Kamis, 16 Januari 2014

ISU-ISU SEPUTAR INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA

1
ISU-ISU SEPUTAR INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA
DENGAN PARADIGMA HUMANIZING DEVELOPMENT
Oleh: Drs. H. M. Ladzi, M.Ag
(Widyaiswara Balai diklat Keagamaan Surabaya)
Pengantar
Pembangunan adalah proses perubahan keadaan menuju pada kondisi yang
lebih baik (Kartasasmita, 1997). Pembangunan juga diartikan sebagai upaya yang
dilakukan secara terencana untuk menuju pada suatu perubahan sosial (social change)
dalam masyarakat, walau sebenarnya pembangunan tidak sama dengan perubahan
sosial. Sebagai sebuah proses, pembangunan tentu saja dilakukan dengan melihat
kebutuhan-kebutuhan yang ada sekaligus merespon perubahan yang terjadi dalam
masyarakat dan tuntutan-tuntutan pergeseran waktu akibat berkembangnya peradaban,
sistem sosial kemasyarakatan, dan teknologi yang lebih maju. “Pembangunan adalah
proses yang multidimensional yang melibatkan proses reorganisasi dan reorientasi dari
keseluruhan sistem ekonomi dan sosial,” (Todaro, 2003).
Kondisi-kondisi inilah yang menuntut pembangunan dilakukan di negara-negara
yang ada di dunia ini. Saul M Katz (1971) menjelaskan bahwa “development is a major
societal change from one state of national being to another, more valued, state. It
involved a complex of mutually related economics, societal and political change.”
Dengan kata lain, pembangunan merupakan pergeseran dari satu kondisi negara yang
satu menuju kondisi nasional yang lain yang dipandang lebih baik.
Pembangunan sendiri memiliki dua pemahaman. Pertama, pembangunan
sebagai fenomena sosial yang mencerminkan kemajuan peradaban manusia. Dengan
kata lain, perubahan dari satu peradaban menuju kepada peradaban yang lebih
advanced atau lebih maju dari kehidupan yang dijalani sebelumnya. Kedua,
pembangunan dipahami sebagai planned societal change atau perubahan sosial yang
terencana, yang kemudian diikuti dengan revolusi-revolusi yang ada di negara-negara
di dunia.
2
Secara teoritis, pembangunan mempunyai tiga inti. Tiga inti pembangunan itu
seperti yang dikemukakan oleh Todaro (2003) adalah pertama, sustenance atau
peningkatan standar hidup, bahwa pembangunan harus mampu meningkatkan
kemampuan setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs),
seperti makan, kebutuhan bernaung (shelter), kesehatan dan perlindungan. Dengan
kata lain, pembangunan dilakukan sebagai upaya atau proses untuk memenuhi
kebutuhan dasar dari manusia yang hidup di dalamnya. Kedua, self-esteem,
pembangunan harus mampu memberikan penghargaan diri sebagai manusia, dan tidak
digunakan sebagai alat dari orang lain. Artinya, pembangunan harus mampu
mengangkat derajat manusia dan menciptakan kondisi untuk tumbuhnya self-esteem.
Ketiga, freedom from servitude, pembangunan harus membebaskan atau
memerdekakan manusia dari penghambaan dan ketergantungan akan alam,
kebodohan dan kemelaratan. Pembangunan dilakukan untuk tujuan peningkatan
kebebasan setiap orang dari kungkungan atau tekanan-tekanan kepentingan yang ada.
Sebagai sebuah proses, pembangunan dilakukan untuk mencapai kemajuan.
Proses pembangunan membutuhkan masukan sumber daya untuk ditransformasikan
menjadi hasil atau keluaran. Keluaran atau output akan dihasilkan secara optimal,
apabila input atau masukan sumber dayanya berkualitas. Siagian (1994) menyatakan
bahwa sesungguhnya pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha
pertumbuhan dan perubahan berencana dan dilakukan secara sadar oleh bangsa,
negara dan pemerintah menuju modernisasi dalam rangka terciptanya nation building.
Siagian juga menambahkan bahwa secara umum, pembangunan dapat diartikan pula
sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak
kepada warga negara yang menjadi stakeholder untuk memenuhi kebutuhan dan
mencapai aspirasi yang lebih manusiawi.
Pembangunan sejatinya merupakan pencerminan kehendak dan partisipasi
rakyat untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
secara adil dan merata. Hal ini juga untuk mengembangkan kehidupan masyarakat dan
penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis. Kondisi-kondisi ini akan bisa
3
dipenuhi atau tercapai apabila ada perencanaan, koordinasi, partisipasi publik,
kelembagaan, dan sistem hukum yang baik yang menjamin peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan.
Pada awalnya, pembangunan merupakan tugas dan kewajiban yang dibebankan
kepada pemerintah dan negara. Masyarakat dianggap pasif menjadi obyek
pembangunan. Belakangan, perspektif-perspektif baru tentang pembangunan
berkembang, tidak lagi hanya memberikan beban kepada pemerintah, melainkan mulai
mengikut sertakan masyarakat dan pihak-pihak ketiga. Beberapa tulisan tentang
pandangan baru pembangunan yang kemudian dianggap menghasilkan upaya-upaya
baru untuk minimalisasi peran pemerintah dan maksimalisasi peran swasta, mulai
bermunculan, seperti misalnya tulisan Osborne-Gaebler-Plastrik dalam Reinventing
Government (1992) dan Banishing Bereaucracy (1997) hingga Amartya Sen dalam
Development as Freedom (2000). Gelombang privatisasi pembangunan tersebut
muncul seiring pendekatan good governance, pemberdayaan, gerakan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), pendekatan partisipatoris hingga masyarakat madani.
Salah satu isu pembangunan yang relevan dan digunakan sebagai alat ukur
untuk melihat perkembangan peradaban manusia dan mengklasifikasi status negara
menjadi negara maju, berkembang dan terbelakang. Indonesia sendiri masih
merupakan negara yang tergolong dalam klasifikasi negara berkembang dengan angka
Indek Pembangunan Manusia (IPM) nya pada tahun 2011 menduduki peringkat ke 124
dalam jajaran daftar IPM yang dikeluarkan oleh UNDP tahun lalu. Apa sebenarnya
masalah dan isu-isu yang terkait dengan persoalan pembangunan manusia di tanah air.
Makalah ini akan mencoba untuk mencandra persoalan pembangunan manusia dan
isu-isu terkait dengan IPM yang dimiliki oleh Indonesia dalam kaitannya dengan
persoalan pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Makalah ini membatasi diri untuk tidak lebih banyak mengupas persoalan ekonomi yang
mendetail, tetapi akan lebih memfokuskan pembahasannya pada persoalan
pemberdayaan manusia dalam proses pembangunan terkait dengan IPM dan sedikit
menyingung persoalan kemiskinan yang juga relevan untuk dibahas. Makalah ini
4
disusun untuk melihat bagaimana pembangunan manusia (Human Development Index)
yang memusatkan perhatiannya pada pemberdayaan sumber daya manusia dan
keterlibatan publik yang lebih sentral. Dengan menggunakan kerangka pemikiran
paradigma humanizing development, tulisan ini mencoba menawarkan argumentasi
bahwa dalam konteks pembangunan di tanah air, keterlibatan aktif masyarakat—
sebagai masyarakat sipil yang berdaya—adalah sentral dan diperlukan untuk
meningkatkan mutu dan kualitas hidup manusianya.
Beragam Definisi Pembangunan
Terminologi pembangunan didefinisikan dengan begitu beragam. Tidak ada
kesepakatan yang sama juga tentang definisi pembangunan yang satu dengan yang
lain. Dalam banyak hal, istilah pembangunan seringkali digunakan merujuk dengan
konsep tentang pengembangan. Terminologi ‘pembangunan’ dan ‘pengembangan’
sendiri pada hakekatnya juga dapat saling dipertukarkan. Namun berbagai kalangan di
Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah pengembangan untuk
beberapa hal yang spesifik. Meski demikian, sebenarnya secara umum kedua istilah
tersebut diartikan secara tidak berbeda untuk proses-proses yang selama ini secara
universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau development (Rustiadi, 2006).
Dalam tulisannya Rustiadi menyatakan ada yang berpendapat bahwa terminologi
“pengembangan” lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam
pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari nol, atau
tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Melainkan melakukan sesuatu
yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas
(Rustiadi, 2006).
Menurut Tjokrowinoto (1997), batasan pembangunan yang nampaknya bebas
dari kaitan tata nilai tersebut dalam realitasnya menimbulkan interpretasi-interpretasi
yang seringkali secara diametrik bertentangan satu sama lain sehingga mudah
5
menimbulkan kesan bahwa realitas pembangunan pada hakikatnya merupakan self
project reality.
Ada pula yang mendefinisikan terminologi ‘pembangunan’ dengan spesifik pada
aspek ekonomi. Dikatakan pembangunan apabila indikator ekonomi nasional
mengalami perubahan atau peningkatan termasuk struktur-struktur yang berkaitan
dengan sektor ekonomi. Misalnya, Sumitro (1994) mendefinisikan pembangunan
sebagai “suatu transformasi dalam arti perubahan struktur ekonomi. Perubahan struktur
ekonomi diartikan sebagai perubahan dalam struktur ekonomi masyarakat yang meliputi
perubahan pada perimbangan keadaan yang melekat pada landasan kegiatan ekonomi
dan bentuk susunan ekonomi. Demikian juga dengan Arthur Lewis (1954), yang
berpendapat tentang pentingnya transformasi struktur ekonomi pertanian ke struktur
ekonomi industri dalam upaya menuju pertumbuhan (dalam aspek ini pengertian
pertumbuhan asosiatif dengan pembangunan) ekonomi.
Pendapat yang berbeda tentang definisi dan pemahaman tentang
‘pembangunan’ juga dilontarkan oleh Arif Budiman, Sosiolog Indonesia yang cukup
tenar. Arif Budiman (1995) mencoba membagi teori pembangunan ke dalam tiga
kategori besar yaitu teori modernisasi, dependensi dan pasca-dependensi. Teori
modernisasi menekankan pada faktor manusia dan budayanya yang dinilai sebagai
elemen fundamental dalam proses pembangunan. Sedangkan dependensi dilihat
sebagai bentuk ketergantungan tidak saja kepada pihak asing, tetapi ketergantungan
kepada pusat/sentral. Sedangkan pasca-dependensi adalah masa ketika pembangunan
sudah mampu dilakukan secara mandiri.
Di lain sisi, pembangunan tidak hanya dilihat dari sisi material atau physical
semata, melainkan juga dilihat pada proses peningkatan kualitas manusianya dari
perangkap kemiskinan. Kartasasmita (1996) menyatakan, pembangunan adalah “usaha
meningkatkan harkat martabat masyarakat yang dalam kondisinya tidak mampu
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Membangun
masyarakat berarti memampukan atau memandirikan mereka”.
6
Menurut Todaro (2003: 28) pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik
sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin – melalui
serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi, dan institusional – demi mencapai
kehidupan yang serba lebih baik. Karena itu, proses pembangunan di semua
masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti, yaitu: pertama, peningkatan
ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang
pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan.
Kedua, peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan,
tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas
pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang
kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga
menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Ketiga,
perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara
keseluruhan.
Di Indonesia, istilah pembangunan sudah sejak lama menjadi terminologi seharihari.
Bahkan pada masa Orde Baru, rejim Soeharto yang berkuasa menggunakan kata
pembangunan sebagai bagian dari diskursus kehidupan masyarakat Indonesian setiap
harinya. Pada masa ini, pembangunan secara tegas diamanatkan dan direncanakan
dalam tiap tahapan lima tahun pembangunan yang dikenal dengan REPELITA. Setiap
tahapan lima tahunan tersebut, ada isu-isu strategis yang ditonjolkan dan diutamakan.
Sejak masa Orde Baru, terminologi yang erat dikaitkan dengan pembangunan dikenal
dengan konsep Delapan Jalur Pemerataan yang merupakan penjabaran dari Trilogi
Pembangunan yang digagas dan ditetapkan oleh Soeharto. Delapan jalur pemerataan
yang dimaksud adalah pemerataan dalam hal: (1) pemenuhan kebutuhan pokok rakyat
banyak, berupa pangan, sandang dan perumahan; (2) kesempatan memperoleh
pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pembagian pendapatan; (4) kesempatan
kerja; (5) kesempatan berusaha; (6) kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan,
khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) penyebaran pembangunan; dan
(8) kesempatan memperoleh keadilan. Meskipun dalam pelaksanaannya, rakyat
Indonesia lebih banyak hanya menjadi penonton daripada subjek dari pembangunan itu
7
sendiri, tetapi dengan skenario yang tegas berkaitan dengan pembangunan ini, tetap
saja tujuan dari pembangunan nasional adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Diskursus pembangunan sejak masa reformasi atau runtuhnya rejim Orde
Baru tidak lagi bergaung nyaring, karena diskursus politik dan korupsi menjadi isu yang
lebih menonjol saat ini dibandingkan dengan isu-isu pembangunan itu sendiri. Para
pemimpin negeri ini tidak lagi banyak bicara tentang gagasan-gagasan pembangunan
dan skenario pencapaian pembangunan, melainkan lebih sibuk untuk menghalau
musuh-musuh politiknya dan mementingkan politik pencitraannya kepada publik melalui
media massa, ketimbang berdialog dengan petani dan nelayan untuk memikirkan
bersama konsep-konsep dan upaya-upaya mencapai pembangunan yang
mensejahterakan rakyat secara menyeluruh.
Mengacu pada berbagai definisi pembangunan yang ada, para ekonom
merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan. Dudleey Seer, misalnya,
merumuskan bahwa pembangunan dikatakan berhasil apabila indikator
keberhasilannya bisa dilihat dari: (1) Tingkat ketimpangan pendapatan; (2) Penurunan
jumlah kemiskinan; (3) Penurunan tingkat pengangguran. Ketiga ukuran keberhasilan di
atas jika disimak lebih dalam adalah menuju satu sasaran akhir yaitu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat berarti
menurunnya kemiskinan (dalam Todaro, 2003).
Tambahan lagi, PBB juga merumuskan indikator pembangunan khususnya
pembangunan manusia dan kemiskinan, yang kemudian dirangkum ke dalam konsep
pembangunan yang terkenal dengan rumusan Millenium Development Goals (MDGs).
Dalam konsepsi MDGs ini—yang saat ini diratifikasi oleh hampir seluruh negara di
dunia terutama dalam kaitannya dengan perubahan iklim dan pembangunan ekonomilingkungan—
merumuskan delapan indikator capaian pembangunan, antara lain: (1)
penghapusan kemiskinan; (2) pendidikan untuk semua; (3) persamaan gender; (4)
perlawanan terhadap penyakit menular; (5) penurunan angka kematian anak; (6)
peningkatan kesehatan ibu; (7) pelestarian lingkungan hidup; (8) kerjasama global
(www.undp.or.id).
8
Pada akhirnya, secara filosofis, suatu proses pembangunan dapat diartikan
sebagai “upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan
yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap
warga yang paling humanistik” (Rustiadi, 2006). Di lain sisi, UNDP mendefinisikan
pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai “suatu proses untuk
memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices)
(dalam Rustiadi, 2006). Dalam konsep tersebut, penduduk ditempatkan sebagai tujuan
akhir (the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagaimana
dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation) sedangkan upaya
pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Dengan kata lain,
bahwa pembangunan sebagai proses yang terus berjalan, tidak bisa melepaskan
unsure human atau manusia baik sebagai pelaku utama atau subjek pembangunan
maupun sebagai objek pembangunan yang perlu ditingkatkan dan dikembangkan
menjadi lebih maju, lebih berkualitas dan lebih sejahtera taraf kehidupannya. Dari
sinilah paradigma pembangunan humanizing mempunyai konteks yang relevan untuk
dipakai sebagai salah satu pandangan atau perspektif melihat sebuah proses
pembangunan yang ada di sektor-sektor nasional. Bagian berikut akan menjelaskan
paradigma ini.
Paradigma Humanizing Development
Paradigma pembangunan humanizing diperkenalkan oleh badan PBB UNDP
sebagai sebuah perspektif pembangunan yang diterima secara global oleh negaranegara
di dunia. Paradigma ini dilandasi oleh keyakinan dan pengakuan kekuatan
people’s choice atau pilihan rakyat. Dengan kata lain, rakyat harus diberi kesempatan
untuk mengembangkan kapabilitas dan kapasitasnya untuk membangun dirinya sendiri
dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup generasi penerusnya dengan
sumberdaya dan lingkungan hidup yang lestari secara berkelanjutan (Barreiro, 2006).
9
Paradigma ini bersifat universal. Memperhatikan antara sumberdaya yang
digunakan dan hasil dari pembangunan yang ada. Paradigma ini bersifat nondiskriminatif
dan memperhatikan atau menempatkan masyarakat sebagai subjek
pembangunan. Paradigma human development juga mendorong peningkatan
kapabilitas maupun penggunaannya dan mengurangi deprivasi/penderitaan dan
berorientasi pada sustainability atau keberlanjutan dan kesejahteraan generasi
penerus.
Paradigma human development muncul dan berkembang pada tahun 1990an
ketika tuntutan demokrasi di negara-negara berkembang yang berlatar belakang
negara-negara otoritarian masih begitu kuat. Tambahan lagi beberapa negara yang
juga masih mengalami penjajahan atau intervensi dari negara-negara di luar wilayahnya
sehingga rakyat selalu menjadi korban dari proses pembangunan yang dilakukan.
Dengan tuntutan demokrasi yang ada, maka kebutuhan masyarakat atau rakyat
sebagai subjek atau pelaku sekaligus penentu dari proses pembangunan itu sendiri
menjadi sentral. UNDP sendiri kemudian merumuskan bahwa manusia, sebagai
sumber daya, dibutuhkan dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan bukan sebagai
penderita melainkan berada di depan garis untuk merencanakan, melakukan, dan
memonitor serta menilai pelaksanaan pembangunan.
Konsep yang dikembangkan oleh UNDP adalah mengembangkan metodologi
baru untuk kepentingan pembangunan manusia yang berkelanjutan atau sustainable
human development, bagi kepentingan tujuan human well-being atau kebaikan manusia
ke depan. Konsep human development ini dikenal juga dengan istilah “development
with human face” (Barreiro, 2006: 2) yang menggeser paradigma yang awalnya lebih
menekankan pada pembangunan ekonomi menuju kepada pembangunan sosial.
Kunci utama dari paradigma pembangunan ini adalah: (1) deprivasi atau
kebutuhan dan potensi-potensi yang ada dalam kebijakan bisa dilihat; (2) terbukanya
kesempatan interaksi yang ada dalam kebijakan yang dibuat; (3) masih dimungkinkan
adanya perubahan kebijakan ketika proses pembangunan sedang dilakukan; (4)
banyak faktor yang bisa dilibatkan seperti aktor, mekanisme pembangunan, aksi-aksi
10
kolektif, ruang dan aspek-aspek penting lainnya yang dilibatkan dalam proses
pembangunan; (5) paradigma pembangunan bergeser dari yang semula “top down”
mengarah kepada “bottom up”; (6) aspek-aspek yang “sinergi” dan “merusak” bisa
diidentifikasi sejak awal (Barreiro, 2006: 19).
Paradigma pembangunan manusia mencari tatanan yang sanggup melingkupi
semua aspek pembangunan, dimana aspirasi terbesar adalah untuk membuka pilihan
yang lebih besar pada rakyat dan memperkaya kualitas hidup mereka. Amartya Sen
adalah yang pertama mengenalkan paradigma pembangunan manusia (1990)
dimasukkan sebagai salah satu teori pembangunan yang menitik beratkan pada
peningkatan peran dan kualitas manusia. Dalam teorinya yang berjudul ‘Development
as Freedom’, Sen menjelaskan bahwa semua individu berhak atas seperangkat
kemampuan-kemampuan yang membuat mereka bisa lari atau keluar dari kemiskinan
dan dari apa yang disebutnya sebagai “unfreedom” atau ketak-bebasan dari jerat
kemiskinan dan kesulitan hidup.
Sen mempertanyakan tentang asumsi-asumsi mendasar dari pembangunan
ekonomi yang dinilainya tidak memperhatikan persoalan kemiskinan yang muncul
akibat dari proses pembangunan yang ada secara keseluruhan. Bagi Sen, pendapatan
kemiskinan seharusnya tidak dijadikan sebagai faktor determinan tunggal dari
pembangunana. Bagi Sen, dalam proses pembangunan sebuah negara, masih banyak
masyarakat yang terpenjara atau “unfreedom” dari kehidupan yang tidak mampu
mencapai kapabilitas hidup yang dimilikinya. Sen menjelaskan bahwa ada lima elemen
penting yang menjadi instrument kebebasan atau kemerdekaan bagi individu dalam
konteks pembangunan, yakni: (1) kebebasan politik; (2) fasilitas ekonomi; (3)
kesempatan-kesempatan sosial; (4) transparansi yang dijamin; (5) keamanan yang
protektif. Bagi Sen, kelima kebebasan ini diperlukan bagi proses pembangunan (Sen,
1999). Sen menambahkan bahwa kemiskinan sebenarnya bukan hanya persoalan low
income atau pendapatan rendah, melainkan juga karena adanya perbedaan atau
deprivasi perolehan kemampuan dasar manusia yang harusnya bisa didapatkan secara
merata.
11
Berdasarkan pada asumsi dan argumen di atas, bahwa pada hakekatnya
pembangunan yang dilakukan oleh sebuah negara, memang diharapkan tidak
menghasilkan bangunan-bangunan fisik yang mentereng dan kokoh. Melainkan juga
membutuhkan bangunan manusia yang kuat yang ada di dalamnya. Karena manusia
yang hidup di dalamnya merupakan sumberdaya yang berarti bagi pelaksanaan
pembangunan itu sendiri. Manusia yang ada di dalamnya pun harus terbebaskan dari
belenggu-belenggu kemiskinan yang menjadi penjara bagi dirinya. Betapa ironisnya
seorang warga negara yang tinggal di dalam suatu negara tidak dapat merasakan
kenikmatan hidup, manakala segala akses dan fasilitas yang diperolehnya amat
terbatas karena kemiskinan yang dihadapinya, sementara sebagai manusia yang hakiki
dia memiliki hak untuk hidup seperti layaknya manusia-manusia lain yang ada di
sekitarnya. Bahkan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan masyarakat miskin dan
anak-anak yatim dipelihara oleh negara. Tetapi pada kenyataannya mereka ini adalah
bagian dari populasi yang dimarjinalkan oleh negara sendiri. Berikut ini akan dilihat
persoalan-persoalan dan isu-isu pembangunan manusia di Indonesia dengan melihat
hasil laporan terakhir tentang angka indeks pembangunan manusia atau yang lebih
dikenal dengan Human Development Index yang menjadi perdebatan diskursus
pembangunan di dalam negeri ini.
Isu-Isu Seputar Pembangunan Human Development Index (HDI) atau IPM
Indonesia
United Nations Development Program (UNDP) salah satu badan PBB yang
mengurusi persoalan pembangunan manusia di dunia merilis data HDI tahun 2011.
Diantara 187 negara yang di-survey oleh UNDP, Indonesia ditempatkan pada rangking
ke 124 berkaitan dengan Indeks Pembangunan Manusianya. Di antara negara-negara
di Asia Tenggara, posisi Indonesia memang tergolong lebih rendah dibandingkan
negara-negara seperti Singapura yang menduduki tempat di peringkat 26 diikuti Brunei
di tempat 33, Malaysia peringkat ke 61, Thailand di peringkat 103 dan Philipina di
peringkat 112 (The Jakarta Post, 2 November 2011). Dengan perolehan ini,
12
dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, kondisi pembangunan manusia di
negara ini tergolong dalam deretan yang perlu diperhatikan. Meskipun, jika ditilik dari
angka IPM pada tahun 2010, posisi tahun 2011 ini telah memberikan peningkatan.
Persoalan yang krusial memang bagi kondisi pembangunan di tanah air.
Angka HDI Indonesia di tahun 2011 mencapai skor 0.617, sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan beberapa negara seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan
Burma/Myanmar. Negara-negara maju seperti Norwegia, Australia, Belanda, Amerika,
dan Selandia Baru menduduki peringkat teratas. Negara-negara ini betul-betul
mmperhatikan aspek kehidupan manusia dan mempunyai komitmen yang tinggi bagi
peningkatan kualitas hidup manusianya. Negara yang tergolong “welfare state” atau
negara-negara makmur mempunyai mekanisme kesejahteraan bagi masyarakatnya
yang sudah established atau mapan. Sehingga jaminan hidup dan kehidupan
manusianya sudah tertata dengan baik sistemnya. Misalnya, di Australia, para
pembayar pajak atau tax payer yang ada mempunyai hak untuk mendapatkan kembali
fasilitas dan sarana-sarana dari pemerintah dari pajak yang dibayarkan. Mereka yang
mempunyai penghasilan lebih harus membayar lebih besar pajaknya daripada mereka
yang berpenghasilan kurang. Sementara mereka yang berpenghasilan di bawah ratarata
yang ditetapkan pemerintah bisa meng-klaim tax return atau pengembalian
pajaknya dari negara. Dengan sistem semacam ini—yang kaya men-support yang
miskin—maka kesejahteraan masyarakat bisa berjalan dengan baik.
Indeks pembangunan manusia merupakan gabungan dari penghitungan secara
keseluruhan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi pembangunan manusia
antara lain kesehatan, pendidikan, dan ekonomi pendapatan masyarakat. Meskipun
negara-negara maju seperti Amerika, Australia, Selandia Baru dan beberapa yang lain
lagi mengalami peningkatan dalam HDI-nya, tetapi mereka mengalami penurunan pada
detail penilaian angka kesehatan, pendidikan, dan income atau pendapatan dalam
kondisi internal negaranya. Amerika, misalnya, mengalami penurunan dalam hal
perolehan skor untuk kesehatan, pendidikan, dan pendapatan rakyatnya dari nomer
peringkat 4 tahun 2010 menjadi nomer 23 tahun 2011. Begitu pula Republik Korea,
13
mengalami penurunan dari nomer peringkat 15 ke peringkat 32, serta Israel yang
menurun dari nomer 17 menjadi 25 untuk ketiga kategori tersebut (The Jakarta Post, 2
November 2011).
HDI yang dimiliki oleh Indonesia sendiri di sisi yang lain juga menggambarkan
indikator-indikator pencapaian dan menurunnya beberapa kondisi yang ada. Untuk
tahun 2011 sendiri, angka harapan hidup masyarakat di Indonesia mencapai 69,4
tahun. Dengan kata lain, rata-rata umur kehidupan manusia di Indonesia sekitar 70
tahun. Angka harapan hidup ini cukup baik dibandingkan tahun sebelumnya yang
kurang dari 70 tahun. Selain itu, dengan jumlah penduduk yang dihitung sekitar 242.3
juta, income per kapita atau pendapatan rata-rata penduduk dalam setahun adalah
US$3716 atau sekitar 29 Juta rupiah dengan kurs Rp. 9,000 per dolar Amerika. Angka
ini juga mengalami kenaikan dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya yakni
meningkat hingga 181% (lihat Laporan Kementrian Kesejahteraan Rakyat Indonesia
tentang HDI 1980-2011). Namun, angka peningkatan income per kapita ini harusnya
diikuti semakin panjangnya angka harapan hidup manusia di dalamnya.
Sedangkan untuk Internal-inequalities Human Development Index atau angka
ketidaksetaraan internal, bidang kesehatan, kurva yang dialami Indonesia juga
meningkat signifikan. Meskipun angka mendekati baseline yang ditetapkan oleh UNDP
tetapi, angka yang dicapai Indonesia masih jauh dari angka-angka yang berhasil
dicapai oleh negara-negara di Asia Tenggara. Angka pendidikan misalnya, kurva tahun
2010-2011 tergambar secara flat atau mendatar, tidak memberikan perubahan yang
berarti. Ini terlihat memang dari jumlah penduduk yang menempuh pendidikan wajar 9
tahun dan angka buta huruf di Indonesia masih relatif memprihatinkan. Selain itu
rehabilitasi gedung-gedung sekolah dasar, penyebaran dana BOS kepada masyarakat
miskin, dan peningkatan kesejahteraan guru dan dosen terutama di daerah pelosok dan
kawasan tertinggal di Indonesia perlu ditingkatkan karena ini bagian dari penghitungan
indeks kesejahteraan pendidikan yang diperhitungkan.
14
Meskipun nilai IPM Indonesia saat ini tercatat 54%, yang mendudukkan
Indonesia di peringkat ke-4 dari 10 negara yang dinilai memiliki kemajuan terbesar (‘the
emerging country’ yang mengalami surplus ekonomi di tengah krisis ekonomi global
2008, bersama dengan India dan Cina) dalam pembangunannya, namun persoalanpersoalan
signifikan masih menghantui proses pembangunan jangka panjang ke depan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sebenarnya indeks pembangunan manusia Indonesia
masih mengalami banyak persoalan. Human Development Index sendiri telah
digunakan di tanah air sebagai indikator perencanaan pembangunan jangka panjang
dan menengah untuk memperbaiki kualitas sumberdaya nasional, selain kompetensi
nasional. Diakui sendiri oleh pemerintah, lewat menteri Bappenas, bahwa persoalan
terbesar yang masih menggantung di Indonesia adalah kemiskinan dan pengangguran.
Artinya bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah karena tingginya angka
masyarakat miskin dan tidak berpenghasilan yang ada. Tahun 2009 angka kemiskinan
berkisar 12-13,5%, atau lebih rendah dari data tahun 2008 yang mencapai 15,4%
(Tempo, 4 November 2011).
Tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran ini akan berdampak pada
angka harapan hidup masyarakat. Semakin tinggi angka harapan hidup berarti semakin
tinggi pula akses kesehatan dan fasilitas kesehatan yang diterima. Demikian
sebaliknya, jika angka harapan hidup rendah, berarti fasilitas dan akses kesehatan
yang diterima masyarakat sangat rendah. Kondisi kemiskinan dan pengangguran tentu
saja memiliki keterkaitan dengan rendahnya akses dan fasilitas kesehatan yang bisa
dilakukan oleh masyarakat, jika tidak pemerintah yang harus menalangi ini. Akses
kesehatan yang gratis atau murah dan terjangkau memang harus diperhatikan dan
membutuhkan dana serta komitmen besar pemerintah manakala jumlah masyarakat
miskinnya sangat banyak. Persoalannya mampukah pemerintah melakukan ini? Berapa
persen anggaran belanja nasional yang dialokasikan bagi pembangunan kesehatan
masyarakat. Sama hal nya dengan kenaikan anggaran bagi Kementrian Pendidikan
Nasional yang juga belum menunjukkan indikator peningkatan tingkat pendidikan
masyarakat ke arah yang lebih baik.
15
Kondisi seperti ini perlu dilihat dari beberapa persoalan yang selama ini masih
megganjal. Menurut penulis persoalan-persoalan yang krusial berkaitan dengan kondisi
masih lemahnya IPM Indonesia antara lain:
Pertama, seiring dengan perubahan sistem sosial-politik yang terjadi paska-Orde
Baru, para elit politik, termasuk pemimpin negara, lebih memusatkan perhatian pada
pembangunan politik bangsa. Dengan runtuhnya rejim otoriter, kondisi politik Indonesia
diarahkan kepada pola-pola dan model-model demokrasi yang dilakukan di negaranegara
maju, terutama Amerika sebagai kiblat bagi pembangunan politik tanah air.
Sehingga eforia demokrasi seolah jauh lebih penting untuk dikedepankan daripada isuisu
pembangunan yang krusial. Fokus perhatian pada perbaikan sistem politik dari
otoritarian menuju pada konsep demokrasi, telah memberikan cost atau biaya yang
tidak sedikit bagi proses pengembangan politik dan pembelajarannya bagi masyarakat
Indonesia. Alhasil, isu-isu pembangunan yang lain seperti pertanian, perikanan,
kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya kurang mendapat perhatian dan
tidak menjadi diskursus baik bagi eksekutif maupun legislative untuk dikedepankan.
Jika pada masa Soeharto, pemerintah menetapkan dan mengkampanyekan program
pembangunan yang disebut dengan REPELITA dengan GBHN yang disosialiasasikan
secara meluas, pemerintahan paska-reformasi tidak melakukan pola yang sama.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sendiri memang mencanangkan program
yang disebutnya dengan Visi Indonesia 2030, suatu program pembangunan jangka
panjang yang dibuat lebih banyak oleh para entrepreneur atau pengusaha di kalangan
lingkaran dalam pemerintah. Beda dengan masa Soeharto, yang menggunakan
ekonom-ekonom handal—yang terkenal dengan mafia Berkeley—seperti Widjojo
Nitisastro dan kawan-kawan yang mempunyai visi handal bagi pembangunan ekonomi
dan pertumbuhan industri Indonesia. Visi Indonesia 2030 yang disusun oleh tim
ekonomi SBY bukan tidak mungkin akan lebih mementingkan kepentingan pengusaha
daripada rakyat. Richard Robison dan Vedi Hadiz (1997) pernah menuliskan tentang
konsep oligarkhi pada masa pemerintahan Orde Baru dimana terjadi “koalisi” antara
pengusaha dan elit politik dalam menjalankan roda pemerintahan ini. Kondisi ini
nampaknya terulan di masa pemerintahan SBY. Bahkan para pengusaha kini masuk
16
sebagai orang nomer satu di partai-partai politik yang ada seperti Aburizal Bakrie, Surya
Paloh, dan para menteri kabinet yang diangkat oleh presiden. Model oligarkhi
penguasa-pengusaha tidak akan banyak memberikan keuntungan kepada
pembangunan masyarakat, tetapi pada keuntungan dan interest kedua belah pihak.
Kedua, banyak persoalan kemasyarakatan yang harusnya bisa diselesaikan
dengan program-program pembangunan yang terencana tidak bisa diwujudkan, karena
isu-isu yang terkait dengan program pembangunan selalu dilihat sebagai pertarungan
politik elit dan partai politik. Misalnya, pemberian bantuan beras, bantuan sekolah, dan
sebagainya lebih sering dilihat sebagai bentuk dari politik pencitraan untuk kepentingan
pemenangan politik. Sehingga banyak program tidak berjalan karena kepentingan
politik lebih mengedepan daripada hasil akhir bagi rakyat. Persoalan cukup pelik
dengan subsidi bahan bakar misalnya. Kepentingan politik jauh lebih terlihat daripada
aspek positifnya bagi kesejahteraan rakyat. Belum lagi, banyak masyarakat yang
dibantu oleh para politisi tidak sebagai bentuk dari tanggungjawab sosial terhadap nasib
rakyat, melainkan sebagai “modal” bagi pemenangan kepentingan politik di setiap
pemilu yang akan diselenggarakan. Rakyat tidak dilihat sebagai individu yang perlu
dimerdekakan seperti dalam pandangan Amartya Sen, melainkan sebagai konstituen
yang akan diminta suaranya untuk kemenangan politik pihak-pihak tertentu.
Ketiga, proses desentralisasi atau otonomi daerah yang ditetapkan sebagai
model transformasi politik yang tidak lagi bergantung pada pemerintahan pusat, pada
beberapa hal masih menyisakan problem yang krusial. Dengan pemberian kekuasaan
dan kebebasan untuk mengatur daerahnya sendiri, memunculkan “negara-negara” kecil
baru di tingkat regional Indonesia. Para kepala pemerintahan menjadi raja-raja baru
yang menguasai sumberdaya alam dan manusia di daerah untuk memperkaya
kepentingan mereka daripada upaya membangun rakyat di daerahnya. Biaya besar
yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah bagi setiap pemilukada di daerah,
menambah besar beban pemerintah untuk mengalokasikan dana pembangunan
kepada persoalan politik daerah daripada untuk memberikan jaminan kesejahteraan,
kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat miskin di daerah.Bahkan untuk
17
membangun jembatan yang sudah rusak kondisinya dan harus dilalui oleh bocah-bocah
pedalaman yang akan sekolah saja membutuhkan waktu yang lama, hingga kasusnya
dipublikasikan oleh media internasional, baru kepala daerah setempat bergerak untuk
membangunnya. Sungguh ironis. Tapi inilah harga demokrasi otonomi daerah yang
harus dibayar oleh rakyat yang tidak mampu.
Keempat, ada persoalan besar dengan korupsi yang merajalela di tanah air. Hal
ini berpengaruh terhadap penyebaran dana-dana kesejahteraan yang sudah
dianggarkan oleh pemerintah yang tidak sampai pada masyarakat sasaran. Dana Biaya
Operasional Sekolah (BOS), Jamkesmas bagi masyarakat miskin, pemberian dana
bantuan bulanan bagi keluarga miskin, dana perbaikan perumahan bagi masyarakat
miskin, dan beberapa program peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat yang tidak
mampu dikorupsi oleh pejabat daerah atau oleh oknum-oknum pihak ketiga yang tidak
bertanggungjawab. Akibatnya dana tidak sampai kepada masyarakat, atau kalaupun
sampai tidak sesuai dengan besaran yang ditetapkan. Meskipun telah banyak pejabat
dan oknum yang dipenjarakan akibat hal ini, tetapi agaknya efek jera tidak juga mampu
untuk menyadarkan mereka bahwa rakyat miskin sangat membutuhkan dana yang
mereka gunakan untuk kepentingan pribadi daripada memberikan pada yang
seharusnya berhak menerima.
Kelima, pemerintah daerah yang menyediakan anggaran bagi pengentasan
kemiskinan dan perbaikan taraf hidup masyarakat tidak mampu di wilayahnya kurang
optimal melakukannya. Berbagai kasus seperti misalnya pembayaran biaya rumah sakit
bagi keluarga miskin di Surabaya yang bermasalah, pembagian jatah beras bagi
masyarakat miskin di Jawa Tengah, Tangerang, dan daerah lain di Jawa Barat, dan
masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang dilansir media massa, menunjukkan
bahwa pemerintah daerah tidak serius menangani masyarakat miskin dan tidak
mempunyai mekanisme pengaturan dan penyaluran bantuan yang tertata dengan baik,
transparan, dan akuntabel terhadap publik. Jika kondisi pelayanan publik dan
administrasi publik tidak berjalan dengan baik, niscaya penyerahan bantuan-bantuan ini
akan tetap bermasalah dikemudian hari.
18
Atas dasar persoalan-persoalan yang masih mengganjal dan terjadi di tanah air
itulah, penulis menilai bahwa pembangunan manusia Indonesia masih berjalan di
tempat dan tidak bergerak maju ke depan. Apalagi menjelang pemilu 2014 nanti, sudah
bisa dilihat bahwa pengerahan sumberdaya, terutama finansial negara akan difokuskan
pada kepentingan-kepentingan pemilu nantinya. Ini bisa terlihat dari indikasi para elit di
Senayan Jakarta yang sudah mulai bergerak untuk mengumpulkan pundi-pundi bagi
pemenangan partai-partainya ketimbang memperhatikan nasib malang rakyatnya.
Akan tetapi ada beberapa solusi atau pemikiran yang bisa dipakai sebagai alat
atau mekanisme untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dalam bidang kesehatan,
pendidikan, dan income per kapita dalam rangka peningkatan angka indeks
pembangunan manusia nantinya. Tentu saja dalam pandangan paradigma humanizing
development, maka menempatkan manusia sebagai aktor sekaligus subjek dan sentral
pembangunan akan menjadikan pembangunan bisa dicapai. Beberapa solusi yang bisa
ditawarkan antara lain:
Pertama, dengan menggunakan paradigma humanizing development,
pembangunan manusia di tanah air harus lebih memanusiakan individu-individu
manusia yang ada di dalamnya. Dengan merubah pemikiran bahwa rakyat hanyalah
penonton dan objek pembangunan, atau mendudukkan rakyat sebagai konstituen politik
yang hanya berharga karena suaranya bisa dimobilisasi untuk kepentingan
pemenangan pemilu nasional maupun daerah. Jika rakyat dijadikan sebagai penggagas
dan pelaksana pembangunan bukan tidak mungkin akan berhasil karena masyarakatlah
yang tahu apa yang mereka butuhkan, apa yang mereka inginkan dan bagaimana serta
dengan apa mereka akan mencapai keinginan itu dan memenuhi kebutuhan yang
diharapkan. Program PNPM yang digagas pemerintah, adalah sebenarnya model
program pembangunan yang menggunakan paradigma humanizing yang cukup
berhasil. Program PNPM menempatkan rakyat sebagai penggagas, perencana,
pelaksana, dan evaluator atau pemonitor pelaksanaan program PNPM itu sendiri.
Sehingga inisiatif datang dari rakyat dan rakyat terlibat langsung dalam pelaksanaan
dan monitoring. Mempercayakan kepada rakyat ternyata memberikan hasil yang positif.
19
Kedua, berkaitan dengan pemberian bantuan atau mekanisme menggali dana
masyarakat untuk keperluan kesejahteraan masyarakat miskin sebenarnya lebih
mudah. Jika di negara-negara welfare state, bukan hanya pemerintah yang
menganggarkan dana besar, tetapi para orang kaya dan pembayar pajak terbesar di
negaranya turut serta memberikan keringanan dan penyaluran dana pajak mereka bagi
kepentingan kesejahteraan masyarakat miskinnya. Sehingga seolah di negara-negara
makmur tersebut tidak ada lagi orang yang kekurangan, karena mekanisme pajak yang
dibuat dan komitmen dan akuntabilitas pemerintah mengelola pajak warga negara
sangat profesional. Bagi Indonesia, negara yang mayoritas penduduknya Muslim,
harusnya pemerintah mempunyai mekanisme yang bisa diterapkan dalam hal zakat.
Jika mayoritas Muslim Indonesia mengeluarkan benar-benar zakatnya sebesar 2.5%
dari penghasilan yang diperoleh, belum termasuk shodaqoh yang bisa dilakukan kapan
saja, bukan tidak mungkin, angka pendapatan dari zakat yang besar ini bisa digunakan
untuk menambah kesejahteraan masyarakat miskin dan yang memerlukan. Prinsip
akuntabilitas dan transparansi penggunaan para penyalur zakat, misalnya, termasuk
lembaga BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq) yang dikelola pemerintah, Dana Abadi Umat
yang di-shodaqohkan oleh para jamaah haji kepada Kemenag setiap tahunnya, bisa
dikelola dengan professional, jujur, dan akuntabel, maka tingkat kemakmuran
masyarakat Indonesia bisa dinaikkan.
Ketiga, transformasi dari bergesernya ketergantungan terhadap pusat bagi
daerah-daerah di Indonesia harusnya disikapi sebagai upaya untuk memerdekakan
masyarakat di daerah. Jika sebelumnya, rakyat lebih banyak menjadi milik atau asset
pemerintah pusat, maka dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah
diharapkan menggunakan warganya sebagai asset bagi pembangunan dan penikmat
pembangunan secara langsung. Memberdayakan rakyat di daerah dan menjadikannya
sebagai pelibat dalam aktifitas pembangunan harus dilihat sebagai modal utama bagi
pemerintah daerah. Karena rakyat daerahlah yang tahu kebutuhan dan kelemahan
mereka, dan yang tahu apa yang harus dilakukan sebagai mekanisme survival dengan
sumberdaya yang tersedia di daerahnya. Dengan kata lain, masyarakat di daerah jauh
merasa memiliki daerahnya dan tahu apa yang mereka butuhkan untuk membangun
20
daerah tanpa perlu di-dikte pusat atau menunggu perintah. Jika kepala daerah paham
betul masyarakatnya, bukan tidak mungkin menggerakkan masyarakat jauh lebih
mudah.
Keempat, pandangan humanizing development juga melihat bahwa angka
indeks pembangunan manusia bisa ditingkatkan apabila kapabilitas individu
ditempatkan dalam kondisi yang maksimal. Artinya kesempatan dan oportunitas bagi
individu diberikan lebih banyak. Seperti yang dikatakan oleh Fukuda-Parr & Kumar,
2003) “an expansion of human capabilities, a widening of choices, an enhancement of
freedoms and a fulfillment of human rights,” ini menyiratkan bahwa jika individu sebagai
warga negara diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mendayagunakan
kemampuannya, mempunyai pilihan yang lebih luas/banyak, kemerdekaan hidupnya
lebih bebas dari kekangan kekuasaan yang hanya akan memenjarakan hidupnya, dan
hak asasi manusianya dipenuhi oleh negara termasuk hak untuk hidup yang layak dan
menggunakan sumberdaya yang tersedia dengan layak, maka akan terangkat pula
tingkat kesejahteraannya.
Kesimpulan
Indeks pembangunan manusia Indonesia yang selalu menjadi isu kontroversial di
ranah nasional dan menjadi cibiran banyak pihak untuk menyalahkan pemerintah,
sebenarnya bukanlah sebuah keburukan atau kegagalan pembangunan yang seolah
menjadi curse atau kutukan bagi pemerintah secara terus menerus. Belajar dari
program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, seharusnya bisa
menjadikan pemerintah paska reformasi bisa lebih baik. Apalagi jika dibandingkan di
Asia Tenggara, Indonesia masih kalah jauh dengan negara tetangga seperti Singapura,
Brunei, Malaysia dan Filipina yang notabene mempunyai wilayah-wilayah dengan iklim
dan sumberdaya yang sama dengan Indonesia. Tetapi komitmen besar pemerintahnya
membuat negara-negara ini lebih makmur dan pendapatan income per kapita
masyarakatnya tinggi, dan tingkat kemakmuran masyarakatnya terjamin.
21
Rilis yang dilakukan oleh UNDP tentang indeks pembangunan manusia
diharapkan menjadi cambuk bagi negara-negara di dunia untuk memperbaiki kualitas
hidup rakyatnya. Jika ini berhasil dilakukan, maka tidak ada lagi penduduk miskin di
dunia. Gerakan eradikasi bagi penduduk miskin di dunia, sebenarnya adalah upaya
mulia untuk memberikan hak-hak asasi yang sama bagi semua manusia yang hidup
untuk bisa merasakan kehidupan yang sejatinya. Pada sisi lain, rilis indeks
pembangunan manusia diharapkan mampu membukakan mata para pemimpin negara
untuk lebih memperhatikan manusia yang ada di dalamnya, bukan untuk keperluan
ekspolitasi semata.
Pada akhirnya, pembangunan bangsa harus didasarkan pada prinsip pemberian
akses dan fasilitas yang seluas-luasnya kepada individu warga negara untuk bisa
menggunakan kemampuan atau kapabilitasnya demi mendapatkan penghasilan dan
penghidupan yang layak. Selain itu, kesempatan yang sama dan penghargaan
terhadap hak-hak asasi manusia merupakan pengharagaan tertinggi bagi manusia
untuk hidup lebih baik. Penyelenggara negara dan para apartusnya termasuk para
pengusaha yang ada dalam lingkaran dalam pemerintah harus punya hati untuk
memperhatikan kepentingan rakyat yang lebih besar daripada kepentingan sepihaknya.
Dalam kasus di Indonesia, pemerintah harus sudah mulai lepas dari belenggubelenggu
politik dan kepentingan politik partainya. Negara ini bukan negara partai
politik, tetapi negara yang didirikan dan dibangun atas dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab. Negeri ini dibangun dari pandangan filosofis bahwa manusialah yang
harus diperhatikan dan menjadi aktor utama dari sebuah pemerintahan negara.
Rasanya, nilai-nilai mulia yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
negara dan nilai-nilai dalam Pancasila sendiri mengajarkan kepada semua pihak bahwa
kesejahteraan manusia yang adil dan beradab menjadi goal atau acuan tujuan
penyelenggaraan negara.
Namun ketika kepentingan politik lebih besar dibandingkan yang lainnya, maka
pembangunan manusia pun seolah terhenti dan tidak menjadi perhatian atau focus
yang besar. Kalaupun sudah diupayakan, dalam perjalanannya penyerahan bantuan
22
dan pemberiaan bantuan bagi yang membutuhkan pun masih harus terkorupsi oleh
ketamakan oknum-oknum tertentu yang ingin memperkaya diri sendiri. Barangkali
peran moralitas, dan nilai-nilai keluhuran kemanusiaan perlu untuk dikedepankan
kembali, seperti apa yang dikatakan oleh Amrtya Sen bahwa capability approach atau
pendekatan kapabilitas individu perlu menjadi titik sentral dari setiap aspek
pembangunan bagi terwujudnya pembangunan manusia yang berkelanjutan atau
sustainable human development. Itu pula tujuan besar yang ingin dicapai dalam
Millenium Development Goals yang ditetapkan oleh negara-negara di dunia selama ini.
23
Daftar Pustaka
Barreiro, Ivonne Cruz, 2006, Human Development Assesment through Human-Scale
Development Approach: Integrating Different Perspectives in the Contribution to a
Sustainable Human Development Theory, Doctoral Thesis, Terrassa: Universitat
Politecnica De Catalunya
Budiman, Arif 1995, Teori-Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta
Fukuda-Parr, S. and S. Kumar (Eds.) 2003, Readings in Human Development Oxford,
New York
Katz, Saul M. 1971, ‘Exploring the system approach to development
administration’dalam Fred W. Riggs (Ed.), Frontiers of Development
Administration, Durham: Duke University Press
Kartasasmita, Ginandjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta
Meier, Gerald M. & James E. Rauch, 2000, Leading Issues in Economic Development,
7th edition, Oxford University Press
Osborne, David & Gaebler ,Ted, 1992, Reinventing Government: How the
Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Addison-Wesley
Publication
Osborne, David, and Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies
for Reinventing Government,
Rustiadi, Ernan, et., al., 2006, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, edisi Mei
2006, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor
Sen, Amrtya, 1999, Development as Freedom, Oxford: Oxford University Press
Todaro, Michael P. & Stephen C. Smith, 2003, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga,
edisi kedelapan, Erlangga, Jakarta
Tjokrowinoto, Moeljarto, 1997, Politik Pembangunan, Sebuah Analisis Konsep, Arah
dan Strategi, Penerbit Tirai Wacana, Yogyakarta
http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/ISUISUPMBANGUNAN.pdf




Tidak ada komentar:

Posting Komentar