dakwah Wali Sanga yang sangat tekun dan memahami benar-benar kondisi sosio-kultural masyarakat Jawa, sehingga mereka mampu berbuat banyak dan menakjubkan. Tampaknya mereka menggunakan jalur pendekatan kultural, sehingga sampai kini dapat disaksikan bekas-bekas karyanya, seperti pertunjukan wayang kulit, pusat pendidikan model pesantren, arsitektur masjid dan filosofinya, tata ruang pemerintahan dan sebagainya. Apa yang telah dilakukan para Wali Sanga itu ternyata membuahkan pemikiran dan keinginan untuk mendirikan pusat yang bercorak Islam.
Tampaknya, Wali Sanga dalam dakwah keagamaannya menggunakan pola yang akomodatif, sehingga Islamisasi di Jawa mengesankan banyak orang. Sampai dengan abad ke-19, Islam di Tanah Jawa semakin merata dipeluk masyarakat Jawa, baik penguasa maupun rakyatnya. Bahkan para penguasa pribumi, yaitu para bupati sampai raja di Mataram (Yogyakarta dan Surakarta), menyandang sebagai pemimpin Agama Islam. (Maliki, 2000: 45) Gelar raja-raja di Keraton Mataram pun meliputi Raja Pandita, artinya disamping sebagai penguasa, raja juga sebagai kepala pemerintahan dan kepala agama (Islam). (Ismail, 1997: 18). Pendapat yang hampir sama mengatakan bahwa, keberhasilan Islamisasi di Jawa adalah karena kepiawaian para Wali Sanga dalam mengadopsi ”keyakinan lokal” menjadi bagian penting di dalam ritual-ritual Islam.
Secara atraktif ajaran Islam dikemas dalam coraknya yang berdekatan dengan tradisi lokal, sehingga penyebaran Islam berwajah damai. (Nur Syam, 2005: 64)
Model dakwah akomodatif dan damai ini juga dilakukan Kiai Sadrach, pemimpin Gerakan Jemaat Kristen Jawa Merdeka yang berpusat di daerah Karangjoso Kelurahan Langenrejo Kecamatan Butuh, Kutoarjo. Tokoh ini berhasil menyebarkan agama Kristen di kalangan masyarakat Jawa dengan cara melalui budaya-budaya lokal yang ada dan berlaku dalam masyarakat Jawa, bahkan juga dengan menggunakan ”ngelmu” Jawa (pedukunan) dan tradisi-tradisi lainnya. (Hermanto, 2002: 58).
Dari kenyataan diatas maka menyikapi maraknya kerusuhan yang merugikan umat beragama dan menghancurkan tidak sedikit tempat ibadah, kiranya para penyuluh agama untuk mau belajar dan menengok kembali kepada apa yang pernah dilakukan para penganjur agama terdahulu yakni melengkapi diri dengan kemampuan budaya, karena telah terbukti dengan mengikut seertakan budaya yang ada, penyebaran agama justru tidak menuai kendala. Sehingga sejarah telah banyak mencatat para Wali Sanga ini juga terkenal sebagai tokoh-tokoh budaya yang cukup pandai nembang dan ndalang.
Selain memahami budaya-budaya masyarakatnya yang akan menerima penyuluhan, idelnya penyuluh agama juga dituntut memahami budaya-budaya agama yang lain, karena tidak jarang masalah yang katanya pecah disulut karena masalah agama itu sebanarnya hanya masalah budaya belaka, tapi karena sang penyuluh agama tidak memahami budaya, maka yang sebenarnya masalah budaya justru ditarik ke ranah agama.
B. Berdakwah dengan Rasa
Maksud berdakwah dengan rasa disini adalah penyuluh agama saharusnya memiliki kepekaan rasa yang nantinya akan dapat menyulut pertikaian antar sesama umat beragama atau antar umat beragama, seperti menjadikan khilafiyah sebagai bahan dakwah secara berlebih-lebihan, mendikotomi dengan tujuan negatif antara Islam tradisionalis – modernis, santri – abangan, pedalaman – pesisiran dan juga membenturkan ajaran agama satu dengan lainnya yang memang dalam sejarahnya cenderung selalu bertikai. Begitu penting rasa ini, sehingga dalam masyarakat Jawa, rasa ini mencakup baik dalam arti fisik (indera), maupun dalam arti emosional. Dalam bahasa Jawa, rasa ini juga berarti perasan intuitif (bisikan kalbu). Rasa itu adalah substansi, sekaligus hakekat dari apa yang diterimaatau dipahami dan alat getaran atau bagian tubuh yang menerimanya. (Stange,1998: 11).
Rasa ini juga dapat diartikan sebagai empati, yakni empati seorang juru dakwah terhadap kondisi pendidikan dan ekonomi masyarakatnya, karena tidak jarang suatu konflik sebenarnya hanya masalah ekonomi yang dibingkai agama dan hal itu muncul karena dorongan mencari untung secara ekonomi sedangkan rakyat yang sudah sangat miskin mau diadu domba karena kebodohannya. Tentunya hal ini berbeda dengan apa yang pernah dilakukan para Wali Songo, ketika melihat semakin lemahnya Kerajaan Majapahit terutama pasca Perang Paregreg sehingga rakyat kelaparan tidak terurus, para wali merasa empati yakni dengan memberdayakan masyarakat pesisir melalui para adipati, tumenggung dan syahbandar sehingga perekonomian pesisir begitu kuat saat menjelang keruntuhan Majapahit. (Sunyoto, 1987: 31)
C. Berdakwah dengan Bahasa
Penjelasan dari dakwah dengan bahasa disini adalah seharusnya penyuluh agama memahi bahasa masyarakat yang menjadi sasaran penyuluhannya, bahasa disini bukan berarti bahasa alat komunikasi belaka. Lebih dari itu adalah seorang penyuluh tidak terus-menerus serta merta berbahasa langit, tapi idealnya juga dapat berbahasa bumi, bahkan harus bisa mengurai dari bahasa langit menjadi bahasa bumi (hermeneutik). Karena tidak jarang keterbatasan dalam berbahasa dan mengolah bahasa masalah akan semakin liar dan susah penyelesaiannya, sehingga bahasa disini adalah apa yang sebenarnya menjadi subyek matter masyarakat di suatu wilayah.
Lebih jauh Herusatoto mengatakan bahwa, bahasa oleh manusia digunakan untuk menyatakan perasaan, keinginan dan kebutuhan, atau untuk mendapatkan keterangan dari pihak lain. Pengunaan bahasa lebih komplekdan maju adalah untuk menyatakan reasoning, menerangkan sebab akibat, yaitu suatu corak pemikiran khas yang dimiliki manusia dari pengetahuan yang ada untuk memperoleh pengetahuan lainnya, terutama sebagai sarana dalam pemecahan masalah. (Herusatoto, 2002: 20)
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyuluh agama adalah salah satu ujung tombak Departemen Agama yang memiliki tanggung jawab menyampaikan prinsip dan etika nilai ajaran agama serta program-program pembangunan dengan bahasa agama. Sedangkan Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki berbagai keragaman etnik, budaya, bahasa dan agama. Karena itulah kerawanan dan kerusuhan yang disulut oleh SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) sangat dimungkinkan terjadi. Sehingga perlu dikembangkan wawasan multikultural bagi penyuluh agama, yang terkandung didalamnya pemahaman tentang
kondisi budaya sosial , psikologi sosial dan hermeneutik tekstual. Dengan penyampaian yang diwarnai pendekatan budaya, rasa dan bahasa.
B. S a r a n
Penyuluh agama adalah juru penerang untuk masyarakat binaannya, maka hendaknya dalam penyampaiannya tidak selalu terus menerus menggunakan bahasa langit yang kadang-kadang tidak dipahami masyarakatnya padahal salah satu tugas suci penganut agama apapun adalah menjaga kedamaian dan ketentraman dunia. Maka dengan ini kiranya sangat beralasan bila penyuluh agama juga harus memiliki pemahaman untuk kedamaian hidup bersama khususnya di Indonesia yakni wawasan multikultural.
DAFTAR PUSTAKA
Graaf, H.J. De. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram. Jakarta: Grafiti Pers.
Hardiman, F. Budi. 2007. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Hendropuspito, D. O.C. 2000. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Herwanto, Lydia. 2002. Pikiran dan Aksi Kiai Sadrach, Gerakan Kristen Jawa Merdeka. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Ismail, Ibnu Qoyim. 1997. Kiai Penghulu Jawa. Jakarta: Gema Insani Press.
L. Pals, Daniel. 2001. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Qalam
Maliki, Zainuddin. 2001. Agama Rakyat Agama Penguasa. Yogyakarta: Galang Press.
Nottingham, Elizabeth K. 2002. Agama dan Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nur Syam. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS.
O’Dea, Thomas F. 1994. Sosiologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Stange, Paul. 1998. Politik Perhatian.Yogyakarta: LKiS.
Sumaryono, E. 2003. Hermeneutik. Yogyakarta: Kanisius.
Sunyoto, Agus. 1987. Sunan Ampel. Surabaya: LPLI Sunan Ampel.
Tholkhah, Imam. 2002. Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag.
Veeger, K.J. 1993. Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/MAKALAHTOHAGOL.III.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar