Senin, 13 Januari 2014

MENGEMBALIKAN ‘RUH’ LEMBAGA DIKLAT

1
MENGEMBALIKAN ‘RUH’ LEMBAGA DIKLAT
Oleh: Sholehuddin*
Abstraksi
Balai Diklat Keagamaan merupakan kawah candradimuka bagi SDM di lingkungan Kementerian Agama. Keberadaannya cukup strategis dalam meningkatkan kualitas SDM lembaga Ikhlas Beramal. Namun seiring perkembangan waktu, balai diklat mengalami pasang surut. Pada tahun 2012 lalu adalah awal dari surutnya balai diklat menyusul banyaknya widyaiswara yang mendapatkan surat pemberhentian sementara. Di samping itu, sejak tahun lalu, honorarium mengajar dan kepanitiaan dihapus. Akibatnya kinerja kediklatan menjadi menurun dan tidak berbasis mutu. Itu merupakan salah satu contoh kecil masalah yang harus dicarikan solusinya selain masalah-masalah lain yang juga harus segera diatasi. Untuk itu perlu dilakukan berbagai terobosan dalam rangka mengembalikan „ruh‟ lembaga diklat, misalnya melalui spiritualisasi kerja, memantapkan program kelitbangan berbasis kediklatan, dan kediklatan berbasis kelitbangan, mengubah paradigma kepemimpinan dari berbasis struktural murni menuju kepemimpinan berbasis fungsional dan sebagainya.
Kata kunci: „ruh‟, diklat, jabatan fungsional, widaiswara
Pendahuluan
Pada tahun 2012 lalu, Lembaga Diklat di lingkungan Kementerian Agama mangalami ujian yang cukup berat. Pertama, banyaknya widyaiswara yang terkena „surat cinta‟, istilah yang cukup familiar sebagai sebutan untuk surat peringatan dan pembebasan sementara dari jabatan widyaiswara bagi mereka yang tidak bisa mengumpulkan Angka Kredit selama 5 tahun, sesuai dengan Permenpan No. 19 tahun 2009 tentang Jabfung WI dan AK-nya. Sebagai contoh, di BDK Surabaya tidak kurang dari 12 orang WI yang terkena konsekuensi ini, bahkan, ada 4 orang widyaiswara yang harus mengalami masa kritis berdasarkan surat edaran Sekretaris Kepala Badan a.n. Kepala. Kedua, tidak dibayarkannya honorarium kegiatan apapun yang menjadi tugas fungsi, jelas mejadi pukulan telak bagi tenaga kediklatan, terutama pada awal-awal pemberlakuan. Tidak heran jika di mana-mana menjadi perbincangan serius, dari meja kerja, jejaring sosial, hingga forum ilmiah seperti Temu Widyaiswara di Bandung beberapa waktu lalu.
Persoalan di atas sebenarnya merupakan titik kulminasi dari berbagai permasalahan di balai diklat dan bisa menjadi „bom waktu‟ apabila tidak disikapi secara bijak, karena
2
berdampak pada menurunnya kinerja lembaga. Alangkah naifnya jika demikian, mengingat lembaga ini sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak. Lembaga diklat sudah menjadi primadona bagi insan-insan Kementerian Agama. Sebagai lembaga pengembangan SDM, institusi ini menjadi tempat berkumpulnya para aparatur dengan motto „Ikhlas Beramal‟ itu dalam menempa dan membentuk tenaga yang kompeten sekaligus. Selama hampir dasa warsa lembaga ini menunjukkan eksintensinya menjadi agen perubahan (agent of change). Jangan sampai hanya karena persoalan di atas, lembaga ini menjadi „mati suri‟, kehilangan ruh dan semangat kerja.
Hal-hal yang perlu diwaspadai
Selain banyaknya tenaga kediklatan yang akan berhijrah ke tempat lain, menurunnya kinerja merupakan ancaman yang perlu diwaspadai. Penulis teringat sebuah pepatah: “Kȃdal faqru an-yakȗna kufran” (kefakiran itu mendekati kekufuran). Kata „fakir‟ dan „kufur‟ di sini lebih merupakan sebuah analog. Kata „fakir‟ merupakan gambaran sebuah keadaan yang menunjukkan kesulitan atau keterpurukan. Sedangkan „kufur‟ di sini lebih dimaknai sebuah keputusan maupun tindakan yang tidak sesuai dengan sistem atau norma yang ada. Tidak berjalannya sistem dimaksud tentunya tidak lain bermula dari manajemen diklat yang tidak berbasis mutu. Hal-hal terkait dengan tidak berjalannya Manajemen Mutu Diklat yang perlu diwaspadai antara lain;
Pertama, Perencanaan (planning). Dari sisi perencanaan, ada beberapa permasalahan yang harus diantisipasi:
1. Diklat tidak sesuai dengan kebutuhan user. Analisis Kebutuhan Diklat (AKD) yang belum dilakukan secara mendalam, menyebabkan diklat tidak sesuai sasaran.
2. Diklat yang dipaksakan. Penetapan waktu yang hanya sekadar kejar target, tidak sesuai dengan kondisi sasaran. Misalnya waktu liburan sekolah dipaksakan dilakukan diklat bagi Guru Mapel, padahal di dalamnya ada Studi lapangan yang secara ideal dilakukan di sebuah lembaga pendidikan, atau praktek materi Lesson Study yang juga harus dilakukan di sebuah madrasah/sekolah.
3. Penentuan tenaga pengajar yang tidak proporsional. Ketika honorarium tidak dibayarkan, ada kemungkinan terjadi upaya-upaya yang penting dapat bagian. Mulai dari modus tim dengan pihak lain yang sebelumnya ada deal-deal seperti; pembagian
3
honor, masuk bergantian (tertulis tim tapi dilakukan bergantian), melibatkan anggota keluarga atau orang terdekat yang terkadang tidak memperhatikan kapasitas sebagai tenaga pelatih, sampai dengan penentuan WI bukan berdasarkan spesialisasinya, melainkan berdasarkan pemerataan, terutama untuk DDTK yang memang masih dapat transport dan uang harian.
Kedua, Pengelolaan (organizing). “Al-Haqqu bila nidzamin, yaghlibuhul bathin binidzamin” (kebenaran yang tidak terorganisir, akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir). Pepatah ini ada kemungkinan terjadi pada lembaga diklat apabila para pengambil kebijakan tidak berlaku bijak dan tidak memiliki integritas tinggi. Mereka „tahu‟ segalanya apa yang ada di balai diklat yang tidak diketahui oleh „akar rumput‟. Meminjam ungkapan Bapak Sekretaris Badan di saat melakukan pembinaan beberapa waktu lalu; “Siapa melakukan apa, dapat apa”, itu harus jelas:”, kata beliau. Kondisi semacam ini bisa terbalik; “Siapa tidak melakukan apa-apa dapat apa, dan siapa melakukan apa tidak dapat apa-apa”. Jika hal itu terjadi, maka yang muncul adalah kesenjangan dan timbulnya kecemburuan yang bisa mengakibatkan suasana tidak sehat, kinerja kediklatan tidak bisa optimal. Selain itu koordinasi yang kurang, akan mengakibatkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang tidak bisa dihindari, karena tidak ada antisipasi sebelumnya.
Ketiga, Pelaksanaan (actuating). Dari sisi pelaksanaan, perlu diwaspadai adanya „despiritualisasi diklat‟. Artinya, kemungkinan lemahnya semangat yang dialami oleh tenaga kediklatan dalam mengemban tugas mulia ini, akibatnya para peserta diklat tidak terlayani dengan baik, pembelajaran dimulai, panitia belum ada di ruang kelas, dan sebaliknya, jam pembelajaran sudah masuk, namun widyaiswara belum juga hadir. Selama pembelajaran berlangsung tidak ada panitia yang mendampingi. Dari mana bisa melatih para peserta diklat agar mereka bisa menjadi pelayan prima dalam tugasnya, jika sebagai tenaga kediklatan tidak bisa memberikan pelayanan prima?.
Keempat, Pengendalian (controlling). Tidak berjalannya pengendalian diklat yang harus diwaspadai antara lain;
1. Pengawasan mulai dari persiapan, proses hingga akhir kegiatan yang kurang maksimal, mengakibatkan tidak adanya perbaikan mutu.
4
2. Evaluasi setengah hati atau tidak ditindaklanjutinya hasil evaluasi, baik dari sisi kepanitiaan, widyaiswara, maupun kepesertaan akan menyebabakan kondisi semacam itu terus berulang-ulang dan juga mengakibatkan tidak adanya perbaikan mutu.
Secercah harapan dalam lembaga diklat
Bagaimanapun keadaannya, diklat harus tetap berlangsung. Artinya bahwa program-program pengembangan SDM sebagai tugas dan tanggung jawab lembaga diklat harus tetap berjalan dan berbasis mutu. Terbitnya PMA No. 4 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Diklat Teknis di Lingkungan Kemenag merupakan tonggak sejarah baru dalam dunia kediklatan dan menjadi peluang dalam mengembangkan diklat secara lebih luas karena memberikan peluang kepada tenaga swasta untuk memperoleh kesempatan mengikuti diklat. Berangkat dari ilustrasi di atas, penulis berusaha mencari dan mengurai benang kusut permasalahan yang terjadi pada lembaga diklat di lingkungan Kementerian Agama, untuk dijadikan sebagai bahan renungan dan kajian dalam rangka perbaikan. Untuk sementara, persoalan banyaknya widyaiswara yang mendapatkan surat pemberhentian sementara dapat diatasi dengan berbagai motivasi dan kerjasama yang solid antar widyaiswara sehingga tidak sedikit mereka telah dikembalikan tunjangannya. Sementara itu terkait dengan sistem yang mengarah manajemen mutu kediklaatan, ada beberapa masukan;
Pertama, dalam hal pelaksanaan, perlu ditumbuhkannya spiritualisasi diklat bagi insan-insan (tenaga) kediklatan. Selama ini dalam setiap diklat ada materi Pembinaan Mental PNS, itu artinya bahwa tenaga kediklatan menanamkan nilai-nilai spiritualitas kerja dalam setiap tugasnya kepada peserta diklat, tapi kita lupa jika di lingkungan internal tenaga kediklatan sendiri masih banyak yang tidak memiliki nilai spriritual dalam bekerja. Untuk itu sudah saatnya pembinaan mental dilakukan secara intensif dan masif bagi tenaga kediklatan melalui semangat bahwa „kerja adalah ibadah‟ sesuai motto Ikhlas Beramal, yang dimaknai sebagai Ikhlas Berkhidmad atau pengabdian yang dilandasi dengan keikhlasan.
Kedua, dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kediklatan, perlu dimantapkannya program Peningkatan Penelitian Pengembangan (Litbang) Berbasis Kediklatan, dan Pengembangan Pendidikan Pelatihan (Diklat) Berbasis Kelitbangan.
5
Artinya, kegiatan penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan keagamaan harus dilakukan secara sinergis dengan program kediklatan. Misalnya, penelitian terhadap alumni diklat yang belum banyak disentuh, dan jenis diklat apa saja yang sebenarnya diperlukan user berdasarkan riset yang telah dilakukan. Demikian halnya dengan program kediklatan, harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian baik dari sisi kebutuhan diklat maupun perbaikan-perbaikan mutu kediklatan berdasarkan hasil penelitian terhadap proses penyelenggaraan diklat dan alumninya. Ini dapat dijadikan sebagai bentuk Analisis Kebutuhan Diklat (AKD) yang selama ini belum dilakukan secara ilmiah dan mendalam. Oleh sebab itu, ke depan perlu dipikirkan sebuah bentuk kerja sama secara konkrit dan sistemik antara puslitbang dan balai litbang dengan pusdiklat dan balai diklat dalam melaksanakan tusinya. Widyaiswara misalnya, dapat membantu dalam melakukan penelitian sebagai peneliti pendamping, karena salah satu tugas widyaiswara pada unsur pengembangan profesi ialah membuat karya ilmiah hasil penelitian. Sebaliknya, pada kegiatan seminar untuk kegiatan penunjang tugas WI, balai diklat dapat melibatkan balai litbang dalam melakukan sosialisasi hasil penelitiannya. Dengan demikian, akan terjadi sinkronisasi kelitbangan dan kediklatan.
Ketiga, dalam hal penguatan organisasi, perlu adanya pemikiran mengubah paradigma kepemimpinan, dari kepemimpinan berbasis struktural menuju kepemimpinan berbasis fungsional. Ada tiga alasan yang dikemukakan penulis. Pertama, alasan yuridis. Alasan yuridis di sini terdapat dua hal; (1) Sejalan dengan Permenpan No. 19 Tahun 2009 tentang Jabfung Widyaiswara dan Angka Kreditnya pasal 31 ayat 3 yang menyatakan bahwa, widyaiswara diberhentikan sementara, salah satunya karena ditugaskan secara penuh di luar jabatan widyaiswara. (2) Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamenpan dan RB) Eko Prasodjo dalam media online pernah mewacanakan menghapus jabatan eselon III dan IV dan akan merevitalisasi jabatan fungsional, meskipun hal itu masih akan diberlakukan pada tataran pusat.
http://www.menpan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65:pns-eselon-iii-v-akan-dihapus-&catid=35:liputan-media. Kedua, alasan logis. Lembaga diklat adalah lembaga pembentukan SDM, sementara sistem pengelolaannya lebih banyak menggunakan pola birokrasi murni, jauh dari nuansa akademik yang menjunjung tinggi
6
kebebasan berpikir dan berpendapat. Di sini banyak dianggap seolah-olah jabatan struktural itu sebuah jabatan sakral yang harus dipegang hingga purna tugas (pensiun), tidak ada batasan dalam menduduki sebuah jabatan tertentu, sehingga yang terjadi adalah makin mengguritanya kekuasaan birokrasi pada lembaga diklat. Inilah yang kemudian muncul ada kesan sakralisasi jabatan struktural yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya kesenjangan antara pejabat struktural dan fungsional. Ini berbeda dengan perguruan tinggi atau madrasah. Perubahan paradigma kepemimpinan dapat dilakukan dengan menempatkan lembaga diklat sebagaimana lembaga pendidikan lainnya. Seperti halnya perguruan tinggi, pasukan intinya adalah dosen, madrasah dan sekolah memiliki pasukan inti guru, maka lembaga diklat, pasukan intinya ialah widyaiswara yang merupakan jabatan fungsional. Artinya, widyaiswara sebagai pasukan inti pada Balai Diklat harus menjadi kendali utama, bukan secound class. Oleh karena itu ke depan perlu adanya pemikiran mengubah paradigma kepemimpinan. Dari kepemimpinan berbasis struktural, menuju kepemimpinan berbasis fungsional.
Upaya ini tentunya tidak harus dilakukan secara frontal. Paling tidak diawali dengan menjadikan kepala seksi diklat sebagai tugas tambahan dari jabatan fungsional dan mempertahankan Kepala Sub. Bag. TU pada jabatan struktural murni. Atau yang paling memungkinkan melalui pemberhentian sementara dari jabatan fungsional karena mendapat tugas di luar jabatan fungsional sebagaimana Permen. PAN No. 19/2009. Oleh Karena itu penulis sangat mengapresiasi dengan makin banyaknya jabatan struktural eselon IV dan III di lingkungan Balitbang dan Diklat yang dipegang oleh pejabat fungsional peneliti dan widyaiswara. Mudah-mudahan itu bukan semata-mata karena tidak ada kader lain yang terbaik kemudian menunjuk peneliti dan widyaiswara, tapi semata-mata dilandasi adanya semangat perubahan paradigma kepemimpinan tadi.
Terakhir, tidak dipungkiri jika kesejahteraan itu sedikit banyak berbandiung lurus dengan peningkatan kinerja, maka setelah melakukan dialog dengan pihak Dirjen Anggaran Kemenkeu RI pada saat Rakor di Batu awal Mei lalu, hal yang paling memungkinkan dalam rangka mengembalikan „kepercayaan diri‟ tenaga kediklatan terutama widyaiwara ialah dengan meningkatkan tunjangan fungsional widyaiswara. Kita ingat, ketika para hakim yang sudah jelas dengan gaji dan penghasilan yang tidak kecil, mereka berjuang di depan para wakil rakyat untuk menuntut gaji dan tunjangan agar
7
dinaikkan. Pertanyaanya, siapa yang memperjuangkan para widyaiswara, gurunya guru yang pada kenyataannya dengan tunjangan profesi yang diperoleh, mereka lebih „gagah‟ dari widyaiswara?. Tentunya kita tidak menginginkan jika para WI harus „ngelurug‟ ke gedung DPR, menuntut agar tunjangan dinaikkan. Tinggal bagaimanan upaya dari para pengambil kebijakan dalam menyikapinya.
Penutup
Mengembalikan „ruh‟ institusi ini agar menjadi primadona kembali adalah sebuah keniscayaan. Bagaimanapun keadaannya, lembaga diklat ini harus bangkit. Masih ada secercah harapan untuk memperbaiki, menyambung „elemen-elemen‟ kediklatan yang telah putus. Masih ada waktu mengurai benang-benang kusut menjadi pintalan-pentalan indah berupa diklat berbasis mutu. Tentunya hal itu perlu adanya satu komitmen kebersamaan, pemikiran yang jernih dalam memahami persoalan secara menyeluruh sehingga lembaga diklat kembali menunjukkan jati dirinya sebagai „agent of change‟. Semoga.
Daftar Bacaan
Permenpan No. 19 Tahun 2009 tentang Jabfung Widyaiswara dan Angka Kreditnya
PMA No. 4 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Diklat Teknis di Lingkungan Kemenag
http://www.menpan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65:pns-eselon-iii-v-akan-dihapus-&catid=35:liputan-media.
* Sholehuddin, S.Ag, M.Pd.I, adalah Widyaiswara Madya Balai Diklat Keagamaan Surabaya.
http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/Mengembalikanruhlembagadiklat.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar