Minggu, 19 Januari 2014

Peningkatan Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran Bagi Widyaiswara melalui Inservice Training di Balai Diklat

Peningkatan Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran
Bagi Widyaiswara melalui Inservice Training di Balai Diklat
Keagamaan Surabaya
tahun 2011
OLEH
Drs. Rudi Hariyono, M.Pd
ABSTRAK
Kata-kata kunci : Inservice training, Kompetensi pengelolaan pembelajaran,
Widyaiswara.
Telah dibuat laporan penelitian yang ditekankan pada Peningkatan kompetensi
pengelolaan pembelajaran bagi widyaiswara melalui inservice training di Balai Diklat
Keagamaan Surabaya.
Tujuan dalam penelitian ini untuk mencari adanya peningkatan kompetensi
pengelolaan pembelajaran bagi widyaiswara melalui inservice training di Balai Diklat
Surabaya dengan menekankan pembelajaran andragogi bagi widyaiswara.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan penelitian kualitatif
diskriptif yaitu dengan mengkumpulkan data/sumber melalui hasil penilaian peserta
sebelum dan sesudah dilaksanakan inservice training setelah itu diadakan verifikasi
sumber serta triangulasi sumber, hasil pembahasan dijelakan secara diskriptif naratif.
Hasil dari penelitian didapatkan adanya peningkatan yang signifikan kompetensi
pengelolaan pembelajaran bagi widyaiswara melalui inservice training di Balai Diklat
Keagamaan Surabaya yang dilakukan kepada delapan responden.
Widyaiswara sebagai pengemban utama dalam proses pembelajaran pada diklat
dituntut selalu mengembangkan potensi dirinya baik secara substantif maupun secara
metode, inservice training sebagai salah satu model dalam memberikan pelatian jabatan
kiranya dapat dijadikan sebagai cara untuk meningkatkan kompetensi dilngkungan
instansi kediklatan lebih khusus kompetensi widyaiswara.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dan pelatihan (diklat) yang dilakukan oleh instansi terkait dalam
kaitannya untuk meningkatkan sumber daya manusia sangat dibutuhkan apalagi
berkaitan dengan dunia pendidikan yang selalu mengalami perkembangan sejalan
dengan kemajuan budaya manusia. Departemen Agama melalui Badan Litbang dan
Diklat berusaha semaksimal mungkin meningkatkan kualitas pegawai baik melalui
beasiswa pendidikan, juga diklat-diklat dengan rotasinya diusahakan lebih
maksimal.
Disatu sisi keberadaan sumber daya manusia (SDM) khususnya tenaga
widyaiswara perlu terus ditingkatkan. oleh karena itu pemberdayaan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia harus lebih mendapat perhatian secara
komprehensif, terpadu dan berkesinambungan mengingat bagaimanapun majunya
ilmu pengetahuan dan tehnologi tanpa diimbangi dengan berperan aktifnya manusia
secara optimal akan mengakibatkan kemajuan tersebut menjadi salah arah dan tidak
memberi makna yang berarti bagi kehidupan ini.
Gaffar (1987) mengungkapkan bahwa usaha meningkatkan kualitas
pengajaran dapat dilakukan dengan cara; (1) pemberian kesempatan mengikuti
program inservice training atau pendidikan dan latian dalam jabatan, (2)
penyediaan program pembinaan yang teratur dan menciptakan forum akademi guru.
Pemberian inservice training merupakan salah satu jalan untuk
meningkatkan kompetensi widyaiswara dengan harapan lebih efisien dan efektif.
1.2 Identifikasi Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, dapat di identifikasikan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana meningkatan Kualitas pendidikan.
2. Program apa saja yang dapat meningkatkan kediklatan.
3. Program apa saja yang dapat digunakan untuk peningkatkan kompetensi widyaiswara.
1.3 Batasan Masalah
Sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dicapai, maka perlu batasanbatasan
masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Kompetensi : Meningkatkan mengelola pembelajaran dikelas terhadap
pelaksanaan diklat.
2. Pengelolaan Pembelajaran : pembelajaran andragogi
3. Widyaiswara : Mengampu dibidang teknis (pendidikan)
4. Insevice training : Berupa pelatihan PTK
1.4. Rumusan Masalah
Bertolak pada latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut :
Apakah pemberian inservice training dapat meningkatkan kompetensi pengelolaan
pembelajaran widyaiswara di balai diklat keagamaan Surabaya ?
1.5. Tujuan Penelitian.
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui apakah pemberian inservice training dapat meningkatkan
kompetensi pengelolaan pembelajaran widyaiswara di Balai Diklat keagamaan Surabaya.
1.5 Manfaat Penulisan
Penelitian ini dilakukan dengan harapan mendapatkan informasi dan temuan yang
lebih mendalam dan komperhensif tentunya, terutama yang berhubungan dengan
fenomena diatas. Tentu saja, temuan ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat bagi
seluruh subjek yang berkompeten dalam memajukan kualitas pelaksanaan diklat dikelas.
Temuan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :
1. PUSDIKLAT dan Balai-Balai Diklat Keagamaan di seluruh Indonesia dengan
harapan mendapat solusi atau cara untuk meningkatkan kualitas peserta diklat
yang nantinya bisa dijadikan sebagai pijakan penentuan pelaksanaan diklat
kedepan.
2. Widyaiswara dengan harapan mendapat informasi baru khususnya dalam hal
pembelajaran.
3. Peserta diklat / Guru dengan harapan dapat meningkatkan kualitas SDM yang
nantinya akan menciptakan proses belajar mengajar lebih baik dan lebih
sempurna dalam membangun pribadi siswa.
BAB II
LANDASAN TEORI
Keberhasilan organisasi manapun tergantung secara langsung pada bagaimana baiknya
para anggotanya dilatih. Pegawai yang baru diangkat maupun yang sudah lama mengabdi sangat
memerlukan pendidikan dan pelatian sebagai sarana untuk menghadapi segala tuntutan pekerjaan
baik dari segi kemajuan ilmu pengetahuan, perkembangan layanan masyarakat, juga sebagai
upaya untuk menaikkan aktualisasi diri sekaligus sebagai bahan dalam proses kenaikan jenjang
kepangkatan maupun karier.
Pendidikan dan pelatihan juga memberikan motivasi kepada pegawai untuk bekerja lebih
keras. Pegawai yang memiliki liku-liku pekerjaannya mungkin memiliki semangat kerja lebih
tinggi. Ia mampu melihat hubungan yang lebih erat antara usaha dan prestasi. Lagipula,
kenyataan bahwa pimpinan cukup percaya akan kemampuan para pegawai itu untuk mengadan
investasi dalam pendidikan dan pelatihan, meyakinkan mereka bahwa mereka pegawai berharga.
Pimpinan yang efektif menyadari bahwa pendidikan dan pelatihan adalah suatu proses
yang terus menerus, dan bukan suatu kegiatan sekali tembak. Masalah baru, alat dan prosedur
baru, pengetahuan baru dan pekerjaan baru selalu menciptakan kebutuhan akan pelajaran baru
bagi pegawai.
1. Pembelajaran
Belajar adalah kegiatan untuk mendapat pengalaman, baik dengan bimbingan atau
dengan usaha sendiri. Widyaiswara berusaha membantu agar peserta diklat lebih terarah,
cepat, lancar, dan berhasil baik. Atau istilah lain dengan pembelajarkan akan dapat
pengetahuan baru. Pembelajaran agar berhasil perlu dilaksanakan sistematis, secara bulat
dengan mempertimbangkan segala aspek.
Sebelum mengenal pembelajaran secara khusus perlu mengenal pembelajaran
secara umum. Pembelajaran di dalam pelatihan yang dilakukan oleh widyaiswara
selalu menggunakan pendekatan andragogi yaitu yaitu pembelajaran yang
diperuntukkan kepada orang dewasa dengan model fasilitator lebih dominan dibanding
paedagogi. Untuk diketahui pengertian model secara umum dalam kehidupan sehari –
hari merupakan suatu pola yang di contoh, baik dalam bentuk fisik suatu hasil kerja
atau suatu pola tertentu menghasilkan perilaku belajar yang baik. Model pembelajaran
merupakan penyederhanaan dari hubungan berbagai komponen yang ada dalam proses
belajar mengajar di dalam kelas. Komponen – komponen pembelajaran meliputi :
metode belajar, sarana dan prasarana, guru, siswa, kurikulum, alat evaluasi, dan
sebagainya. Menurut Zamroni, (1988:79), mengatakan model merupakan inti dari teori
dalam bentuk sederhana , sehingga mudah dibaca dan dipahami. Sedangkan menurut
Winardi (1986:53-55), mengatakan ada tiga cara untuk menyatakan model, yaitu : (1)
secara verbal menerangkan dengan kata – kata, (2) secara grafis yaitu menerangkan
dengan menyajikan diagram, dan (3) secara matematis pada ilmu pasti.
Ada beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses
belajar mengajar yaitu :
a. Prinsip Bimbingan
Bimbingan dapat diartikan suatu proses bantuan atau tuntutan terhadap individu
melalui usahanya sendiri untuk menemukan dan mengembangkan kemampuannya
agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial. Layanan pengajaran
merupakan bantuan kepada siswa dalam mengatasi kesulitan – kesulitan dalam
kegiatan pengajaran sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuannya secara
optimal.
b.Prinsip Pengayaan
Pengayaan dalam pembelajaran dimaksudkan dengan adanya pengayaan pada
kurikulum diklat dengan pengembangan-pengembangan yang berorentasi kepada
keberhasilan pelaksanaan diklat secara maksimal baik dari segi konten atau isi maupun
dari segi
aktualisasi. Kemampuan peserta diklat dapat ditingkatkan melalui pengembangan
kurikulum yang ada sehingga menambah pengetahuan peserta semakin luas dan
mendetail. Pengayaan kurikulum dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu :
berorientasi pada proses, berorientasi pada konten, materi yang harus dipelajari, dan
berorientasi pada produk atau hasil.
2. Teori-teori Tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia
a. Teori Perubahan Organisasi
Penggunaan teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa lembaga diklat sebagai
organisasi, setiap organisasi menurut Stoner dkk (1996:104) perlu membuat perubahan
baik yang bersifat struktural maupun aplikatif sebagai reaksi terhadap perubahan dalam
lingkungan baik dalam bentuk tindakan secara langsung maupun secara tidak langsung.
Kotter dan Schlesinger dalam Stoner (1992:2) mengatakan banyak perusahaan atau
deviasi perusahaan yang besar berpendapat, bahwa mereka paling tidak harus setahun
sekali mengadakan perubahan kecil dalam organisasi dan mengagendakan perubahan
besar setiap empat atau lima tahun sekali. Mengadakan perubahan efektif atau
pengembangan semacam itu bukan saja semacam keharusan demi kelangsungan hidup
organisasi, akan tetapi juga merupakan tantangan (change).
Teori perubahan organisasi dilatarbelakangi oleh konsep bahwa organisasi
tergantung pada dan harus berinteraksi dengan lingkungan luar demi kelangsungan
hidupnya. Tiap faktor lingkungan luar yang mencapuri kemampuan organisasi untuk
menarik sumber-sumber daya manusia dan sumber daya lain yang dimiliki oleh
organisasi, yang dibutuhkan sebagai kekuatan untuk membuat sebuah perubahan (a force
to change). Tiap faktor didalam lingkungan internal organisasi merupakan sebuah
kekuatan dalam menciptakan sebuah perubahan,disamping faktor itu juga didukungoleh
change agent yang mumpuni. Jadi menurut teori perubahan seperti dikemukakan oleh
Stoner (1992:2-3) paling tidak ada tiga kekuatan eksternal (external forces), kekuatan
internal (internal forces), dan pemimpin atau manager (change agent)
2. Teori Hirarki Kebutuhan
Teori motiavasi dalam hubungannya dengan pengembangan kualitas
sumber daya manusia yang sekarang banyak dianut orang adalah teori kebutuhan. Teori
ini beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam upaya
pengembangkan diri pada hakekatnya adalah untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya,
baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis. Oleh karena itu, menurut
teori ini, seorang pendidik akan memiliki semangat untuk dapat mengembangkan
dirinya ketika keinginan itu dilatarbelakangi oleh kebutuhan yang harus mereka penuhi,
baik kebutuhan yang bersifat fisik maupun psikis.
Seorang pakar psikologi, Abraham Maslow, dalam Ngalim Purwanto,
mengemukakan adanya lima tingkatan kebutuhan pokok manusia (Ngalim,1999:77).
Kelima tingkatan kebutuhan pokok manusia inilah yang kemudian dijadikan pengertian
kunci dalam mempelajari motivasi yang tumbuh dari diri pribadi manusiauntuk selalu
mengembangkan dirinya. Adapun kelima tingkatan kebutuhan pokok yang dimaksud
adalah :
1. Kebutuhan fisiologi; kebutuhan ini merupakan kebutuhan dasar yang bersifat
primer dan vital, yang menyangkut fungsi-fungsi biologis dasar dari organisme
manusia seperti kebutuhan akan pangan, sandang dan papan, kesehatan fisik,
kebutuhan seks dan lain sebagainya.
2. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan (security and safety); seperti terjamin
keamanannya, terlindungi dari bahaya dan ancaman.
3. Kebutuhan sosial (social needs) yang meliputi antara lain kebutuhan akan dicintai,
diperhitungkan sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, rasa setia
kawan, kerjasama.
4. Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs); termasuk kebutuhan dihargai karena
prestasi, kemampuan, kedudukan atau status, pangkat dan sebagainya.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization) seperti antara lain kebutuhan
mempertinggi potensi-potensi yang dimiliki, pengembangan diri secara maksimal,
kreatifitas dan ekspresi diri.
3. Pentingnya Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia
Kesadaran akan pentingnya pengembangan sumber daya manusia di mulai pada
tahun 1930 di Amerika Serikat. Kegiatan ini diakui sebagai salah satu fungsi profesional
pada tahun 1990-an dengan istilah Training Function, sebagai bagian dari fungsi personalia
(Nadler,1984). Hal ini dilatar belakangi adanya kesadaran manusia tentang keseimbangan
antara kemajuan dalam pengetahuan dan tehnologi dibanding dengan kemampuan manusia,
khususnya para pekerja. Upaya peningkatan kemampuan manusia ini dikenal dengan istilah
pengembangan sumber daya manusia.
Tiap lembaga atau organisasi memiliki program pengembangan sumber daya
manusia, baikn swasta maupun pemerintah. Di negara kita hampir semua Departemen
memiliki lembaga pengembangan sumber daya manusia yang dikenal dengan sebutan
“Lembaga Pendidikan dan Pelatihan” . program pengembangan sumber daya manusia
dikenal dengan beberapa istilah, yakni latihan (training), pendidikan tenaga kerja (employee
education) dan lain-lain (Nadler, 1984)
Dari beberapa istilah tersebut dapat disimpulkan Nadler membedakan
pengembangan sumber daya manusia menjadi tiga istilah, yakni latihan, pendidikan dan
pengembangan. Latian digunakan apbila yang dipelajari berkaitan erat dengan pekerjaan
yang ada sekarang, tujuan pelatihan adalah peningkatan kinerja sehubungan dengan
pekerjaan yang ada pada saat sekarang (Nadler,1982). Jadi pada prinsipnya bentuk kegiatan
pengembangan sumber daya manusia adalah belajar, seperti apa yang dikemukakan oleh
Nadler bahwa kegiatan utama dalam pengembangan sumber daya manusia adalah
belajar.dalam hal ini perencanaan program memiliki kedudukan yang sangat penting agar
kegiatan belajar dapat diukur tingkat keberhasilannya.
Menurut Nadler, pengembangan sumber daya manusia adalah kegiatan-kegiatan
belajar yang diadakan dalan jangka waktu tertentu guna memperbesar kemungkinankemungkinan
untuk meningkatkan kinerja.
Training dalam arti luas mempunyai tujuan untuk membantu pekerja dalam :
1. Mempelajari dan mendapatkan kecakapan-kacakapan baru.
2. Mempertahankan dan meningkatkan kecakapan-kecakapan yang dikuasai.
3. mendorong pekerja agar mau belajar dan berkembang.
4. Mempratekkan di tempat kerja hal-hal yang sudah dipelajari dan diperoleh dalam
training.
5. Mengembangkan pribadi pekerja
6. Mengembangkan efektivitas lembaga.
7. Memberi motivasi kepada pekerja untuk terus belajar dan berkembang.
Sedangkan The United State navy Education and Training mengemukakan model
pengembangan pembelajaran yang disebut pengembangan kemahiran pembelajaran
(instructional skill development). Ada lima langkah dalam model ini, yaitu : tahapan analisis,
tahapan perancangan, tahapan pengembangan, tahapan penerapan, dan tahapan pengawasan
atau pengendalian. Dengan demikian yang seharusnya tampak dalam pengembangan sumber
daya manusia adalah kegiatan belajar. Belajar yang dimaksud adalah belajar yang sifatnya
insidental tak termasuk dalam kegiatan program pengembangan sumber daya manusia.
Lima karateristik pengembangan sumber daya manusia yakni; (1) organisasi
pengalaman belajar, (2) memiliki periode tertentu, (3) ada kesempatan untuk bertindak, (4)
pengembangan kinerja, dan (5) pertumbuhan. Oleh karena itu organisasi pengalaman belajar
sebagai wadah kegiatan belajar sangat diperlukan keberadaannya.
4. Model Pendekatan Pelatihan
Menurut Wallance (1991), menulis tentang 3 buah pendekatan guru, yaitu Craft
Model, Applied Science, dan The Eksperimential (Reflective) model.
1. Craft model
Menurut Wallace (!991:6) craft model adalah the trainess imitate the expert’s
tehniques and follow his instructions and advice (peserta pelatihan menyimak secara
seksama tehnik-tehnik dari para ahli atau trainer dan mengikuti petunjuk dan saransaran).
Contoh seorang tukang kayu mendemostrasikan keahliannya membuat meja.
Keuntungan model ini ialah perolehan keahlian dapat dikembangkan dan menjadi
pengalaman yang bermanfaat. Selain itu, tidak terlalu sulit bagi peserta pelatihan untuk
mengikuti cara dan pola mengajar pelatih dan dia akan menjadi peserta pelatihan yang
lebih mampu menerapkan model dan tehnik atau cara mengajar tertentu. Adapun
kerugian dari model ini, pelatihan hanya bersifat menstranfer pengalaman dan tehik
mengajar pelatih dan tidak memikirkan bahwa etiap orang memiliki potensi yang berbeda
terutama dalam hubungannya dengan kelebihan dan keterbatasan masing-masing individu
dan lembaga pendidikan dimana mereka mengajar.
2. Applied Science Model (Model Penerapan Ilmu Pengetahuan)
Model ini mengharapkan peserta pelatihan mempelajari penemuan ilmiah
berdasarkan hasil penelitihan dalam disiplin ilmu yang berkaitan dengan pendidikan,
linguistik terapan, psikologi, metodologi dan teori untuk diterapkan di dalam kelas. Hal
ini dilakukan ketika dosen di perguruan tinggi atau diuniversitas mengajarkan teori, baik
dalam Pre-Service Training (PRESENT) atau In service Training (INSET). Model ini
mengharapkan peserta pelatihan menerapkan penemuan ilmiah dalam mengajar. Kalau
peserta pelatihan ini gagal dalam mempratekkan ilmu pengetahuan ilmiah yang mereka
peroleh, hal ini disebabkan karena mereka tidak betul-betul memanfaatkan hasil
penemuan itu.
Keuntungan model ini adalah peserta pelatihan dapat memahami penemuan serta
dapat menerapkan dalam proses belajar mengajar sehingga sangat bermanfaat dalam
kelas. Kerugiannya adalah model ini tidak memikirkan ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki peserta pelatihan sebagai modal awal.
3. The Exsperiental (Reflective) Model (Model Belajar dari Pengalaman)
Ada beberapa ahli pendidikan yang telah mengembangkan model ini seperti
Schon (1983), Kolb (1984), Walla (1991), dan Ur (1996). Mereka mempunyai ide yang
sama tentang model ini tetapi masing-masing mempunyai pendekatan yang khusus.
Namun demikian, ide dasar belajar berdasarkan pengalaman adalah mendorong peserta
pelatihan untuk merefleksikan atau melihat kembali pengalaman-pengalaman mereka
untuk memperbaiki mengajarnya.
5. Pengertian Pelatihan
Pelatihan merupakan salah satu cara yang paling praktis dalam menyebarkan atau
mendesiminasikan informasi tentang sebuah perubahan. Perubahan tersebut dalam upaya
untuk memperbaiki kecakapan individu dalam melaksanakan tugas dan kehidupan seperti
yang dikemukakan oleh Marzuki (1997:43), yaitu: (1) rotasi tugas (job rotation), (2)
proyek terbimbing (supervised project work), (3) tugas baca (described reading), dan (4)
praktek kerja.
Pelatihan menurut Mangkunegara (2005:44), adalah suatu proses pendidikan jangka
pendek yang yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir dimana pegawai
nonmanjerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan terbatas.
Guna meningkatkan efektifitas dan pencapaian tujuan dari pelatihan mak diperlukan
Manajemen Pelatihan. Menurut Mujiman, (2009:V) :
Manajemen pelatihan adalah pengolahan program pelatihan, yang menyangkut
pengidentifikasian kebutuhan pelatihan, perencanaan desain pelatihan, penetapan metode
pelatihan, penyusunan bahan pelatihan, pelaksanaan pelatihan, evaluasi pelatihan, dan
penetapan tindak lanjut pelatihan
Pengertian pelatihan dalam hubungannya dengan dunia pendidikan adalah usaha
yang dilakukan oleh sekolah atau madrasah untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan
tenaga kependidikan yang ada dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan
berkembang di masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan yang
dilaksanakan di lembaga pendidikan mereka masing-masing.
Kegiatan pelatihan tidak harus diartikan secara sempit dalam bentuk-bentuk
kegiatan yang berupa penataran-penataran, lokakarya, remiloka, namun pelatihan dapat
diartikan secara luas. Pelatihan merupakan salah satu tipe program pembelajaran yang
menitikberatkan kepada perbaikan kecakapan individu dalam menjalankan tugastugasnya
pada saat ini dalam suatu organisasi. Pelatihan adalah suatu proses belajar
mengajar dengan menggunakan teknik dan metode tertentu, guna meningkatkan
keterampilan dan kemampuan bekerja seseorang.
Pelatihan sering disamakan dengan pendidikan (education). Namun sebenarnya
pendidikan dan pelatihan berbeda, pendidikan berhubungan dengan pengetahuan
tentang bagaimana (how) dan mengapa (why) serta berhubungan dengan teori
pekerjaan, sedangkan pelatihan lebih bersifat praktis. Menurut Mitchell (1982:
34), pelatihan merupakan suatu upaya organisasi untuk mengubah sikap dan
perilaku dari anggotanya melalui proses dengan tujuan untuk meningkatkan
efektifitas.
Sejalan dengan itu, pelatihan adalah bagian dari pendidikan yang
memungkinkan proses belajar untuk meningkatkan keterampilan diluar sistem
pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metode
yang lebih mengutamakan praktek daripada teori. Admodiwiryo menjelaskan
(1993:70), penataran dan pelatihan merupakan bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari suatu sistem yaitu mengembangkan sumber daya manusia.
6. Tujuan Pelatihan
Tujuan dari pelaksanaan pelatihan dalam sebuah bentuk atau model tertentu
tergantung kepada tema dan bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan. Tetapi secara
umum dapat digolongkan antara lain pelatihan dalam dunia pendidikan adalah untuk
membantu guru memperbaiki kualitas mengajar dalam rangka meningkatkan karir
profesionalismenya dengan mendorong mereka untuk selalu bekerjasama antara
mereka sendiri. Richard, Plati dan Platt (1992:227) mengatakan: “bahwa pelatihan
diberikan kepada guru yang telah mempunyai pengalaman mengajar dan merupakan
bagian dari kelangsungan pengembangan profesionalisme mereka.”
Adapun tujuan pelatihan secara khusus adalah : (1) agar peserta mengerti dan
memahami perbedaan jenis-jenis inovasi program pendidikan; bentuk, isi dan
pendekatan serta prinsip-prinsipnya, (2) mampu menggunakan inovasi program
pendidikan sebagai dasar dalam meningkatkan kegiatan belajar-mengajar di dalam
kelas serta dapat menginterpretasikannya dalam proses belajar-mengajar yang mereka
laksanakan sehingga tujuan pendidikan dapat terlaksana secara baik dan maksimal
sesuai dengan tujuan lembaga dan pendidikan nasional.
7. Prinsip-prisip Pelatihan
Pelatihan dilihat sebagai cara yang paling bermakna bagi pelatih dan peserta
pelatihan (training, trainer and trainess). Prinsip ini biasanya berkaitan dengan isi
program, metode dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pelatihan. Menurut Nunan
(1989 : 145), bahwa dalam pelatihan gurulah subjek yang mencari petunjuk bagaimana
mereka mencari solusi terhadap permasalahan yang mereka hadapi dalam menjalankan
tugas mereka sebagai pengajar di dalam kelas. Dalam banyak kasus, latarbelakang
dilaksanakannya pelatihan adalah untuk memperkenalkan inovasi baru yang dilakukan
oleh lembaga pendidikan terkait yang perhatian terhadap masalah pendidikan. Dalam
hubungannya dengan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan,
yaitu kesesuaian antara program yang ditawarkan dengan keinginan peserta pelatihan,
dan program pelatihan harus cocok dengan prinsip-prinsip pelatihan dan bagaimana cara
guru memecahkan permasalahan yang mereka hadapi tersebut. Sehingga pada dasarnya
prinsip yang paling mendasar dari pelatihan adalah harus berdasarkan kepada perspektif
atau kebutuhan. Oleh karena itulah, dalam kegiatan ini guru dianggap sebagai orang yang
tepat untuk mengidentifikasikan kebutuhan sekolah yang kemudian ditangani dalam
kegiatan pelatihan ini agar dapat memecahkan masalah.
8. Unsur-Unsur Pelatihan
Model pelatihan adalah suatu abstraksi yang mentipekan suatu system nyata yang
menjadi bagian dari kelas tertentu dan menurut konsep-konsep yang mencerminkan
elemen-elemen dari situasi-situasi nyata yang ditata dalam suatu system logika.
Selanjutnya model harus konsisten, dapat digeneralisasikan ke tingkat dan fase
lainnya dalam suatu desain sistem dan ditata secara berurutan menjadi satu kesatuan
yang berarti. Bangunan model adalah suatu pendekatan dibidang keputusan
administrative yang memungkinkan atau memerlukan perencanaan untuk menghadapi
bagian-bagian penting dalam struktur. Hagrabi (1984:54) memberikan pengertian
model adalah reproduksi dari fenomena-fenomena tertentu dari suatu analografik
ataupun representasi realita dari simbol lainnya.
Perlu ditekankan bahwa pelatihan adalah suatu proses dan sistem yang
ditentukan oleh banyak komponen-komponen yang saling menunjang. Komponenkomponen
dalam pelatihan menurut Marzuki (1997:87) meliputi :
penilaian, kebutuhan, penetapan kebutuhan, perencanaan program pelatihan serta
pelaksanaan dan evaluasi pelatihan. Unsur manusia sangat menentukan keberhasilan
dalam pelatihan termasuk didalamnya kemampuan pelatih trainer dalam
menyampaikan materi, menguasai strategi, keterampilan dalam menggunakan media.
Peserta pelatihan perlu dipertimbangkan pula karakteristiknya, seperti usia,
jenis kelamin, latarbelakang pendidikan, budaya, minat dan kebutuhan belajarnya,
lingkungan dan pelatihan itu dilaksanakan. Faktor waktu dan peralatan perlu
dipertimbangkan efesiensi biasanya diukur dengan membandingkan keefektifan
dengan sumber belajar, waktu dan biaya yang terpakai. Dalam memilih metode
pelatihan menurut Marzuki (1997:63), perlu mempertimbangkan: (1) faktor usia, (2)
tujuan, (3) bidang pelajaran, (4) waktu dan peralatan, serta (5) prinsip-prinsip belajar.
Trainer adalah orang yang membantu peserta training untuk menambah
pengetahuan, mengubah perilaku menjadi lebih produktif, dan meningkatkan
kecakapan serta keterampilan mereka melalui kegiatan training. Trainer bisa dari luar
atau dari dalam lembaga. Dari luar, trainer dapat berasal dari lembaga pelatihan, atau
trainer dari lembaga lain. Jika dari dalam pada umumnya berasal dari Departemen
Pengembangan Sumber Daya Manusia (Human Resources Management
Departement). Adapun tugas-tugas trainer adalah :
1. Mengumpulkan dan mendiagnosa data tentang kebutuhan training peserta serta
menganalisis dan menyimpulkan data tersebut untuk menentukan training yang
diperlukan.
2. Merancang dan mengembangkan program training yang sesuai.
3. Menyusun rancangan penyampaian training yang meliputi metode, strategi dan
tekniknya.
4. Melaksanakan training, baik sendiri maupun di dalam tim.
5. Mengevaluasi training yang sudah dilaksanakan.
6. Mengadministrasikan training yang sudah dilaksanakan, program materi.
7. Sistem evaluasi peserta dan pembiayaannya.
8. Menyusun rencana follow up dan pelaksanaanya.
Tujuan pelatihan berkaitan erat dengan bahan atau pengalaman belajar yang akan
dicapai, perubahan perilaku peserta setelah mengikuti pelatihan dan sikap apa yang ingin
dicapai. Sedangkan bidang pelajaran seperti pelajaran khusus dan bidang untuk disiplin,
motivasi, minat, keterlibatan peserta, pendekatan individu, sistematika pengujian, adanya
umpan balik sangat menentukan keberhasilan belajar, maka perlu diperhatikan dalam
menentukan metode pelatihan.
Oleh karena itu, sebelum pelatihan dilaksanakan harus dirancang terlebih dahulu
metode pelatihannya. Jelasnya model disini adalah gambaran secara menyeluruh tentang
langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan sebelum, pada saat dan sesudah pelatihan
agar dapat mencapai tujuan sebaik mungkin. Model dapat dipilih dan dibuat sesuai dengan
tujuan pelatihan. Model dapat mempermudah manajer pelatihan, ketertiban dan administrator
serta peserta didik mengikuti keseluruhan proses, disamping memudahkan proses evaluasi
hasil pelatihan. Sehingga jelaslah seorang pemimpin pelatihan harus memakai model agar
nantinya dapat menyiapkan dan melaksanakan pelatihan dengan sebaik-baiknya.
9. Kompetensi Widyaiswara
Tugas dan wewenang widyaiswara sesuai dengan Keputusan Menteri PAN
bernomor PER/66/M.PAN/6/2005, menurut Bab III pasal 6 tugas seorang widyaiswara
Penganalisisan kebutuhan Diklat, penyusunan kebutuhan Diklat, Penyusunan bahan Diklat,
pelaksanaan Diklatatau mengajar dan melatih, pengelolaan program Diklat diinstansinya,
serta memberikan bimbingan dan konsultasi (Lintang,2007:101).
Pelaksanaan Diklat memang dituntut profesional sehingga harapan untuk
menjadikan diklat sebagai kebutuhan dalam mengembangakan sumber daya manusia (SDM)
ditiap-tiap lembaga atau instansi bisa tercapai. Pengelolaan diklat yang profesional tidak saja
melibatkan panitia dalam diklat tersebut tetapi kompetensi widyaiswara juga perlu
dikembangkan.
Ada empat kompetensi widyaiswara yang harus dikembangkan yaitu :
1. Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran : merupakan kompetensi yang harus dikuasai
widyaiswara dalam memberikan pembelajaran dikelas. Penggunaan metode andragogi
(pembelajaran orang dewasa) menjadi sangat penting karena peserta diklat adalah
tenaga yang sudah memiliki profesi pada pekerjaannya, dengan metode ini akan bisa
menjadikan diklat berjalan dengan baik.
2. Kompetensi Kepribadian : merupakan kompetensi yang lebih mengarah kepada
tingkah laku serta bagaimana cara widyaiswara dapat melayani peserta secara prima
baik dari segi sikap, tingkah laku, berbicara, berpakaian dll.
3. Kompetensi Sosial : merupakan kompetensi dalam kaitannya hidup ditengah-tengah
lingkungan instansi maupun dalam masyarakat diharapkan widyaiswara menjadi
teladan bagi linkungannya.
4. Kompetensi Substantif : merupakan komptensi yang wajib dimiliki widyaiswara
untuk mengembangkan sikap profesionalnya khususnya dalam bidang akademik
sehingga ilmu pengetahuan yang selalu berkembang akan selalu bisa diberikan
kepada peserta diklat, bahkan diharapkan widyaiswara jangan sampai terlambat
menyerap ilmu pengetahuan dibanding dengan peserta diklat.
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh inservice training dapat
meningkatkan kompetensi pengelolaan kelas widyaiswara di Balai diklat Surabaya.
Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif diskriptif dengan membandingkan
hasil penilaian peserta diklat kepada widyaiswara sebelum dan sesudah diberi inservice
training serta ditrianggulasi dengan hasil wawancara.
Penggunaan penelitian kualitatif karena hasil dari penarikan pembahasan dengan
memberikan paparan data dari pengolahan data ditrianggulasikan dengan hasil
wawancara.
B. Tempat Penelitian
Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Balai Diklat Keagamaan Surabaya Jl.
Ketintang Madya 92 Surabaya.
C. Instrumen Penelitian
Dokumen hasil penilaian peserta diklat terhadap widyaiswara sebelum dan sesudah
pelaksanaan inservice training.
Hasil wawancara kepada widyaiswara.
D. Sumber data
Data yang diperlukan adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari sumber utama secara langsung melalui wawancara, observasi dan
kuesioner. Sedangkan data skunder diperoleh dari informasi yang berkaitan obyek
penelitian baik secara langsung maupun tidak langsung berupa laporan, dokumen
atau catatan-catatan penting lainnya.
Data-data tersebut diperoleh dari :
1. Informan : yaitu pihak yang memiliki kapasitas dan kompetensi memberikan
keterangan tentang suatu kondisi terkait seperti pejabat, pimpinan maupun
pegawai.
2. Responden yaitu pihak yang ada keterlibatan langsung dengan objek penelitian
seperti peserta diklat maupun pegawai.
E. Tehnik Pengumpulan Data
Penelitian ini melalui pengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan
melalui :
1. Wawancara : peneliti mengadakan wawancara langsun ngan ihak-pihak yan
berkompeten.
2. Pengamatan / Observasi : peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap
obyek masalah yang berkenaan dengan pelaksanaan inservice training yang
diadakan oleh Balai Diklat Keagamaan Surabaya.
F. Tehnik Analisis Data
Menurut Model Miles and Huberman penelitian kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Data yang telah
dikumpulkan kemudian dirangkum dengan memfokuskan pada ha-hal penting sehingga
data akan memberikan gambaran atau kesimpulan yang lebih jelas.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil-hasil penelitian tentang
pelaksanaan Inservice Training dapat meningkatkan kompetensi pengelolaan
pembelajaran bagi widyaiswara. Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan kualitatif
dengan mengabungkan hasil dari data yang ditriangulasikan dengan hasil wawancara.
Data yang diolah berupa hasil penilaian peserta meliputi enam komponen dari
sebelas komponen penilaian terhadap penilaian widyaiswara.
Data hasil penilaian peserta terhadap widyaiswara Sebelum dilaksanakan Inservice
Training
No Jenis Penilaian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 jml
1 Sistimatika
penyajian
80 75 80 76 80 75 75 75 80 80
2 Kemampuan
menyajikan
75 78 78 80 84 75 80 75 80 75
3 Penggunaan
metode&sarana
80 80 75 75 80 80 76 82 76 80
4 Sikap dan
prilaku
75 80 80 75 78 80 75 80 80 76
5 Cara menjawab
pertanyaan
80 80 76 80 78 75 75 75 78 78
6 Penggunaan
bahasa
75 80 78 75 78 78 80 82 80 80
Data hasil penilaian peserta terhadap widyaiswara setelah dilaksanakan Inservice
Training
No Jenis Penilaian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Sistimatika
penyajian
80 80 80 80 80 80 80 85 80 80
2 Kemampuan
menyajikan
80 85 80 85 85 85 80 80 80 75
3 Penggunaan
metode&sarana
80 80 82 80 80 80 85 82 80 80
4 Sikap dan
prilaku
85 80 80 85 80 80 80 80 80 82
5 Cara menjawab
pertanyaan
80 80 78 80 78 80 80 75 80 80
6 Penggunaan
bahasa
80 80 85 78 78 80 80 82 80 82
Setelah melihat tabel data diatas sebelum dan sesudah dilaksanakannya inservice
training terlihat perbedaan yang signifikan dari jumlah keduanya
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas dan hasil kajian yang didapat maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
Inservice Training dapat meningkatkan kompetensi pengelolaan pembelajaran
widyaiswara di Balai Diklat Keagamaan Surabaya.
B. Saran-Saran
Saran- saran yang perlu dilakukan sebagai berikut :
1. Adanya pelaksanaan inservice training perlu dilaksanakan secara terprogram pada
Balai-balai Diklat Keagamaan se-Indonesia.
2. Pemberian penghargaan kepada peserta diklat yang dianggap terbaik.
3. Adanya evaluasi terus-menerus dan terprogram khususnya bagi widyaiswara dalam
meningkatkan kompetensinya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, H.M. 2003. Hubungan Timbal Balik Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga. Bulan
Bintang, Jakarta.
Gaffar, Affan. 2001. Politik Indonesia Transisi Demokrasi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Gunawan, H. Andi. 1986. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Bumi Aksara, Edisi
Revisi Cetakan Ke Lima, Jakarta.
Haris, Mujiman, 2009. Manajemen Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri. Pustaka Pelajar Offset.
Yogyakarta.
Joni, T. Raka, 1979. Pembentukan Tenaga Profesional Tenaga Kependidikan. Majalah
Dekdikbud, II.
Nasution, S. 1988. Usaha-Usaha Perbaikan Dalam Bidang Pendidikan, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Nazir, Moh. 1988. Metoda Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Mangkunegara, Anwar Prabu, 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Remaja
Rosda Karya, Bandung,
Surakhmad, Winarno, 1990. Pengantar Penelitain Ilmiah, dasar metoda dan teknik. Tarsito,
Bandung
http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/InsentiveTrainingx.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar