Kamis, 16 Januari 2014

Spiritualitas : Anatara Kesehatan dan Gangguan Mental

Spiritualitas : Anatara Kesehatan dan Gangguan Mental

(Penunjang Mata Diklat Pembinaan Mental PKn MTs)
Oleh : Drs.Darmani, MA
Widyaiswara Madya Balai Diklat Keagamaan Surabaya
Abstraksi
Literatur di bidang kesehatan telah mendokumentasikan berbagai penelitian yang menunjukkan pengaruh positif spritualitas terhadap kesehatan mental, baik kesehatan fifik maupun kesehatan mental. Matthews & Larson (1995) telah mengumpulkan sebanyak 212 penelitian yang menguji efek dari komitmen religious terhadap hasil perawatan kesehatan. 75% dari penelitian-penelitian itu menunjukkan adanya pengaruh yang positif agama terhadap kesehatan, 17% menunjukkan efek campuran atau tanpa efek dan 7% menunjukkan efek negatif. Koenig (1997) mengumpulkan beberapa penelitian yang membuktikan bahwa orang yang mempunyai agama kuat, akan memiliki tekanan darah yang rendah, sedikit mengalami stroke, tingkat kematian yang rendah karena serangan jantung dan dapat tahan hidup lebih lama secara umum, serta sedikit penggunaan pelayanan medis.Senada dangan hal itu, penelitian yang dilakukan Haber, Jacob, dan Spangler (2007) menemukan tujuh factor pengaruh spritualitas kepada well-being, diantaranya yaitu seperti v atau hubungan dengan Tuhan dapat menumbuhkan pemahaman kepada kehidupan, memenuhi perasaan puas akan kehidupan, memberikan kenyamanan disaat mengalami kesulitan hidup, dan membentuk pribadi yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Moreira-Almeida, Neto & Koenig (2006) menemukan bahwa sebagian besar penelitian yang di dalamnya menyangkut tentang keterlibatan agama positif terkait dengan indicator kesejahteraan seperti kepuasaan hidup, kebahagiaan, efek positif sedikitnya depresi, pikiran untuk bunuh diri dan perilaku penyalahgunaan obat dan alcohol.Bahwa semakin lama hidup manusia sangat cepat, glabalisasi dunia yang luar biasa, pasar bebas dan terbuka yang terus menghiasi dunia menunjukkan bahwa hidup manusia semakin rumitdan komplek.Untuk menghadapi ini perlu kesiapan baik fisik, mental dan spiritual yang tangguh, kalau tidak jelas tekanan jiwa, stress, gangguan jiwa, dan bahkan sakit jiwa itu sangat dimungkinkan bisa mengidap siapapun.Terlebih kebutuhan hidup yang terus menerus merangkak naik, apabila manusia tidak mampu memanagement dirinya dengan baik jelas akan mengakibatkan masalah dalam hidupnya.
Kata Kunci : Spiritualitas, kesehatan dan gangguan mental
2
A. PENDAHULUAN
Dalam perkembangan manusia dewasa ini ada kecenderungan, bahwa semakin lama hidup manusia sangat cepat, glabalisasi dunia yang luar biasa, pasar bebas dan terbuka yang terus menghiasi dunia menunjukkan bahwa hidup manusia semakin rumitdan komplek.Untuk menghadapi ini perlu kesiapan baik fisik, mental dan spiritual yang tangguh, kalau tidak jelas tekanan jiwa, stress, gangguan jiwa, dan bahkan sakit jiwa itu sangat dimungkinkan bisa mengidap siapapun.Terlebih kebutuhan hidup yang terus menerus merangkak naik, apabila manusia tidak mampu memanagement dirinya dengan baik jelas akan mengakibatkan masalah dalam hidupnya.
B. PENGERTIAN MENTAL
Pengertian Mental .Webster Dictionary , “way of thingking”,berkenaandengan pikiran/gangguan saraf kejiwaan.Kamus Purwadarminta, mental merupakan “ Way of sense”Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa mental merupakan cara berfikir dan berperasaan berdasarkan atas nurani yang tercermin pada perilaku seseorang.
C. PENGERTIAN KESEHATAN MENTAL
Dr Zakiyah Darajad ( 1966 )memberikan beberapa pengertian sebagai berikut :
1. Terhindarnya seseorang dari gejala gejala gangguan jiwa (neuroses) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychoses)
2. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain, masyarakat serta lingkungan dimana ia hidup.
Sebagian besar literature ilmiah yang terkait dengan spritualitas memberikan perhatian yang lebih banyak kepada kaitan antara spriatulitas dengan kesehatan mental, sedangkan kaitan spritualitas dengan gangguan mental lebih sedikit dibicarakan. Padahal ketiga hal ini, yaitu spritualitas, kesehatan dan gangguan mental mempunyai kaitan yang sangat erat. Paper ini mencoba untuk melihat kedua sisi spritualitas ini dalam perspektif yang seimbang.
D. SPIRITUALITAS DAN KESEHATAN MENTAL
Literatur di bidang kesehatan telah mendokumentasikan berbagai penelitian yang menunjukkan pengaruh positif spritualitas terhadap kesehatan
3
mental, baik kesehatan fifik maupun kesehatan mental. Matthews & Larson (1995) telah mengumpulkan sebanyak 212 penelitian yang menguji efek dari komitmen religious terhadap hasil perawatan kesehatan. 75% dari penelitian-penelitian itu menunjukkan adanya pengaruh yang positif agama terhadap kesehatan, 17% menunjukkan efek campuran atau tanpa efek dan 7% menunjukkan efek negatif. Koenig (1997) mengumpulkan beberapa penelitian yang membuktikan bahwa orang yang mempunyai agama kuat, akan memiliki tekanan darah yang rendah, sedikit mengalami stroke, tingkat kematian yang rendah karena serangan jantung dan dapat tahan hidup lebih lama secara umum, serta sedikit penggunaan pelayanan medis.
Salah satu topic yang banyak dikaji adalah efektivitas do’a. Hobert Ben son (2000) adalah salah seorang pelopor penelitian di bagian ini. Selama 25 tahun dia meneliti tentang manfaan interaksi mental dan badan di Harvard Medical School. Disimpulkan bahwa ketika seseorang terlibat secara mendalam dengan do’a yang diulang-ulang (repetitive player), ternyata akan membawa berbagai perubahan fisiologis. Antara lain berkurangnya kecepatan detak jantung, menurunnya kecepatan nafas, menurunnya tekanan darah, melambatnya gelombang otak dan pengurangan menyeluruh kecepatan metabolisme. Kondisi ini disebut oleh Benson (2000) disebut sabagai respon relaksasi (relaxation response).
Di bidang kesehatan mental Powers, Cramer, dan Grubka (2007) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa spritualitas adalah salah satu sikap yang dapat mengurangi manifestasi hasil efektif negatif akibat stress dan memunculkan afeksi positif sebagai kebalikannya. Kemunculan afeksi negatif adalah salah satu penyebab terjadinya stress dan depresi pada seseorang. Ketika individu terlalu sering mengalami efek negatif, maka kesempatan untuk mengalami stress dan depresi akan terbuka lebih besar daripada mereka yang jarang mengalaminya. Demikian pula sebaliknya, ketika individu selalu dipenuhi dengan efek positif, maka dia lebih dekat kepada kebahagiaan. Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para jama’ah dzikir Sholawat A’dzom memiliki afeksi positif lebih banyak daripada efek negatif mereka. Seperti yang diungkapkan Daaleman dan Frey (2004), Bahwa spritualitas mempunyai korelasi positif terhadap efek negatif dan
4
depresi (negatif). Begitu juga dengan penelitian yang menyebutkan bahwa agama selain sebagai suatu keyakinan, juga dapat berfungsi sebagai pencegah munculnya efek negatif sebagai terapeutik pada kesehatan mental (Levin dan Chatters dalam Cohen, 2002).
Senada dangan hal itu, penelitian yang dilakukan Haber, Jacob, dan Spangler (2007) menemukan tujuh factor pengaruh spritualitas kepada well-being, diantaranya yaitu seperti v atau hubungan dengan Tuhan dapat menumbuhkan pemahaman kepada kehidupan, memenuhi perasaan puas akan kehidupan, memberikan kenyamanan disaat mengalami kesulitan hidup, dan membentuk pribadi yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Moreira-Almeida, Neto & Koenig (2006) menemukan bahwa sebagian besar penelitian yang di dalamnya menyangkut tentang keterlibatan agama positif terkait dengan indicator kesejahteraan seperti kepuasaan hidup, kebahagiaan, efek positif sedikitnya depresi, pikiran untuk bunuh diri dan perilaku penyalahgunaan obat dan alcohol.
Bukti-bukti ilmiah tentang pengaruh agama umumnya dan do’a pada khususnya ternyata juga berpengaruh pada sebagian besar masyarakat pengguna jasa. Menurut majalah Time (1996) 82% pasien percaya kekuatan do’a untuk menyembuhkan; 77% percaya Tuhan dapat mengintervensi untuk menyembuhkan orang-orang yang mempunyai penyakit serius; 73% percaya bahwa doa dapat membantu orang lain mendapatkan kesembuhan dari penyakitnya. Kondisi tersebut selanjutnya menumbuhkan keinginan pasien untuk mendapatkan do’a khusunya dan pelayanan spiritual pada umumnya. Survei dari National Institute for Health Care Research di Amerika (1997) menunjukkan bahwa 70% dari populasi yang diteliti menginginkan kebutuhan spiritual mereka dilayani sebagai bagian dari pelayanan medis. Survey lain menunjukkan bahwa 91% dokter melaporkan bahwa pasien mereka mencari bantuan spiritual dan kerohanian untuk membantu menyembuhkan penyakit.
Bukti-bukti ilmiah di atas ternyata memegang peranan sangat penting dalam perkembangan spiritualitas masyarakat modern. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat modern yang sudah sangat maju sains dan teknologinya itu
5
membutuhkan penjelasan yang rasional tentang peranan kehidupan spiritualitas bagi seseorang.
E. SPIRITUALITAS DAN GANGGUAN MENTAL
Kaitan antara spiritualitas dan gangguan mental sebenarnya bukan merupakan isu baru dalam literature psikologi maupun literature agama. Dalam kitab suci berbagai agama, orang-orang yang memiliki spiritualitas tinggi sering disebut sebagai orang yang mengalami gangguan mental oleh kaumnya. Dalam Al Quran banyak ayat yang menyebutkan bahwa para Nabi dan Rosul dikatakan sebagai orang gila. Al Quran memberikan informasi sebagai berikut :
Demikian tidak seorang Rosulpun yang dating kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan :”Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila. “Adz Dzaariyaat (51) : 52.
Mulai dari Nabi Nuh, dikatakan kaumnya sebagai orang gila:
Sebelum mereka, telah mendustakan (pula) kamu Nuh, maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan : “Dia seorang gila dan dia sudah pernah diberi ancaman). (Al Qamar (54) : 9.
Demikian juga Nabi Hud
Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Hud menjawab: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, (Huud (11) : 54.
Nabi Musa juga mendapatkan perlakuan yang sama
Fir’aun berkata :”Sesungguhnya Rosulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-banar orang gila.” (Asy Syu’araa’ (26) : 27.
Maka dia (Fir’aun) berpaling (dari iman) bersama tentaranya dan berkata : ”Dia adalah tukang sihir atau orang gila.” (Adz dzariat (51) : 39.
Sampai kepada Nabi Muhammad SAW hal yang sama juga terjadi
Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hamper menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al Quran dan mereka berkata :” Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila”. (Al Qalam (68) : 51.
6
Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu.” (Al Mu’minuun (23) : 25.
Kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata : “Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagipula seorang yang gila” (Ad Dukhaan (44) : 14.
Dan mereka berkata : “ Apakah sesungguhnya kami harus meningalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila “. (Ash Shaaffaat (37) : 36.
Anggapan orang-orang kafir yang menyatakan bahwa para Nabi dan Rosul sebagai orang gila, atau orang yang mengalami ganggujan mental, sebenarnya bukan tanpa alasan. Berdasarkan pengamatan orang awam maupun kajian ilmiah secara mendalam memang menunjukkan adanya berbagai kemiripan antara pengalaman-pengalaman spiritualitas dan pengalaman orang yang menderita gangguan mental.
Buku yang berjudul Psychosis and Sprituality yang diedit oleh Isabel Clarke (2003) merupakan literature mutakhir yang menyajikan berbagai artikel yang membahas tentang spiritualitas dan gangguan mental. Secara umum kemiripan fenomena spiritualitas dan gangguan mental mencakup beberapa aspek, yang menyangkut aspek persepsi, aspek keyakinan, aspek perilaku sosial, bahkan sampai sapek neuro-fisiologis.
1) Kemiripan Aspek persepsi terhadap realitas
Pada orang-orang yang memiliki spiritualitas tinggi seringkali ditemukan fenomena bahwa mereka memiliki persepsi realitas yang berbeda dengan orang normal pada umumnya. Mereka menyatakan telah melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, baik yang diidentifikasi sebagai roh, jin, makhluk halus atau malaikat. Tidak jarang pula tokoh-tokoh spiritual menceritakan bahwa mereka memasuki alam lain yang berbeda dengan alam dunia. Seringkali juga dalam berbagai pengalaman spiritual seseorang dapat melihat dengan mata batin, sehingga mereka bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan hati orang lain (lihat Subandi, 2009). Penglihatan-penglihatan tersebut diidentifikasi sebagai spiritual vision. Selain itu tokoh-tokoh spiritual maupun orang-orang yang sedang melaksanakan disiplin spiritual juga sering melaporkan bahwa mereka dapat mendengar suara yang tidak bisa didengar oleh orang normal pada umumnya.
7
Misalnya, ketika sholat malam dan selesai membaca surat Al Fatikah, tiba-tiba terdengar suara banyak orang yang mengamini, padahal waktu itu dia sedang sholat sendirian. Banyak diantara tokoh spiritual yang mendapatkan petunjuk lewat bisikan-bisikan untuk memberikan untuk menyelesaikan suatu maslah atau member peringatan.
Pada orang yang mengalami gangguan mental kedua bentuk persepsi ini sangat jelas terlihat, terutama pada gangguan mental yang tergolong dalam kategori psikosis atau skizofrenia. Jika seseorang mengatakan melihat sesuatu atau makhluk yang tidak dilihat oleh orang lain, maka dalam perspektif psikiatris hal ini bisa dikategorikan sebagai gejala halusinasi penglihatan (visual hallucination) yang dimasukkan sebagai salah satu bentuk gangguan persepsi dan didefinisikan sebagai persepsi yang tidak ada obyek yang konkrit (Soewadi, 1999). Banyak dilaporkan oleh penderitya skizophrenia bahwa mereka melihat makhluk halus, roh atau jin. Selain itu mereka juga banyak mengalami auditory hallucination, dimana mereka mendengar berbagai suara yang tidak ada bentuk asalnya. Suara tersebut dapat berupa orang yang sedang membicarakan dirinya, atau memberi perintah seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.
2) Kemiripan aspek keyakinan
Sebagian besar orang yang memiliki berbagai pengalaman spiritualitas merasa mengemban misi tertentu dalam segala aktivitasnya. Pada level kenabian, beliau membawa misi untuk menyampaikan kebenaran dari Tuhan dan untuk menyelamatkan manusia. Para Nabi secara eksplisit bahkan menyampaikan bahwa beliau adalah utusan Tuhan. Demikian juga Nabi Muhammad SAW secara khusus menyampaikan misi untuk menyampaikan wahyu berupa kitab suci Al Quran dan membawa serta menyebarkan agama Islam. Dalam segala hal tokoh-tokoh spiritual juga sering mengatakan bahwa semua yang mereka lakukan adalah atas kehendak dan kendali atau kontrol dari tuhan.
Yang menarik, orang-orang yang mengalami gangguan skizophrenia banyak yang menyatakan hal yang sama. Diantara mereka ada yang menyatakan hal yang sama. Diantara mereka ada yang merasa bahwa dirinya adalah seorang raja atau ratu yang diutus Tuhan untuk membawa keadilan dan kemakmuran (Isvandiari, 2007), ada yang mengaku juga sebagai seorang Nabi yang diutus Tuhan kepada
8
manusia. Mereka punya keyakinan bahwa mereka mempunyai kekuatan supra natural. Sebagian mereka mengatakan bertemu dengan Tuhan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa dirinya adalah tuhan itu sendiri. Keyakinan seperti itu secara psikiatris diidentifikasi sebagai sebuah delusi atau waham kebesaran (delusion of grandeour). Seperti halnya orang-orang yang memiliki spiritualitas tinggi menyakini bahwa ada kekuatan ketuhanan yang mempengaruhi perilaku mereka, sebagian orang psikotik juga merasakan ada kekuatan lain yang mengendalikan dirinya (delusion of control)
3) Kemiripan perilaku
Kemiripan spiritualitas dan psikosis juga tampak pada aspek perilaku. Misalnya perilaku menyendiri. Para ahli spiritual, bahkan para Nabi sendiri memiliki pengalaman mengasingkan diri dari keramaian dunia. Nabi Musa mengasingkan diri dibukit tursina sebelum menerima sepuluh perintah tuhan (the ten commandments), sedang Nabi Muhammad menyendiri di gua hira (tahannus) ketika wahyu pertama turun. Demikian juga praktik bertapa, menyendiri, uslah merupakan kegiatan ritual dalam mengembangkan spiritualitas. Pada penderita psikotik dan skizophrenia pada umumnya perilaku menarik diri, menyendiri merupakan awal darimunculnya gejal penyakit tersebut. Mereka pada umumnya tengelam dalam dunia imajinasinya sendiri.
4) Kemiripan aspek psiko neurologis
Pengetahuan modern juga mengidentifikasi sejumlah kemiripan antara spiritualitas dan gangguan mental. William james (1902) salah seorang pendiri tokoh psikologi modern di amerika juga telah mengidentifikasi kemiripan perilaku para tokoh misterius dan orang yang mengalami gangguan mental. Dia berpendapat bahwa kedua fenomena tersebut memiliki mekanisme psikologis yang sama. Dia mengatakan bahwa keduanya “… spring from the same mental state” (James, 1902, h. 462). Kajian neutrologis juga mendukung pendapat tersebut. Dalam artikelnya Fenwick (2003) menyajikan berbagai penelitian yang melihat hubungan aspek neurologis antara pengalaman religious dan pengalaman mistik dengan pengalaman gangguan mental baik psikotik maupun epilepsy. Disimpulkan bahwa ada “…a link between psychosis and temporal lobe finction
9
and between temporal lobe function and mystical experience).” Jadi fungsi lobus temporalis di otak ternyata terkait dengan munculnya pengalaman religious maupun pengalaman psikotik.
Salah satu pengaruh adanya kemripan antara spiritualitas dengan gangguan mental adalah adanya tumpang tindih pemahaman kedua fenomena tersebut. Misalnya adanya kecenderungan patologisasi (pathologising) dalam memahami spiritualitas. Inilah yan terjadi pada orang-orang yang tidak percaya pada Nabi. Para Nabi dan Rosul kemudian dianggap sebagai orang yang mengalami gangguan mental dalam literature ilmiah banyak juga para ahli yang beranggapan seperti itu. Misalnya dalam beberapa hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad menerima wahyu beliau mendengar suara lonceng atau melihat Malaikat Jbril kemudian beliau merasakan beban sangat berat sampai keluar keringat. Gejala ini ada yang menyamakan dengan apa yang di alami oleh penderita epilepsy, yaitu diawali adanya halusinasi dengar atau halusinasi pengelihatan dan di ikuti dengan kejang otot dan kehilangan kesadaran. Melihat kesamaan ini maka ada yang menyimpulkan bahwa Muhammad bukan Nabi tapi penderita epilepsy (Sina, 2011). Contoh yang lain adalah dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, yaitu ketika Nabi Muhammad melakukan perjalanan dari Mekkah ke Masjidil Aqsa, kemudian naik ke langit dan berjumpa langsung dengan Alloh swt. Peristiwa ini bagi orang-orang yang beriman dipercaya sebagai sebuah mukjizat sebagai tanda kebesaran Alloh. Namun peristiwa ini juga dilihat dalam perspektif patologisasi, yaitu adanya halusinasi yang muncul sebagai akibat dari adanya gangguan depresi. Hal ini dikaitkan dengan kondisi Nabi Muhammad sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi, yaitu kamtian paman Nabi, Abdul Mutholib yang melindungi dakwah beliau, yang kemudian diikuti kematian istri beliau, Khadijah, yang selalu memberikan dukungan dakwah beliau. Dalam keadaan seperti itu beliau mengalami kesedihan. Dalam kacamata patologis yang sangat intensif karena kematian dua orang dekat tersebut dapat mengakibatkan munculnya depresi. Selanjutnya depresi yang sangat kuat diikuti dengan gejala psokotik, berupa halusinasi. Jadi Isra’ Mi’raj itu adalah halusinasi. Logika patologisasi ini banyak sigunakan oleh orang-orang yang tidak percaya (beriman).
10
Ciri patologisasi inilah yang digunakan oleh Sigmund freud dalam memandang fenomena keagamaan (lihat Wulf, 1991). Dalam beberapa tulisannya, Freud menyatakan bahwa agama adalah sebuah neurosa universal. Orang Bergama pada umumnya membatasi perilakunya sesuai dengan tuntutan agama. Mereka tidak bisa berbuat bebas sekehendak dirinya sendiri. Dia merasa takut melanggar aturan agama karena merasa perilakunya selalu diawasi dan dicatat untuk nanti dipertanggungjawabkan di akhirat. Cirri ini mirip dengan perilaku orang yang mengalami gangguan neurotic yaitu adanya ketakutan dan kecemasan. Mereka tidak berani melakukan oksplorasi dunia secara bebas karena benyak kekhawatir-kekhawatiran. Orang yang neurotic juga banyak mengalami rasa bersalah. Ada diantaranya yang terobsesi denan pikiran tertentu sehingga melakukan perilaku kompulsip berulang-ulang. Misalnya, karena orang neurotic takut ditangannya ada bakteri yang membahayakan tubuhnya, maka dia akan mencuci tangannya berulang-ulang. Bagi Sigmund Freud, perilaku ini mirip dengan perilaku orang yang beragama (islam) yang sehari semalam melakuka ritual sholat dan sebelum itu mereka harus mencuci bagian tubuh tertentu (berwudhu). Akhirnya, pandangan patologisasi Freud terhadap fenomena agama dan spiritualitas tampak jelas dalam pandangannya tentang tuhan bagi Freud, Tuhan pada dasarnya adalah gambaran ciptaan manusia sebagai pengganti figure Ayah. Sewaktu kecil, manusia selalu mndapatkan perlindungan dan bimbingan dari orang tuanya. Namun ketika manusia sudah dewasa dia kehilangan figure tersebut, sehinga ketika manusia menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan dia membutuhkan sosok yang mempunyai kekuatan yang siap menolong dan selalu membantu ketika mengalami kesulitan. Figure itulah yang ada pada Tuhan.
F. FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MENTAL SEHAT.
1. Faktor Internal ,yang berasal dari dalam misalnya pemarah,dsb.
2. Faktor keturunan, yang cenderung memegang peran terhadap mental seseorang.
3. Eksternal; Yang dimaksud Ekternal,adalah factor factor dari luar yang dapat mempengaruhi mental seseorang.
11
Contoh: pendidikan,status social, hukum,budaya dan sistem pemerintahan..Lingkungan masyarakat,pekerjaan, dll
 Cary ciri Mental Sehat.
Menurut pakar agama orang yang bermental sehat adalah yang mempunyai ciri ciri sebagai berikut:
1. Jujur.
2. Terpercaya,dalam bersikap, berbicara,maupun dalam berbuat .
3. Adil,bisa memecahkan persoalan secara proporsional.
4. Konsisten,(istiqomah) taat asas dan berprinsip. Dan dapat bekerjasama.
 Selain ciri ciri yang tersebut diatas
a. Ada beberapa ciri mental sehat yang merupakan cerminan dari sifat sifat budi luhur,yaitu :
1. Beriman dan bertaqwa.
2. Bertanggungjawab.
3. Berfikir positif,
4. Bersikap hormat & santun.
5. Dewasa.
6. Disiplin.
7. Menghargai waktu.
b. Mental Masyarakat Moderen.
1. Memiliki sifat yang terbuka .
2. Selalu siap berusaha.
3. Menghargai perbedaan pendapat.
4 Memperkaya diri dengan informasi dan pengetahuan.
5. Menghargai orang lain.
6. Mampu mengembangkan sikap percaya diri.
7. Memanfaatkan waktu secara tepat.
8. Memahami pentingnya pendidikan.
9. Demokratis dalam berkarya.
12
c. Cara cara mengatasi Gangguan Mental :
Beberapa cara yang bisa mengatasi mengatasi gangguan mental.
1. Berusaha memahami hakekat manusia.
2. Konsultasi dengan orang yang dianggap mampu menyelesaikan masalah.
3. Curhat kepada orang bisa dipercaya.
4. Berfikir positif.
5. Realistis.
6. Berusaha untuk menyesuaikan diri secara positif.
7. Rekreasi dan olahraga ringan.
8. Relaksasi.
9. Berdoa
G. KEMIRIPAN BUKAN KESAMAAN
Logika patologisasi sebenarnya bisa dibantah dengan argument yang cukup kuat, karena jika ada dua fenomena yang banyak kemiripan, tidak menjamin bahwa kedua hal tersebut sama. Dengan kemjuan teknologi, manusia mampu menciptakan berbagai tumbuhan,bunga, buah dari plastik yang sangat mirip dengan aslinya. Namun bunga mawar plastik tentu saja tidak sama sengan bunga mawar yang asli. Apel plastik tentu saja tidak akan bisa dimakan meskipun bentunya dengan apel plastic tidak bisa dibedakan. Demikian juga antara spiritual dan ganguan mental. Meskipun beberapa hal tampak banyak kemiripan hakekatnya sangat beda.
Al Quran sebenarnya telah membantah dengan keras bahwa para Nabi dan Rosul itu mengalami gangguan mental seperti terlihat pada beberapa ayat di bawah ini :
Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. (Al Qalam (68): 2.dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. (At Takwiir (81): 22.Maka tetaplah member peringatan, dan kamu disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula seorang gila. (Ath Thuur (52): 29.
Katakanlah sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu mengahadap Alloh (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-
13
sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada temanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” (Saba’ (34): 46.
Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan bagi pemberi penjelasan. (Al A’raaf (7): 184.
Selain bantahan al Qur’an tersebut di atas, banyak argumentasi ilmiah yang menolak pendapat yang menyamakan antara fenomena agama dan spiritualitas dengan gangguan mental. William James (1902) sendiri ketika mengkaji masalah mistisisme memang melihat adanya kemiripan antara keduanya, sehingga dia berpendapat bahwa keduanya berasal dari psikologis mekanisme yang sama. Namun Willian James juga membedakan keduanya. Menurut pengamatannya, mistisisme dan spiritualitas yang otentik merupakan manifestasi dari healthymindedness, sementara gangguan mental merupakantanda dari the sick soul. Kepribadian orang yang memiliki spiritualitas pada umumnya didukung oleh cirri-ciri kesehatan mental. Mereka memiliki pandangan yang teguh, mempunyai hubungan sosial yang baik, cara berpikir mereka jernih, dan moralitas yang tinggi. Sementara pada orang yang mengalami gangguan mental jelas terlihat adanya berbaga gangguan lain. Misalnya adanya gangguan piker (bentuk piker, isi piker, dan arus piker), gangguan pernilaian realitas, atau gangguan kesadaran (Soewadi, 1999). Perbedaan lain yang sangat menonjol antara spiritualitas dan gangguan mental adalah pada efek dari fenimena tersebut. Spiritualitas pada umumnya memilki dampak positif (konstruktif) pada diri individu maupun pada orang di sektarnya. Misalnya, para Nabi selain menunjukkan pribadi yang mempunyai moralitas tinggi juga dapat membawa perubahan yang sangat besar pada masyarakat di sekitarnya bahkan pada peradapan manusia. Bagaimana mungkin peradapan Islam yang luar biasa yang berkembang pada abad pertengahan dikembangkan berdasarkan ajaran seorang gila? Sementara itu gangguan mental senantiasa membawa pengaruh negatif pada individu yang bersangkutan. Dia menjadi tidak peduli dengan perawatan dirinya, bahkan sampai tidak berpakaian di jalan.
14
Perbedaan mencolok juga terlihat pada isi halusinasi. Pada orang spiritual spiritual vision yang mereka alami pada umumnya bersifat positif atau berdampak poditif bagi mereka. Misalnya mereka melihat bagaimana kenikmatan yang diperoleh oleh orang baik yang dan bagaimana orang yang berbuat jahat. Demikian juga suara halusinasi yang di dengar orang spiritual pada umumnya berupa petunjuk. Sebaliknya halusinasi visual maupun auditorik orang yang mengalami gangguan mental bersifat atau berdampak negatif. Tidak jarang orang yang mengalami gangguan mental membunuh keluarganya sendiri karena pasien melihat yang dibunuh itu adalah seekor harimau. Tidak jarang pula dalam halusinasi suara yang didengar pasien gangguan mental adalah memerintahkan supaya mencelakakan orang ain bahkan membunuh dirinya sendiri.
Dampak pengalaman spiritual dan gangguan mental pada keluarga juga masyerakat berbeda. Keluarga orang skizophrenia pada umumnya merasakan beban yang sangat besar, baik secara beban psikologis (stress, depresi), beban sosial (stigmatiasai) mampu secara beban financial yang menguras keuangan keluarga untuk pengobatan. Sementara itu efek spiritualitas senantiasa menimbulkan ketenangan dan kedamaian, dan keteraturan dalam masyarakat.
PENUTUP
Kajian di atas menunjukkan bahwa spiritualitas yang merupakan fenomena yang di jumpai di berbagai budaya dan dalam berbagai masa, seringkali disamakan secara sembarangan dengan fenomena gangguan mental. Namun dengan mencermati secara detail perilaku antara kedua orang tersebut, sebenarnya dapat dibedaan secara jelas apakah ketika seseorang mendengarkan suara yang tidak ada wujudnya itu merupakan suatu fenomena spiritual vision ataukah halusinasi yang patologis. Lebih dalam lagi produk dari kedua hal tersebut amatlah berbeda. Yang satu konstruktif yang lain destruktif. Namun demikian memang ada beberapa fenomena yang bersifat abu-abu. Misalnya, para ahli psikologi transpersonal telah lama mengidentifikasi munculnya gejala psikotik yang ditemukan pada beberapa orang yang melaksanakan suatu tradisi spiritual yang disebut dengan spiritual emergency atau Kundalini Awakening (Lukoff, 1998). Peristiwa ini muncul terutama ketika seseorang melakukan spiritual secara
15
intensif, sehingga muncul berbagai pengalaman spiritual yang dramatis, sedangkan orang tersebut belum mempunyai kesiapan yang matang. Fenomena ini mirip dengan apa yang dikemukakan dalam penalitian Subandi (2009) yang disebut sebagai masa transisi. Di sini antara spiritualitas memang tercampur dengan gangguan mental. Namun pada umumnya fenomena ini bersifat sementara.
Dalam artikel di the journal of transpersonal psychology , David Lukoff (1985) mengajukan suatu kategori diagnostik yang diberi judul Mystical Experience with Psychotic Features (MEPF) untuk mengambarkan pengalaman spiritual yang intensif yang disertai dengan episode mirip psikotik. Usulan ini selanjutnya di akomodasi menjadi kategori diagnostic yang diberi nama “religious or Statistical problem” (Code V62.89) in the DSM IV (Diagnostic and Statistical manual – Fourth Edition) yang di terbitkan oleh American Psychaiatric Association (APA, 1994). Apakah fenomena ini menggambarkan patologisasi atau awal dari pengalaman spiritual yang otentik?
16
DAFTAR PUSTAKA
Amarican apsychiatric Association. (1994). Diagnosticand statistical manual, fourth edition. Washington, D.C.: Amarican apsychiatric Association.
Clark, I. (2003). Psychosis and spirituality. London: Whurr Publisher.
Cohen, A.B. 2002. The Importance of Spirituality In Well-Being For Jews And Cheristians. Journal of Happines Studies 3: 287-310, 2002.
Haber, J., Jacob, T., and Spangler. (2007). Dimensions of Religion/ Spiritualy and Relevence to Health Research. The International Journal for the Psychology of Religion. 17 (4) 265-288.
Isvandiary. (2004). Ratu Adil, Memoar seorang Skizopren< Yogyakarta: Tinta
James, W. (1902), The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature, Lomdon & Bombay: Longmans, Green, and Co
Koenig, H (2008) Religion, Spiritualty and Public Health; Research, Applications, and Recommendations. Subcommittee on Research and Science Education of the U.S. House of Representatives.
Koening, H (2008) Research on Religion, spirituality, and mental health: A review. The Canadian Journal of Psydhiatry. 54 (5) 283-291.
Lukoff, D. (1985). The diagnosis of mystical experiences with psychotic features. Journal of Transpersonal psychology, 17 (2), 155-181.
Lukoff, D. (1998) From Spiritual Emergemcy to Spiritual Problem: The Transpersonal Roots of the New DSM-IV Category. Journal of Humanistic Psycology, 38 (2), 21-50, 1998.
Moreira-Almeida, A., Neto, F.L., Koenig, H.G. (2006). Religiousness and mental health: a review. Rev Bras Psiquiatr, 28, 242-250.
17
Powers, D.V., Cramer, R. J., dan Grubka, J.M. 2007. Spirituality, life stress, and affective well-being. Journal of Psychology and Theology, 35 (3), 235-243.
Sina, A. (2011) Muhammad and Temporal Lobe Epilepsy (TLE). http://www/faithfreedom.org/Articles/sina41204.htm. Diakses 5 Desember 2011.
Soewadi. (1999). Simtomatologi dalam Psikiatri. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran UGM.
Subandi, M.A. (2009) Psikologi Dzikir: Studi Fenomenologi Pengalamanan Religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wulff, D. M. (1991). Psychology of Relegion: Classic and Contemporary Vie. New York: John Wiley & Sons Inc.

http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/KTIPDarmani2.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar