Kamis, 16 Januari 2014

AGAMA DAN LINGKUNGAN HIDUP

1
AGAMA DAN LINGKUNGAN HIDUP
Kajian Pengembangan Pembentukan Perilaku Etis-Ekologis Bagi Peserta Diklat
Kepemimpinan Tingkat IV
Oleh: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si
Abstrak:
Upaya mewujudkan green echology, membutuhkan perilaku etis. Namun
ironis, pesan etis-theologis ini tidak sekuat pesan yang dikembangkan pasar yang
saat ini dominan. Mekanisme pasar kini dikendalikan oleh mereka yang kaya (the
rule of the rich). Mereka lebih tertarik pada pesan-pesan sekular. Eksploitasi alam
lebih dipercayakan kepada sains dan teknologi, dari pada dipercayakan kepada
pesan-pesan ketuhanan. Lingkungan dengan berbagai species, mineral, dan material
yang ada di dalamnya terancam oleh karena sumberdaya itu dieksploitasi secara
tidak etis dan tidak bertanggung jawab. Lingkungan kini mengalami distorsi luar
biasa. Problem mendasarnya justru karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang
canggih tidak didasarkan pada perilaku etis ekologis yang bernafaskan nilai-nilai
keagamaan. Peran agama dan para pemangku kepentingan, khususnya aparatur
pemerintah di lingkungan Kementerian Agama akan mampu turut membangun
sebuah pengelolaan lingkungan yang terhindar dari perilaku non-etis dan destruktif
jika disertai dengan pemahaman pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
dampaknya terhadap pelestarian lingkungan.
Key words: Perilaku etis ekologis; Green Echology; the rule of the rich, counter
hegemony, kebijakan bola lampu pijar.
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Peserta Diklat Kepemimpinan tingkat IV di lingkungan Kementerian Agama, adalah
calon pemimpin instansi yang memegang tanggung jawab pengembangan perikehidupan
agama di negeri ini. Salah satu tanggung jawabnya adalah membangun kesadaran agama
yang memiliki dampak terhadap pelestarian lingkungan hidup. Tantangan yang dihadapi
dalam menjalankan tugas ini cukup berat. Pertama, karena pemanfaatan lingkungan hidup
justru cenderung dikendalikan oleh para pemilik modal yang semangatnya mengejar
keuntungan dengan memaksimalkan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka
cenderung menyingkirkan apa saja yang dianggap tidak memiliki manfaat untuk menopang
kepentingan memperoleh keuntungan. Menjadi semakin berat tantangan itu ketika kekuatan
pemilik modal berpegang pada ideology kapitalisme.
Di tengah masyarakat yang dibangun di bawah pengaruh kapitalisme dan sekularisme
seperti yang kita rasakan sekarang, maka pembicaraan agama dan lingkungan hidup bisa
dimasukkan dalam bagian dari sebuah bentuk counter hegemony. Masalahnya, kapitalisme
yang percaya dengan prinsip sekular, menjadi mode produksi yang begitu dominan dan
2
hegemonik dalam masyarakat modern. Kaum kapitalis yang ditopang oleh industri yang kuat
umumnya berpandangan antroposentrik, yang memandang alam dengan berbagai species,
kawanan binatang dan tetumbuhan, air dan mineral yang ada di dalamnya, dianggap sebagai
sebuah entitas yang memang dipersiapkan untuk dieksploitasi manusia dan tidak memiliki
nilai-nilai inheren.1
2. Identifikasi Masalah
Apakah dengan pandangan seperti itu kapitalisme lalu memberi jalan ke masa depan
yang menjanjikan? Memang tidak dapat dipungkiri, selama ini ada yang diuntungkan oleh
mode produksi kapitalisme. Namun jumlah mereka amat sedikit dan mereka pada umumnya
berada di pusat-pusat pertumbuhan, di negara-negara yang menjadi centrum, yang selama ini
menjadi rujukan banyak negara yang berada di kawasan periphery. Dalam praktik
kapitalisme telah membawa kehidupan banyak umat manusia kedalam situasi yang
mencemaskan, menakutkan dan bahkan dalam batas tertentu telah memicu dan menyebarkan
semangat kemarahan dan kekerasan.2
Sebuah pertanyaan yang serupa itu dikemukakan oleh Bill Meyers kepada Kevin
Phillips penulis buku best seller “the Politics of Rich and Poor” yang mempengaruhi pemilu
Amerika tahun 1992. Meyers mempertanyakan arah kecenderungan politik Amerika. Kevin
Phillips bilang, hanya melahirkan regim plutocracy, di mana uang bersatu dengan kekuasaan
mengatur kehidupan.3 Dalam bukunya American Theocracy Kevin Phillips bahkan bilang
Amerika tidak dalam posisi on the track. Apa yang didapatkan Amerika malah sebaliknya,
karena kenyataan dunia kemudian menghadapi kelangkaan minyak, lingkungan agama
radikal, ketergantungan banyak negara kepada pinjaman, membengkaknya defisit domestik
dan internasional. Tentu saja, Phillips menyebut teror. Ia buah dari kebijakan poltik minyak
dan fundamentalisme agama di kalangan Islam maupun Barat. Meski berpretensi demi
pembebasan dan kemerdekaan, namun kenyataannya minyak dan dan geopolitiknya telah
1 Lihat penjelasan tentang paradigma ekologi antoroposentrisme dalam D.P Green & J. Citrin,
Environmental beliefs and behaviors: Assesement and change, Westport, CT: Greenwood Press, 1994, dalam
Rilley E. Dunlap dan Kent D. Van Liere, “Measuring Endorsement of the New Ecologcal Paradigm: A Revised
NEP Scale, Jurnal of Social Issues, Vol. 56, No. 3, 2000, hal. 431. sebagaimana dimuat pada
2Menurut OECD, dalam kurun waktu 1980-an hingga tahun 2000 an, ketimpangan antara warga kaya
dan miskin naik 77% di 22 negara yang disurvei. Apa yang terjadi di 22 negara tersebut juga merupakan
gambaran umum di negara-negara lain di seluruh dunia.... Pemenang hadiah Nobel Perdamaian Muhammad
Yunus mengatakan bahwa ada yang salah dalam pembangunan ekonomi global saat ini. "Bagaimana bisa ada 1
miliar penduduk bumi hanya memiliki pendapatan 1 dolar sehari atau hampir setengah dari 6 miliar penduduk
bumi hanya menerima kurang dari 2 dolar per hari," tulis Yunus dalam bukunya “Menciptakan Dunia Tanpa
Kemiskinan.” http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1480992/melebar-jurang-kaya-miskin-di-sejumlah-negara.
Lihat juga laporan Institute for Policy Study yang menegaskan bahwa ekonomi global akan menciptakan
kesenjangan luar biasa antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Diramalkan bahwa kekayaan dari 447
orang terkaya di dunia akan lebih besar daripada pendapatan penduduk miskin yang mencakup sekitar separo
jumlah penduduk dunia, dan dua pertiga penduduk dunia akan mengalami proses pemiskinan. Di bidang tenaga
kerja, 200 industri terkemuka dunia akan menguasai sekitar 28% kegiatan ekonomi dunia, tetapi hanya
menyerap 1% dari tenaga kerja global dengan gaji yang relatif rendah (Lihat Herald Tribune, 24 Januari 1997,
kutip www.pakguruonline.com).
3 Transkrip wawancara dengan Meyers itu dapat diikuti di http://www.pbs.org/now/transcript/
transcript_ phillips.html.
3
mendominasi aktifitas Anglo-Amerika di Timur Tengah selama abad ini. Ekses yang timbul
adalah munculnya fundamentalisme Amerika dan Israil termasuk Islam radikal.4
Dalam konteks ini, krisis lingkungan yang kian mencemaskan, dinilai sebagai dampak
dari libido ekonomi kaum kapitalis. Krisis lingkungan itu sudah merambah ke berbagai aspek
dengan dimensi yang sangat luas. Polusi udara sampai hari ini masih menjadi isu yang kuat
dan belum ada tanda-tanda pemecahannya. Secara geografis, kerusakan lingkungan semakin
meluas dan tak terkendali. Pemanasan global, penggundulan hutan hujan, musnahnya
keanekaragaman hayati, perubahan iklim bukan lagi berdimensi lokal, melainkan telah
berkembang berdimensi global. Krisis lingkungan tersebut disebabkan oleh persoalan
kompleks dan saling kait mengait. Pemecahannya pun, seperti dinyatakan Stern, Young &
Druckman (1992) sangat kompeks dan problematis.5
3. Rumusan Masalah
Dengan demikian ada masalah yang serius berkait dengan hal-hal berikut:
1). Apakah problema mendasar yang bisa menjadi hambatan dari keinginan membangun
green echology,
2). Apakah peran agama dan para pemangku kepentingan, khususnya aparatur pemerintah di
lingkungan Kementerian Agama dalam upaya membangun sebuah pengelolaan
lingkungan yang terhindar dari perilaku non-etis dan destruktif.
3) Bagaimana akibat lingkungan dengan berbagai species, mineral, dan material yang ada di
dalamnya, jika sumberdaya itu dieksploitasi secara tidak etis dan tidak bertanggung
jawab?
4. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1). Berupaya memahami problema mendasar yang bisa menjadi hambatan dari keinginan
membangun green echology.
2). Memahami peran agama dan para pemangku kepentingan, khususnya aparatur pemerintah
di lingkungan Kementerian Agama dalam upaya membangun sebuah pengelolaan
lingkungan yang terhindar dari perilaku non-etis dan destruktif.
3) Memahami akibat lingkungan dengan berbagai species, mineral, dan material yang ada di
dalamnya, jika sumberdaya itu dieksploitasi secara tidak etis dan tidak bertanggung jawab.
II. Tinjauan Teoritik
A. Penyingkiran agama dan Perilaku etis ekologis
Kapitalisme adalah sebuah ideology yang cenderung mengambil pandangan
antroposentrisme, yang mengandaikan bahwa alam hanya disiapkan untuk dieksploitasi
manusia. Perpsektif pemikiran seperti ini, ternyata menghasilkan berbagai kecemasan,
4 Kevin Phillips, American Theocracy: The Peril and Politics of Radical Religion, Oil, and Borrowed
Money in the 21st Centurya, London: Penguin Books, 2006, hal. Vii.
5 Stern, P.C., Young, O.R, dan Druckman, D., Global environmental change: Understanding the
human dimensions, Washington DC: Natonal Academy Press, 1992, dalam Rilley E. Dunlap dan Kent D. Van
Liere, op.cit., hal. 426.
4
radikalisasi dan juga penyebaran kemarahan. Para ahli echotheology, perkembangan yang
mencemaskan itu disebabkan karena pengabaian terhadap apa yang ditawarkan oleh agama.
Justru kapitalisme menyingkirkan argumen dan konsep yang ditawarkan agama dalam
menghadapi kehidupan.
Kapitalisme terlalu percaya terhadap kekuatan sains dan teknologi. Mereka
mengabaikan argumen keagamaan dalam menentukan relasi manusia dengan lingkungan
alamnya. Mereka melakukan praktik sekularisasi kemudian menghasilkan praktik atau
desakralisasi lingkungan. Dalam hal ini sekularisme membawa para aktifis lingkungan
semata mendasarkan pengendalian semesta hanya semata urusan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dalam praktik cara pandang ini menumbuhkan proses desakralisasi alam. Alam
tidak memuat nilai-nilai dan etika tersendiri. Pandangan tentang “desacrilizing nature”
seperti itu dinilai banyak ahli echotheology yang menjadi pangkal krisis lingkungan.
Sekularisme dalam arti penyingkiran peran agama6 dalam merespon lingkungan ini
dilakukan karena berbagai alasan. Alasan pertama karena agama erat dengan kekerasan.
Terorisme yang berkembang di berbagai tempat selama ini semakin menjustifikasi alasan ini.
Kedua, keyakinan dan ajaran agama tidak masuk akal (irrasional) sehingga tidak layak diberi
tempat untuk mengorganisasi kehidupan masyarakat. Ketiga, tawaran ajaran agama tentang
lingkungan tidak lebih baik dari yang diberikan oleh ilmu pengetahuan. Keempat,
keterlibatan agama dalam politik berakibat buruk. Atas dasar pemikiran seperti itu maka
mencari penjelasan kerusakan lingkungan kedalam agama dipertanyakan oleh para
pendukung kapitalisme. Kapitalisme tidak menyertakan binatang, pepohonan atau tanah
memiliki hak-haknya sehingga tidak perlu ditekankan agar manusia menaruh rasa tanggung
jawab moral untuk melestarikannya.7
Eksploitasi alam semata-mata mendasarkan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi
rentan rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan alam. Sebaliknya, ia justru memicu
munculnya berbagai bentuk penyakit dan bencana. Penyebab munculnya berbagai bencana
bukan semata-mata peristiwa alam. Sebagian bisa dijelaskan sebagai akibat ulah manusia. Di
antaranya, kebijakan pembangunan yang hanya berfikir tentang eksploitasi alam, dan tidak
didasarkan pada etika atau rasa tanggung jawab tertentu, misalnya tanggung jawab
mengurangi risiko bencana.
Etika lingkungan sangat dibutuhkan jika kita ingin memperoleh respon alam berupa
keramahan dan kemurahan lingkungan hidup. Perilaku etis kata Blackburn (2001), memandu
manusia untuk mengukur pantas tidaknya cara kita memperlakukan lingkungan. Ia menulis:
We have all learned to become sensitive to the physical environment. We
know that we depend upon it, that it is fragile, and that we have the power to ruin
it, thereby ruining our own lives, or more probably those of our descendants.
Perhaps fewer of us are sensitive to what we might call the moral or ethical
environment. This is the surrounding climate of ideas about how to live. It
determines what we find acceptable or unacceptable, admirable or contemptible. It
6 Sekularisme memiliki banyak dimensi penafsiran. Ia bisa diartikan sebagai the decline of religion. Di
lain pihak bisa diartikan sebagai the social differentiation. Atau kemungkinan privatisation. Mengenai hal ini,
baca Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.
7 Roger S. Gottlieb, A Greener Faith Religious Environmentalism and Our Planet’s Future,London:
Oxford University Press, 2006, hal 42-80.
5
determines our conception of when things are going well and when they are going
badly. It determines our conception of what is due to us, and what is due from us,
as we relate to others. It shapes our emotional responses, determining what is a
cause of pride or shame, or anger or gratitude, or what can be forgiven and what
cannot. It gives us our standards – our standards of behaviour.8
Melihat apa yang terjadi dengan lingkungan hidup manusia seperti digambarkan di
muka, tampak etika lingkungan seperti yang digambarkan Blackburn di atas tidak berjalan.
Hilangnya etika lingkungan seperti itu dapat dibaca dalam cara kerja para pengambil
kebijakan pembangunan. Sadar atau tidak, perancang kebijakan pembangunan banyak yang
yang menganut model ''lampu pijar''. Istilah itu awalnya dipakai Anderson untuk
menggambarkan konsep kesatuan dan pusat di mata orang Jawa.9 Di mata penguasa Jawa,
kehidupan memerlukan pusat yang menyerap. Digambarkan, pusat kehidupan tersebut bagai
lampu pijar. Di situ ada cahaya terang di sekitar bola lampu. Namun, cahaya tersebut kian
pudar tatkala jarak semakin jauh dari lampu pijar itu.
Konsep tersebut membentuk alam bawah sadar yang mendasari penentu kebijakan
publik dalam mengambil keputusan. Cara berpikir itu lalu melahirkan model kebijakan
pembangunan yang bias ''lampu pijar''. Pembangunan terkonsentrasi di pusat pertumbuhan
dan pusat perubahan. Daerah yang jauh dari pusat pertumbuhan tidak sempat memperoleh
sentuhan ''cahaya'' kebijakan yang cukup, bahkan diserap dan diisap oleh pusat.
Jika pada masa lalu lampu pijar atau pusat yang menyerap tersebut adalah keraton,
bagi Indonesia modern, pusat yang menyerap itu adalah pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
dan politik. Pusat pertumbuhan itu memanjakan segelintir orang. Dengan kelebihan modal
finansial dan materialnya, mereka mengeksploitasi sumber daya di sekitarnya. ''Libido
ekonomi'' mereka sangat kuat, sehingga sering mengabaikan risiko bencana.
Eksploitasi di pusat sumber daya ekonomi di kawasan Puncak, Bogor, misalnya -telah
mengakibatkan bencana longsor dan banjir yang bahkan air bahnya juga menimpa (istana) di
Jakarta. Perubahan kawasan hijau menjadi pemukiman di daerah Bogor, telah mengubah
struktur iklim, sehingga angin dari arah barat, tidak sempat membawa awan mencapai
kawasan Citarum. Awan tidak lagi jatuh menjadi hujan di daerah Citarum, melainkan di
daerah Bogor dan sekitarnya. Akibatnya Bendungan Sungai Citarum tidak mendapatkan
supplay air yang cukup. Bendungan pembangkit listrik itu terancam tidak bisa beroperasi
karena debet air yang dibutuhkan tidak cukup kuat untuk membangkitkan tenaga listrik, di
lain pihak Jakarta semakin terancam limpahan banjir dari Bogor.
B. Dampak Penyingkiran agama dan perilaku Etis Ekologis
Kerja kapitalisme yang percaya pada magis ilmu pengetahuan empirik, telah
melahirkan pusat kuasa ekonomi dan politik, seperti dikatakan banyak ahli demografi,
menjadi pull factor. Ia menyerap dan kemudian mendorong munculnya gelombang urbanisasi
8 Blackburn, S. (2001) Being Good: A Short Introduction to Ethics, Oxford: Oxford
University Press, kutip Graham Haydon, Education, Philosophy and the Ethical Environment, New
York: Routledge, 2006, hal 11.
9 Bennedict Richard O’Gorman Anderson, Language and Power: Exploring Political Culture in
Indonesia, New York: Cornal University, 1990, hal 35-36.
6
yang tak terkontrol. Itulah yang terjadi pada Jakarta dan pusat-pusat kota lainnya yang
menimbulkan problema urbanisasi. Hampir semua kota di Indonesia, berkembang ke arah
congested urban, kota yang padat, yang sulit dikendalikan, dan kemudian menjelma menjadi
sebuah sumber bencana, bukan lagi sumber kehidupan yang nyaman.
Setidak-tidaknya ada dua problem pelik dari urbanisasi. Yaitu, (1) budaya kemiskinan
di perkotaan yang ditandai mudahnya memilih sikap permissive, termasuk membuang
sampah seenaknya, sebagai awal petaka terjadinya bencana banjir di perkotaan. (2)
Kegagalan adaptasi sebagian besar migran. Karena gagal beradaptasi, mereka menjadi tenaga
buruh non-skill, mengisi sektor informal, tak sedikit yang menjadi pengangguran dan tinggal
di kawasan kumuh dengan tekanan subsistensi ekonomi yang cukup parah.
Kawasan rawan tumbuhnya ''kekumuhan mental'', yang jika ada faktor pemantik,
apalagi rekayasa dan apalagi politisasi, bisa dengan mudah massa dari kawasan itu
dimobilisasi untuk melakukan kekerasan kolektif atau amuk massa, kemudian menimbulkan
bencana sosial. Situasi congested urban, mudah memunculkan crowd, kerumunan yang tidak
mudah dikendalikan. Crowd seringkali muncul seperti di saat digelar events, tanding
sepakbola, konser musik, hingga euphoria kelulusan ujian nasional. Crowd yang berpadu
dengan kekumuhan mental, mengubah sekumpulan orang menjadi gerombolan yang
menakutkan.
III. Temuan dan Bahasan: Back to religion and back to echotheology
Gerakan untuk membangun etika lingkungan sebenarnya mulai tumbuh. Justru tidak
puas dengan kalangan antroposentris sekular yang menopang cara berfikir kapitalisme,
belakangan muncul gerakan yang memilih model budaya dalam memahami lingkungan.
Model kultural ini menegaskan tiga hal, (1) alam memiliki sumberdaya yang terbatas, (2)
alam diciptakan dengan prinsip keseimbangan, satu sama lain saling bergantung, dan
karenanya rentan intervensi manusia, dan (3) materialisme dan sedikit hubungan dengan alam
hanya menjadikan masyarakat cenderung mendevaluasi alam.10
Sebagian lagi justru mengajak untuk lebih menaruh perhatian kepada agama. Oleh
karena itu, belakangan muncul berbagai gerakan dan aktifis yang mencoba kembali
menengok peran agama. Di kalangan ilmuwan sosial, misalnya menawarkan agar sosiologi
beralih ke sosiologi agama. Stark (1999) misalnya menawarkan teori rational choice yang
menawarkan proposisi bahwa manusia secara instink ingin menjelaskan kehidupan dunia.
Beberapa persoalan kehidupan dunia tersebut berada di luar lingkup pengamatan empirik.
Oleh karena itu, penjelasannya harus mengacu pandangan supernatural, kekuatan di luar alam
yang bisa mempengaruhi alam itu sendiri. Stark menawarkan pertimbangan evolusi
keagamaan, di mana kekuatan supernatural acapkali menjadi intensi sehingga seharusnya
alam sadar manusia harus mempertimbangkan aspek supernatural tersebut. Supernatural yang
dimaksud adalah Tuhan, dan manusia harus mengembangkan model interaksi dengan Tuhan,
yaitu melalui agama. Agama, dengan demikian adalah pendekatan standart bagi individu
10 W. Kempton, JS. Boster & JA Hartley, “Environmental values in American cultural, Cambridge: MIT
Press, 1995, dalam Rilley E. Dunlap et.all, op.cit, hal. 429.
7
yang rasional untuk memaksimalkan keuntungan dan menghindarkan ongkos yang timbul
dalam kehidupan ini.11
Sayangnya Stark mengangkat peran agama yang begitu penting dari sudut pandang
rational choice, sehingga agama dipakai untuk memenuhi kepuasan spiritual individu saja.
Cara pandang ini menyebabkan kepuasan spiritual yang dihasilkan cenderung berdimensi
mikro dan individual, sehingga mudah menjadikan individu tercerabut dari lingkungan
sosialnya, termasuk dari lingkungan alam. Akan lebih bagus apabila penempatan peran
agama adalah dalam rangka mentransformasikan kehidupan ini seperti yang diangkat oleh
para penganut perspektif Weberian, atau kalangan pemikir teori kritis. Agama menurut
perspektif yang teresebut terakhir adalah dalam rangka membebaskan dari alienasi, dan
mentransformasikan kehidupan, bukan hanya kehidupan pribadi, tetapi juga lingkungan
sosial dan ekologis kedalam kehidupan yang lebih bermartabat.
Cara agama mentransformasikan kehidupan tentu saja ditempuh melalui berbagai
model. Jika digunakan pendekatan konstruksionis, agama dengan nilai-nilai yang ditawarkan
tentang lingkungannya diinternalisasi oleh individu sebagai agent sehingga kemudian
membentuk realitas subyektif. Nilai-nilai subyektif tersebut menjadi inti dari self-concept
atau schemata menurut istilah kalangan fenomenologis. Self-concept itu kemudian dijadikan
sebagai modal untuk mengkonstruk, merespon dan membentuk realitas obyektif yang berada
di luar dirinya, termasuk mengkonstruk, merespon dan membentuk alam lingkungan dimana
ia hidup.
Jika agama yang menjadi schemata individu dalam mengkonstruk lingkungannya,
maka tentu yang ia kembangkan adalah perilaku etis dan rasa tanggung jawab untuk
membangun lingkungan yang ramah kepada manusia. Agama memang memberi penekanan
pada etika dan rasa tanggung jawab terhadap alam. Oleh karena itu agama menawarkan
kepada manusia agar memberi perhatian terhadap alam dan lingkungan dengan komitmen
bahwa alam memiliki dan berada dalam satu tatanan nilai. Alam dinyatakan memiliki nilai,
karena alam lebih dekat kepada kita, lebih suka kepada kita, lebih akrab dengan kita, daripada
kita menyadari dan memahaminya.
Etika lingkungan akan mudah terbentuk jika pemahaman terhadap lingkungan tidak
hanya disandarkan kepada cara kerja sains dan teknologi, pada ahli biologi, ekologi, kimia
atau fisika saja. Etika itu akan mudah terbentuk jika pemahaman dan pendekatan terhadap
lingkungan menyertakan diskursus tentang Tuhan, keyakinan, ajaran tentang kebenaran
kesucian, kemuliaan dan kebahagiaan yang ditawarkan agama. Dalam diskursus keagamaan
manusia diajak untuk tidak berbuat kerusakan. Dalam Islam, pesan seperti itu dikemukakan
dengan jelas. Jangan berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak suka orangorang
yang berbuat kerusakan. Meski pesan ini disinyalir sendiri oleh Alquran kurang
mendapat perhatian. Namun Alquran juga mengingatkan betapa akibat mereka yang tidak
memiliki perilaku etis terhadap lingkungannya. “Telah tampak kerusakan di bumi dan di laut
11 Lihat Stark, Rodney. 1999. “Micro Foundations of Religion: A Revised Theory.” Sociological Theory
17: 264 – 289, dalam Matthew T. Loveland dan Eric K. Sartain, Bringing sociology back to the sociology of
religion, Working Paper and Technical Report Series, University of Notre Dame,
http://www.nd.edu/~soc2/workpap/.
.
8
karena tangan-tangan manusia yang akhirnya Allah rasakan kepada mereka ganjaran dari
sebahagian yang mereka kerjakan, supaya mereka kembali” (ar-Rum, 41).
Dalam Islam juga diingatkan bahwa alam diciptakan dengan intensi dan nilai-nilai
tertentu. Air hujan diciptakan untuk kehidupan manusia. Dalam surat an-Nahl, Allah
menegaskan “Dan Allah menurunkan dari langit air hujan dan dengan air itu dihidupkan-Nya
bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda
(kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)” (an-Nahl, 65).
Oleh karena itu, Islam meminta manusia berperilaku etis terhadap alam. Beberapa
pesan untuk berperilaku etis itu dikemukakan dalam Alquran. Antara lain Allah berfirman:
“...dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (Albaqarah,
60). Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia
(Allah) memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (an-Nahl, 90)
Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”, dan: “Luruskanlah muka (diri)mu
di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya” (al-
A’raf, 29).
Diabad yang konsumerisme berkembang, pantas merenungkan imperasi Al-qur’an
tentang masalah ini. Dalam hal ini Alquran berbicara tentang ajakan mengembangkan
keindahan, namun disertai juga dengan pesan untuk tidak berlebihan. Ditegaskan dalam surat
al-A’raf, “Hai anak Adam, pakailah pakainnmu yang indah di setiap (memasuki) masjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan” (al-A’raf, 31).
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulannya:
1) Upaya mewujudkan green echology, membutuhkan perilaku etis. Perilaku itu akan lebih
mudah terbentuk jika pesan theologis dengan berbagai diskursusnya tentang kelestarian
lingkungan, pengendalian yang jelas dalam mengeksploitasi alam, pola relasi manusia
terhadap alam, mendapat perhatian.
2) Namun ironis memang, pesan etis-theologis ini tidak sekuat pesan-pesan yang
dikembangkan oleh pasar, padahal basic filosofi kehidupan yang berkembang saat ini
adalah mekanisme pasar, dengan dikendalikan oleh mereka yang kaya (the rule of the
rich). Mereka yang mengendalikan pasar, lebih tertarik pada pesan-pesan sekular.
Eksploitasi alam lebih dipercayakan kepada sains dan teknologi, dari pada dipercayakan
kepada pesan-pesan ketuhanan. Dengan demikian problema mendasar yang bisa menjadi
hambatan dari keinginan membangun green echology saat ini justru ilmu pengetahuan
dan teknologi yang canggih belum didasarkan pada perilaku etis ekologis yang
bernafaskan nilai-nilai keagamaan.
3) Peran agama dan para pemangku kepentingan, khususnya aparatur pemerintah di
lingkungan Kementerian Agama akan mampu turut membangun sebuah pengelolaan
lingkungan yang terhindar dari perilaku non-etis dan destruktif jika disertai dengan
pemahaman pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampaknya terhadap
9
pelestarian lingkungan. Lingkungan dengan berbagai species, mineral, dan material yang
ada di dalamnya terancam oleh karena sumberdaya itu dieksploitasi secara tidak etis dan
tidak bertanggung jawab.
B. REKOMENDASI
Hegemoni the rule of the rich yang bermain dengan hukum mekanisme pasar bebas
telah banyak menyebarkan kecemasan, kemarahan, kekerasan dan radikalisasi. Oleh karena
itu direkomenasikan agar:
1) Aparatur pemerintah, khususnya para pimpinannya, dalam hal ini terutama adalah
pimpinan di lingkungan Kementerian Agama harus bekerja lebih aktif, proaktif, lebih
peduli dan professional lagi untuk bisa membangun kekuatan counter hegemony terhadap
kekuatan mekanisme pasar bebas yang hegemonik.
2) Aparatur pemerintah, khususnya para pimpinannya, dalam hal ini terutama adalah
pimpinan di lingkungan Kementerian Agama hendaknya menjadikan diskursus etika dan
ketuhanan sebagaimana diajarkan oleh Islam, dijadikan inspirasi untuk membangun
kekuatan counter hegemony terhadap kekuatan mekanisme pasar bebas yang hegemonik
mengingat dalam ajaran agama (Islam) banyak imperasi yang bisa dijadikan pijakan
untuk membangun lingkungan yang sustainable.
Daftar Pustaka
Anderson, Bennedict Richard O’Gorman,
Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia, New York: Cornal
University, 1990,
Blackburn, S.
Being Good: A Short Introduction to Ethics, Oxford: Oxford University Press, 2001
Dunlap, Rilley E. dan Kent D. Van Liere,
“Measuring Endorsement of the New Ecologcal Paradigm: A Revised NEP Scale, Jurnal of
Social Issues, Vol. 56, No. 3, 2000, hal. 431.
Green, D.P & J. Citrin,
Environmental beliefs and behaviors: Assesement and change, Westport, CT: Greenwood
Press, 1994,
Haydon, Graham,
Education, Philosophy and the Ethical Environment, New York: Routledge, 2006.
Kempton, W. , JS. Boster & JA Hartley,
“Environmental values in American cultural, Cambridge: MIT Press, 1995.
Loveland , Matthew T. dan Eric K. Sartain,
Bringing sociology back to the sociology of religion, Working Paper and Technical Report
Series, University of Notre Dame, http://www.nd.edu/~soc2/workpap/.
Maliki, Zainuddin,
Agama Priyayi, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.
Gottlieb, Roger S. A Greener Faith Religious Environmentalism and Our Planet’s Future,London:
Oxford University Press, 2006.
Phillips, Kevin, American Theocracy: The Peril and Politics of Radical Religion, Oil, and Borrowed
Money in the 21st Centurya, London: Penguin Books, 2006.
Stern, P.C., Young, O.R, dan Druckman, D.,
Global environmental change: Understanding the human dimensions, Washington DC: Natonal
Academy Press, 1992
Stark, Rodney.
10
“Micro Foundations of Religion: A Revised Theory.” Sociological Theory 17. 1999
Herald Tribune, 24 Januari 1997, kutip www.pakguruonline.com.
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1480992/melebar-jurang-kaya-miskin-di-sejumlah-negara.
Meyers, http://www.pbs.org/now/transcript/ transcript_ phillips.html.
.
http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/Artikel1AGAMADANLINGKUNGANHIDUPx.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar