Senin, 13 Januari 2014

SEJARAH DAN FUNGSI MASJID DI INDONESIA

SEJARAH DAN FUNGSI MASJID DI INDONESIA
(Kajian Pendalaman Materi Sejarah dan Fungsi Masjid Pada Diklat Pembina Kemasjidan)
Muchammad Toha

PENDAHULUAN
Pertumbuhan jumlah masjid di Indonesia cukup pesat, namun sampai saat ini masih ada sebagian masjid yang belum difungsikan secara maksimal, masjid masih sebatas digunakan sebagai tempat ibadah shalat lima waktu dan shalat-shalat sunnah lainnya yang dilaksanakan secara berjamaah. Sedangkan fungsi-fungsi lainnya seperti pembinaan jamaah, pusat sarana peningkatan kesejahteraan umat, maupun pendidikan belum secara maksimal digunakan.
Ditinjau dari segi bahasa, masjid berasal dari kata sajada – yasjudu artinya merendahkan diri, menyembah atau bersujud. Sebagai tempat bersujud, maka secara harfiah berarti semua bumi adalah masjid dan tempat shalat, kecuali yang dilarang ajaran Islam seperti, tempat sampah, tempat penyembelihan hewan, pekuburan, kamar mandi, kandang hewan atau di atas Ka’bah. Sehingga dalam Islam, seluruh bumi dimana saja adalah masjid, tempat shalat. Sedangkan pemahaman secara khusus adalah bangunan atau tempat yang didirikan secara khusus untuk melakukan ibadah yang memenuhi syarat untuk shalat rawatib (lima waktu) dan shalat jum’at.
FUNGSI MASJID
Sejarah perkembangan masjid di masa Nabi Muhammad terutama pada periode Madinah eksistensi masjid disamping fungsi utamanya sebagai tempat sujud kepada Allah juga sebagai pusat kegiatan sosial kemasyarakatan dan pusat kegiatan umat. Sehingga masjid tidak hanya menitik beratkan pada aktifitas yang berdimensi ukhrawi, tetapi mengkombinasikan antara aktifitas ukhrowi dan aktifitas duniawi.
Mengacu pada masa Rasulullah SAW peran dan fungsi masjid dapat diformulasikan sebagai berikut : (1) Sebagai pelaksana peribadatan. Masjid berasal dari kata sajada – yasjudu yang berarti merendahkan diri, menyembah atau
2
bersujud, dengan demikian sebagai tempat shalat dan dzikir kepada Allah SWT merupakan fungsi utama dari masjid. (2) Sebagai tempat pertemuan. Masjid menjadi tempat yang paling rutin digunakan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya bertemu. (3) Sebagai tempat bermusyawarah. Pada masa Rasullulah SAW masjid juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah, baik dalam merencanakan suatu program maupun memecahkan persolan yang terjadi. (4) Sebagai tempat perlindungan. Rasul dan para sahabatnya sering memberikan perlindungan atau jaminan keamanan bagi seseorang bila dia masuk ke masjid. (5) Sebagai tempat kegiatan sosial. Rasullullah SAW dan para sahabatnya menjadikan masjid sebagai tempat kegiatan sosial, misalnya mengumpulkan zakat, infaq dan shodaqoh melalui masjid, lalu menyalurkannya kepada para sahabat yang sangat membutuhkannya. (6) Sebagai tempat pengobatan orang sakit. Pada masa Rasulullah SAW perawatan dan pengobatan terhadap pasukan perang dilakukan dilingkungan masjid. (7) Sebagai tempat latihan dan mengatur strategi perang. Disamping memusyawarakan pengaturan strategi perang di masjid, juga langsung melakukan latihan dan membentuk prajurit atau mujahidin yang berkepribadian Islami dan memiliki kemampuan yang biasa diandalkan. (8) Sebagai tempat dakwah dan madrasah. Rasulullah SAW juga menjadikan masjid sebagai tempat untuk mengajarkan ilmu yang telah diperoleh dari Allah SWT berupa wahyu. Ini berarti masjid berfungsi sebagai madrasah bagi kaum muslimin untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Dalam masyarakat yang terus bergerak maju pada masa sekarang ini, pengelolaan masjid yang dilakukan secara sambil lalu akan menyebabkan masjid sulit berkembang, akhirnya berdampak umat Islam makin jauh tertinggal. Sehingga para pengurus masjid senantiasa dituntut untuk terus meningkatkan kinerjanya. Dalam rangka meningkatkan peran dan fungsi masjid perlu dilakukan pengelolaan atau manajemen secara profesional meliputi: Pertama. Bidang Idarah (Pengorganisasian) yang meliputi tentang perencanaan, pengorganisasian, pengadministrasian, keuangan dan pengawasan. Kedua Imarah ( Kemakmuran) Imarah menurut istilah adalah suatu usaha untuk memakmurkan masjid sebagai tempat ibadah, pembinaan umat dan peningkatan kesejahteraan jamaah. Ketiga.
3
Bidang Ri’ayah (Pemeliharaan) Pengertian Ri’ayah masjid adalah memelihara masjid dari segi bangunan, keindahan dan kebersihan.
Bila masjid hendak dimaksimalkan peran dan fungsinya sebagai tempat pembinaan umat, maka banyak sisi aktifitas yang harus dikembangkan, yang menyentuh semua kelompok jamaah, mulai kanak-kanak, hingga dewasa dalam setiap aktifitas tidak memandang perbedaan baik dari segi perempuan atau laki-laki, kaya atau miskin, berpendidikan rendah atau tinggi. Jelaslah bahwa semua anggota masyarakat yang menjadi jamaah masjid harus mendapat pembinaan dari masjid sehingga meningkatkan ketaqwaan mereka kepada Allah SWT.
ARSITEKTUR MASJID
Perkembangan bentuk penampilan masjid, sangat berkaitan erat dengan perkembangan kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan umat Islam didalamnya. Sedangkan perkembangan kegiatan keagamaan berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran mengenai ajaran Islam itu sendiri. Pemikiran tentang Islam selalu mengalami perkembangan dan perluasan, karena Islam selalu berinteraksi dengan realitas sosial yang dinamis.
Masjid yang ideal dari sisi peran dan fungsinya dengan segala program yang hendak dilaksanakan, harus teraplikasi dalam bentuk bangunannya. Program ruang banyak dan bervariasi, kepengurusan yang solid dan jamaah yang aktif menurut tersedianya sarana aktifitas didalam masjid yang sangat memadai. Seminim apapun fasilitas fisik yang dimiliki oleh sebuah masjid, pengembangan aktifits tetap harus dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Dalam pembangunan dan pengembangan fisik masjid yang harus diperhatikan dalam kaitan arsitekturnya adalah kesesuaian dengan fungsi dan tujuan masjid itu sendiri. Sementara arsitektur yang menyangkut bentuk dan model bangunan bias saja disesuaikan dengan kultur dan budaya setempat atau mungkin juga berkembang mengikuti arsitektur modern.
Bangunan masjid yang ideal adalah masjid yang bentuk dan arsitekturnya dapat menyentuh rasa yang paling dalam dari setiap jamaah, rasa yang dalam kedamaian tertentu dan kepuasan bathin dari setiap jamaahnya untuk memperoleh
4
kedamaian, ketentraman rohaniah dan kepuasan bathin dalam menghadapi Dzat yang Maha Kuasa.
KEDUDUDUKAN MASJID
Masjid bukanlah sekedar atau semata-mata merupakan sebuah symbol peribadatan umat Islam, tetapi memiliki makna luas dan memiliki hubungan erat dengan beberapa hal, antara lain :
A. Hubungan Masjid dengan Lingkungan
Keberadaan masjid pada suatu komunitas merupakan gambaran yang jelas tentang masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya. Sesungguhnya hubungan masjid dengan manusia pada satu sisi dan hubungan masjid dengan lingkungan alam sekitar adalah satu kesatuan system yang utuh. Keduanya saling memfungsikan atau dengan yang lainnya. Masjid adalah sistem yang menjalankan fungsinya bagi kemajuan manusia dan lingkungan hidup sekitarnya secara timbale balik dan demikian pula kewajiban manusia dalam konteks kemakmuran masjid, manusia dan lingkungan alam sekitarnya dalah suatu gambaran kongkret dari suatu system sosial dan budaya yang menjalankan dan menerapkan perilaku yang adil terhadap sesama manusia dan lingkungannya. Masjid dipandang sebagai pusat kekuasaan yang membahayakan kepentingan ideology bagi pihak musuh yang memusuhi Islam. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Isra 1 dan 7; Al-Hajj 40; Al-Jin 18 dan sebagainya.
B. Hubungan Masjid Dengan Kemakmuran
Maraknya pertumbuhan pembangunan masjid oleh umat baik pada masyarakat pedesaan maupun perkotaan semestinya perlu dipertanyakan dengan merujuk pada landasan Qur’aniyah. Apakah masjid yang dibangun itu berazas atas ketaqwaan kepada Allah SWT, dan masyarakat/ jamaahnya siap berkorban demi masjid dalam semua peringkat kebutuhannya.: ini harus dijawab dengan pasti, sebab Allah SWT telah menetapkan hanya dua ceritera majid, yaitu : masjid sebagai ketaqwaan hamba kepada khaliknya atau masjid sebagai lambang menjadi ajang tafarruq ( perpecahan) di tengah umat.
5
Persoalan yang kemudian timbul dari masjid yang dibangaun atas ceritera taqwa adalah apakah masjid yang dibangun tersebut hanya dalam bentuk fisik saja atau sekaligus sesmua bidang sesuai kebutuhan umat yang tidak hanya dalam ibadah shalat, tetapai juga dalam bidang muamalat ? memakmurkan masjid adalah memiliki arti luas sebagaimana fungsi da kedudukannya yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, baik dalam dalam pembangunan masid Quba maupun masjid Nabawi yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia; keimanan orang-perseorangan, peradaban, perubahan system dan struktur masyarakat, pendidikan kesejahteraan (perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak sosial masyarakat), pemeintahan, lingkungan hidup, pertanahan dan keamanan, penegakan keadilan yang berkepastian hokum dan sebagainya. Allah SWT telah menegakannya dalam Al-Qur’an diantaranya dalam surat At-Taubah 17 dan 18, 107 dan 108: Al-A’raf 29 dan 31 ; Al-Hajj 25 dan 31 dan sebagainya.
C. Hubungan Masjid Dengan Aqidah
Mencermati perkembangan kekinian dan menghindari hambatan untuk mengisi masa depan umat yang lebih konstruktif da produktif, maka masjid yang pertumbuhan kian pesat jumlahnya, dipandang secara positif sebagai potensi umat. Kita berkeyakinan, hanyalah masjid dewasa ini yang mampu menjadi benteng aqidah bagi perjuangan umat dalam menghadapai tantangan masa depan. Problematika keutamaan di era kini dan esok tentulah amat beragam dan begitu paradok. Kepentingan semacam ini mendorong kita pada kehendak mengembalikan fungsi-fungsi masjid secara proporsional pada format idealnya sebagaimana perintah Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Ini mutlak diperlukan agar masjid sebagai asset umat dapat tumbuh dan berkembang sebagai benteng aqidah.
SEJARAH PERKEMBANGAN MASJID
Ada tiga kebudayaan penting yang sangat berpengaruh pada jaman sebelum kebudayaan Islam lahir. Kebudayaan-kebudayaan itu ikut serta nantinya mewarnai kebudayaan Islam yang muncul kemudian. Pertama, kebudayaan Romawi yang berkembang sekitar tahun 142 SM sampai 550 M. Bangsa Romawi
6
mula-mula menaklukkan Yunani yang telah memiliki kebudayaan yang cukup tinggi. Namun demikian kebudayaan Yunani ini tidaklah diterima begitu saja oleh Bangsa Romawi, akan tetapi diadakan pembaharuan, perubahan dan pengembangan. Dengan demikian kebudayaan Romawi akhirnya merupakan kebudayaan yang memiliki mutu dan tingkatan yang tinggi, meskipun awalnya mengambil intisari kebudayaan Yunani.
Kebudayaan ini dilanjutkan dengan kebudayaan Bizantium sekitar tahun 550 sampai 1453 M yang merupakan kegemilangan Romawi Timur dengan pusat di Konstantinopel. Pada masa pemerintahan Kaisar Yustianus I (527 – 565 M) kebudayaan Romawi sampai pada puncak keemasan, seni rancang bangun tumbuh dengan pesatnya. Patung-patung banyak didirikan, juga bangunan gereja berkubah antara lain yang cukup terkenal gereja Agya Sophia dan lain sebagainya.
Kedua, kebudayaan Persia. Negeri Persia dan Negeri Romawi Timur merupakan dua imbangan kekuasaan yang selalu bersaing dan bermusuhan. Kebudayaan Persia diawali oleh kebudaan Mesopotamia, Babilonia, Assiria dan Sassanid. Bangsa Persia lama menyembah api yang merupakan lambang Tuhan, sehingga api selalu dinyalakan di setiap tempat-tempat ibadah mereka. Peninggalan-peninggalannya berupa reruntuhan istana di Babilon, Sussa, Persepolis, Assiria.
Negeri Persia di bawah pimpinan Anusyirwan dengan kekuatan bala tentaranya menyerbu dan mengalahkan daerah-aerah Romawi Timur, maka terjadilah peperangan besar selama 20 tahun, yakni antara 541 – 561 M, dan berakhir dengan perdamaian dimana Kaisar Yustianus harus membayar upeti kepada Anusyirwan sebesar 30.000 dinar setiap tahunnya. Namun akhirnya perdamaian ini hanyalah diatas kertas saja, sebab pemusuhan antara kedua bangsa ini terus berlangsung, hingga akhirnya keduanya mengalami kemunduran.
Ketiga, kebudayaan Arab Jahiliyah. Dalam masa ini orang Arab telah terbagi menjadi beberapa suku yang tidak jarang antara suku yang satu dengan yang lain saling bermusuhan, namun yang kiranya perlu diketahui adalah daerah mereka, yakni Hejaz adalah merupakan daerah yang berdaulat dan tidak pernah menjadi jajahan kerajaan-kerajaan besar Romawi dan Persia. Dalam bidang sosial
7
mereka memiliki beberapa sifat terpuji, seperti: setia kawan, menepati janji, menghormati tamu, dan yang tak kalah pentingnya adalah di tempat ini terdapat suatu bangunan suci yang bernama Ka’bah.
A. Masjid Jaman Nabi Muhammad SAW
Pada jaman nabi Muhammad SAW masjid yang pertama kali dibangun adalah Masjid Quba, masjid ini awalnya merupakan pelataran yang kemudian dipagari dengan dinding tembok yang cukup tinggi. Pada saat itu bangunannya masih amat sederhana, tiang-tiangnya terbuat dari batang-batang pohon kormadan atapnya terbuat dari pelepah daun korma yang dicampur atau diplester dengan tanah liat, mimbarnya juga terbuat dari potongan batang-batang pohon korma yang ditidurkan dan ditumpuk tindih-menindih. Selain itu, di Madinah juga di bangun Masjid Nabawi dengan pola yang sama dengan Masjid Quba, yaitu berbentuk segi empat panjang berpagar tembok tinggi. Pola awal ini memang cenderung mengarah pada bentuk yang fungsional sesuai kebutuhan yang diajarkan Nabi, yaitu masjid sebagai saran kegiatan ibadah maupun muamalah. Masjid Nabawi yang awalnya berbentuk sederhana ini nantinya diperluas dan dibangun kembali dengan megah oleh kholifah Al Walid pada tahun 706 M.
B. Masjid Jaman Khalifah
Pada jaman Kholifah, pembangunan dan penyempurnaan masjid ini juga terus berlangsung, tercatat masa kepemimpinan Kholifah Umar dilakukan pembangunan kembali Masjidil Haram yang sebenarnya telah ada sejak Nabi Ibrahim. Masjid ini juga masih dalam bentuk sederhana dan mengarah ke sifat fungsional, seperti halnya Masjid Nabawi. Selain itu juga dibangun Kufah (637 M) akan tetapi yang agak ganjil, masjid ini tidak dikelilingi tembok batu atau tanah liat yang tinggi, melainkan dibatasi dengan adanya kolam air. Pada bangunan ini, bagian Liwan (tempat shalat) tiangnya terbuat dari mamer yang dulunya berasal dari Istana Hirah Kerajaan Parsi. Pola arsitektur masjid pada jaman ini cukup sederhana namun memilki kegunaan yang optimal. Bangunan masjid terdiri dari sebuah tanah lapang dengan diberi dinding keliling sehingga membentuk bagian Shaan (halaman dalam) dan Liwan (tempat
8
shalat). Sampai pada akhir kekhalifahan ini, yakni masa Ali, pola yang dianut masih tetap pola awal, yakni pola empat persegi panjang dengan berdinding tembok tinggi yang didalamnya terdapat Shaan Liwan, Riwaqs (serambi).
C. Masjid Jaman Daulah Umayyah
Pada masa ini bentuk bangunan masjid masih tetap memakai pola Masjid Kufah yang berciri: Shaan, Liwan dan Riwaq denga tembok keliling, namun terdapat adanya penambahan yakni adanya satu kubah didekat mihrab serta adanya sistim struktur relung yang terbuat dari susunan batu cadas yang diplester dengan diperkaya dengan ornamen dekoratif bermotif geometri atau motif-motif tumbuhan. Dinasti Umayyah ini juga membangun Masjid Jamik di Damaskus yang cukup megah, masjid ini pada tahun 1483 M terbakar sebagian dan oleh Sultan Mamluk dari Mesir dibangun kembali dan diberi nama Masjid Keit Bey. Pola dan organisasi ruang dari Masjid Keit Bey yang demikian megah ini, kemudian amat berpengaruh pada pembangunan masjid bertiang banyak pada jaman kemudian, seperti Masjid Qoiruan dekat Tunis yang terkenal dengan menara tuanya. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ini pula, tepatnya pada saat Kholifah Abdul Malik (685-688 M) dibangunlah Qubah Al Sakhra (Dome of the Rock) di Yerusalem tempat dimana Nabi Muhammad dahulu memulai naik ke langit pada saat menjalankan Isra’ dan Mi’raj. Bangunan ini merupakan suatu monumen yang bentuknya mirip dengan bentuk Basilika di Konstantinopel.
D. Masjid Jaman Daulah Abbasiyah
Pada masa Daulah Abbasiyah ini bidang arsitektur berkembang cukup pesat, mula-mula dikumpulkan para arsitek dan ahli bangunan dari berbagai Negara untuk memperbaiki dan membangun berbagai bangunan terutama masjid dan istana. Ahli-ahli bangunan itu dating dari Mesir, Romawi Timur dan bahkan dari India, sehingga dalam hal ini akan melahirkan akulturasi yang Tidak hanya bangunan masjid dan bangunan perumahan yang mendapat kesempatan untuk dikembangkan, namun juga tata kota dan tata daerah juga mendapat perhatian yang ckup memuaskan. Kota Bagdad direncanakan dan dibangun menggunakan pola kota bundar (konsentris) di mana di bagian titik
9
tengahnya merupakan lokasi Masjid Jamik dan Istana Kholifah dengan alun-alun yang amat luas, sedangkan di bagian luarnya terbentang melingkar daerah pemukiman penduduk dengan jaringan jalan yang melingkar dan memusat yang berakhir di tembok atau benteng kota dengan empat pintu gerbang kota. Sedangkan pada bangunan masjid, meskipun pola bangunan masjidnya dapat dikatakan tetap, namun sudah mulai diperkaya. Kalau dulu adzan dikumandangkan pada bagian atap masjid, pada masa ini telah dibangun menara yang cukup tinggi, disamping itu, pada bagian mihrab dan mimbar telah terdapat hiasan ukir-ukiran yang cukup cantik dan rumit.
E. Masjid Jaman Daulah Umayyah Spanyol
Pada masa Daulah Umayyah di Spanyol ini, pola pembangunan masjid tetap melanjutkan sebelumnya, denah bangunan masjid masih tetap menggunakan pola Masjid Kufah yang menggunakan sruktur relung dan pilar dengan atap datar lengkap dengan Shaan, Liwan dan Riwaq serta Kbah dan Menara. Pada masjid ini pula, ragam hias berkembang dengan pesatnya, motif geometris, tetumbuhan (flora), awan (alam) dan kaligrafi dikembangkan dengan cermat cantik dan canggih. Sedangkan morif manusia dan hewan (fauna) tidak dikembangkan atau justru dihapuskan karena memang tidak sesuai dengan ajaran Islam, salah satunya didirikan adalah Masjid Jami’ Kordoba dipusat kota Kordoba dengan relung-relungdihias dengan motif geometris dengan pilar penyangganya yang ratusn jumlahnya, diselesaikan dengan baik. Jumlah kubah tidak lagi satu tetapi sudah menjadi empat jumlahnya. Sebuah menara yang menjulang dibangun di halaman masjid (Shaan).
F. Perkembangan Masjid di Indonesia
Istilah masjid mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak masuknya agama Islam di wilayah Nusantara. Banyak teori yang menunjukkan kapan Islam masuk ke wilayah Nusantara.
Para sultan dalam membangun masjid-masjid yang cukup besar dan menonjol serta memiliki ragam arsitektur tertentu yang disesuaikan potensi dan kondisi setempat pada waktu itu, sebagian dari masjid-masjid tersebut kini
10
masih bisa dijumpai di daerah-daerah seluruh Indonesia, seperti masjid Al Mashum sebagai salah satu peninggalan kerajaan Maemun di Sumatra Utara, masjid Pukau Rengat yang ada di Tanjung Pinang, masjid Agung Banten peninggalan sultan Hasanuddin di kabupaten Serang provinsi Banten (sekarang) dan lain-lain. Setelah itu muncullah berbagai bentuk arsitektur masjid yang secara berangsur-angsur menunjukkan perubahan yang sangat menentukan, sesuai dengan taraf dan kondisi perkembangan politik serta tingkat kemampuan teknologi masyarakat Islam.
Masyarkat Indonesia dipandang dari aspek penyelenggaraan administrasi pemerintahan, maka susunannya terdiri atas Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 394/2004 tentang penetapan status masjid Wilayah sebagai berikut :
1. Masjid pada tingkat Pusat disebut Masjid Negara
2. Masjid pada tingkat Propinsi disebut Masjid Raya
3. Masjid pada tingkat Kabupaten/Kota disebut Masjid Agung
4. Masjid pada tingkat Kecamatan disebut Masjid Besar
5. Masjid pada tingkat Desa disebut Masjid Jami’
Masyarakat pedesaan mempunyai karakteristik simsem sosial dan struktur masyarakat yang berbeda dengan lingkungan pemukiman masyarakat baru (kawasan hunian baru, komplek perumahan-perumahan) yang heterogen. Sebab pedesaan pada satu sisi merupakan bagian dari system administrsi pemerintahan kita, dan pada sisi lain sebagaimana adanya adalah berlaku suatau masyarakat hokum ada yang merupakan system dan tata hukum nasional kita. Model masyarakat pedesaan kita demikian ini, mengandung berbagai hikmah yang harus difahami secara mendalam berkenaan dengan organisasi dan manajemen pengelolaan masjid sebagai bagian interen dalam system pemerinthan masyarakat hokum adat. Masuk masjid kategori ini adalah masjid yang dibangun dn dikenal sebagai masjid Raya/Jami’ di desa.
11
Dalam pada itu, sebagimana disinggung tadi, terdapat masjid-masjid yang dibangun oleh kelompok-kelompok masyarakat desa yang umumnya terkait dengan jaringan organisasi dakwah atau organisasi keagamaan. Masuk dalam kategori ini adalah masjid milik lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren dan juga dibangun oleh oerang-perseorangan yang lambat laun menjadi masjid keluarga tertentu.
Perkembangan pertumbuhan masjid di Indonesia sebagaimana diuraikan tadi, tidak lepas dari dinamika perubahan struktur masyarakat kita yang mendorong kita memahaminya secara cermat untuk pemberdayaannya. Fungsionalisasi masjid sebagai benteng aqidah perjuangan umat diperlukan mengenal dan memahami karakteristik masjid-masjid yang ada dan terbangun ditengah masyarakat.
PENUTUP
Pertambahan jumlah sarana ibadah merupakan sesuatu yang patut kita syukuri, apalagi hal ini menunjukkan bahwa eksistensi dan umatnya khususnya dinegeri kita masih sangat kuat. Namun disisi lain, sebagai muslim yang baik kita harus merasa prihatin terhadap pemanfaatan masjid yang kurang optimal. Melaksanakan fungsi-fungsi masjid sebagaimana tersebut dalam pembahasan pada makalh ini merupakan hal yang patut kita upayakan agar masjid sebagai sentra kegiatan keislaman senantiasa hidup dan sekaligus menghidupkan syiar Islam.
Bangunan fisik masjid pada perkembangannya senantiasa mengikuti perkembangan zaman, ada masjid yang mengikuti arsitektur kuno, modern dan ada pula yang mengikuti arsitektur post-modern, hal ini dapat pula menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang datang ke masjid atau bahkan menjadi kebanggaan masyarakat.
12
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama R.I. 2004. Kriteria Tipologi Masjid. Jakarta. Proyek Peningkatan Pemberdayaan Rumah Ibadah dan Masyarakat, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Agama R.I. 2004. Pedoman Akreditasi Masjid. Jakarta. Proyek Peningkatan Pemberdayaan Rumah Ibdah dan Masyarakat, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Agama R.I. 2004. Panduan Pembinaan Jamaah Masjid. Jakarta. Proyek Peningkatan Pemberdayaan Rumah Ibadah dan Masyarakat. Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Agama R.I. 2004. Pedoman Penilaian Masjid Teladan. Jakarta. Proyek Peningkatan Pemberdayaan Rumah Ibadah dan Masyarakat, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Agama R.I. 2004. Pedoman Pemberdayaan Profil Masjid, Mushollah Dan Langgar. Jakarta. Proyek Peningkatan Pemberdayaan Rumah Ibadah dan Masyarakat, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Wiryoprawiro, Zein M, 1986. Perkembangan Arsitektur Masjid Di Jawa Timur. Surabaya. PT. Bina Ilmu.
Sudarsono, Susmayati.1992. Ka’bah–Pemersatu Umat Islam. Jakarta. PT. Asdi Mahasatya
Hillenbrand, Robert. 1994. Islamic Architecture. Edinburgh. Univercity Press.
Gazalba, Sidi. 1975. Masjid Pusat Ibadah Dan Kebudayaan Islam. Jakarta. Pusaka Antara.
http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/WEBTOHAMASJID.pdf

1 komentar: