KINERJA APARATUR PUBLIK DALAM PENINGKATAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT
(Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan Golongan III)
OLEH:
Dr. Rofikatul Karimah, M.Si
ABSTRAKS
Judul Karya Tulis ini adalah “Kinerja Aparatur Publik dalam Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat (Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan Golongan III). Latar belakang penulisan ini adalah masih adanya penilaian negative terhadap kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan. Untuk itu rumusan masalahnya bagaimana kinerja aparatur publik meningkatkan layanan kepada masyarakat ? dan sejauhmana hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja ? dengan tujuannya untuk mendiskripsikan kinerja aparatur publik dalam meningkatkan layanan kepada masyarakat dan memaparkan hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja.
Aparatur publik dalam meningkatkan layanan kepada masyarakat selalu berpijak pada prinsip-prinsip layanan publik dan penentuan standard operasional pelayanan, maka kualitas layanan yang bermutu akan diperoleh. peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat yang diberikan aparatur publik akan nampak cerdas jika menentukan strategi layanan dengan inovasi layanan yang ditetapkan berdasar pada keinginan masyarakat, senyampang keinginannya tidak bertentangan dengan peraturan perundangan di Indonesia.
Hubungan antara kinerja aparatur publik dan budaya kerja sangat erat sekali jika dipandang dari kinerja itu adalah performance seseorang yang tercermin dari hasil pekerjaannya. Sedangkan budaya adalah karya dan kebiasaan yang dilakukan aparatur di tempat kerjanya yang dapat berpengaruh pada image Lembaga atau Organisasi dengan citra yang dibentuknya. Adapun rekomendasi yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: (1) kepada aparatur publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat hendaknya berdasar pada standar operasional yang telah ditetapkan dan selalu berorientasi pada pelayanan yang bermutu. (2) kepada masyarakat atau pelanggan hendaknya mengetahui prosedur layanan agar tidak terjadi praktek kecurangan layanan.
Kata Kunci: Kinerja Aparatur, Pelayanan kepada Masyarakat
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi birokrasi yang telah digencarkan dalam rangka penciptaan Pemerintahan yang baik, kiranya masih dalam proses sebagaimana proses demokratisasi yang meluas diberbagai negara dan menggeser peran negara lebih signifikan. Menurut Riant Nugroho (2009) kebutuhan paska demokratisasi adalah pengembangan kebijakan yang unggul dengan mengimplementasikan good governance. Peran rakyat yang mengemuka dan tuntutan akuntabilitas publik serta kecenderungan untuk menempatkan rakyat dalam posisi yang lebih signifikan, menjadi mainstream artikulasi publik luas. Kini administrasi publik bekerja dalam sebuah entitas publik dengan peran negara yang makin menyempit, maka memerlukan kehadiran publik dalam artian aktor-aktor lain di luar negara menjadi lebih penting. Aktor-aktor luar negara dapat berupa asosiasi-asosiasi mandiri dari rakyat, kelompok-kelompok kepentingan, lembaga swadaya masyarakat, dan agen-agen negara yang kehadirannya lebih bersifat spontan yang sering menjadi kontrol kinerja aparatur publik dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.
Berdasar penelitian Derajad S.Widhyharto (2008), beberapa persoalan PNS antara lain adalah penyelewengangan wewenang, gaji kecil, rekrutmen yang bermasalah, dan munculnya korupsi untuk menambah gaji. Senada dengan penelitian tersebut, Akhyar Effendi dkk (2008) menyampaikan bahwa persoalan PNS dapat ditinjau dari tiga perspektif, yakni perspektif sistem (aturan hukum dan kebijakan), kelembagaan dan sumber daya manusia. Lebih lanjut Akhyar Effendi dkk (2008) menyampaikan bahwa kualitas SDM profil PNS masih rendah kualitas dan
3
mentalitasnya akibat rendahnya rasionalitas dan keterkaitan antara sub sistem dalam managemen PNS, mulai dari perencanaan sampai pemberhentian bahkan adanya tumpang tindih menegemen dan urusan kepegawaian sehingga kurang efektif koordinasi antara instansi. Dari pernyataan tersebut dapat digambarkan bahwa penilaian negative terhadap kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan masih perlu peningkatan untuk hal tersebut maka penulis menyajikan karya tulis yang berjudul “Kinerja Aparatur Publik dalam Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat (Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan Golongan III)
B. Identifikasi Masalah
Pembukaan UUD 1945 pada alinea Empat disebutkan “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…” Berpijak dari landasan konstitusional tersebut menciptakan kesejahteraan umum adalah suatu keharusan. Aparatur Publik yang dalam hal ini adalah pegawai negeri sipil (PNS) dituntut untuk menjalankan tugas dan fungsinya memberikan layanan terbaik kepada masyarakat sesuai dengan standar operasional prosedur. Tanggapan yang disampaikan masyarakat atas layanan aparatur publik melekat erat dengan kinerja dan budaya kerja dimana aparatur tersebut berada. Untuk hal ini identifikasi masalah yang penulis kaji adalah bagaimana kinerja aparatur publik meningkatkan layanan kepada masyarakat, perlukah dirumuskan inovasi layanan dalam meningkatkan kepuasan pelanggan dan sejauhmana hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja.
4
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kinerja aparatur publik meningkatkan layanan kepada masyarakat ?
2. Sejauhmana hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja ?
D. Tujuan Penelitian
Selaras dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan, maka penulis dapat merinci tujuan penulisan yang berkaitan dengan judul di atas sebagai berikut:
1. Untuk mendiskripsikan kinerja aparatur publik dalam meningkatkan layanan kepada masyarakat.
2. Untuk memaparkan hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja
II. KERANGKA TEORITIK, TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
A.1. Teori New Public Managemen
Konsep New Public Management pada mulanya dikenalkan oleh Cristopher Hood Tahun 1991 sebagaimana ungkapan Hughes, O.E (1998). Bahwa munculnya New Public Managemen (NPM) di Eropa pada Tahun 1980-1990 karena ingin meninggalkan model administrasi publik tradisional atau model birokrasi klasik menuju pendekatan managemen modern yang lebih fleksibel dan juga disebut sebagai “Managerialism New Public Management, Market Based Public Administration, Post Bureaucratic Paradigm” dan Entrepreneurial Government, namun yang lebih popular dengan sebutan New Public Managemen, yang dikenalkan oleh Osborne dan Gaebler dengan
5
Reinventing Government dan lebih memberi perhatian besar kepada pencapaian kinerja dan akuntabilitas manajer public sehingga organisasi publik terbuka, fleksibel, ramping efisien dan rasional.
Penetapan tujuan organisasi dan personal sangat diperlukan agar dapat berdampak pada pengukuran atas prestasi yang dicapai melalui indikator atau standar kinerja dan ukuran kinerja yang harus dilakukan evaluasi program secara sistematik. Karakteristik NPM juga menekankan pada pengendalian output dan outcome dengan menciptakan persaingan di sektor publik dan penghematan sumber daya serta pemecahan unit kerja di sektor publik. Antara staf dan senior secara politis lebih commit kepada pemerintah yang berfungsi tampak berhadapan dengan pasar misalnya tender. NPM merupakan teori manajemen publik yang beranggapan bahwa praktek managemen swasta lebih baik daripada managemen sektor publik dan perlu diadopsi oleh organisasi sektor publik sebagaimana mekanisme pasar dengan adanya tender (Compulsory Competitive Tendering- CCT) dan adanya privatisasi perusahaan-perusahaan public (Hughes, 1998, Broadbent & Guthrie, 1992) sejalan dengan ungkapan Osborne dan Gaebler (1992) yang menyebutkan Catalytic government; steering rather than rowing” dari NPM menjadi landasan misi birokrasi, pemerintah dalam hal ini cenderung mengurangi fungsinya dengan adanya privatisasi dan bentuk lain dari marketisasi. Konsep NPM memposisikan pengguna layanan sebagai pelanggan yang harus dilayani.
A.2. Birokrasi Pelayanan Publik
Pengertian Birokrasi dikemukakan oleh M de Gournay dalam Albrow, (1989) pada abad ke – 18, hal itu dilakukan untuk memberikan atribut terhadap suatu penyakit yang jelas–jelas dapat merusak system pemerintahan di Perancis yang disebut bureaumania, dalam sejarahnya pemerintah Perancis pada saat itu
6
dikenal memiliki kinerja yang sangat buruk penarikan pajak yang tinggi untuk berpesta, perilaku yang kejam kepada mereka yang kritis. Untuk menyindir kinerja pejabat tersebut dipakei istilah bureaumania yang kemudian muncul kata bureaucratie (Perancis) burokratie (Jerman), burocrazia (Italia) dan bureaucracy (Inggris).
Berkaitan dengan hal tersebut menurut Michel Crozier (1964) konsep birokrasi yang ditandaskan sebagai pemerintah oleh sebuah biro yaitu pemerintah yang oleh sejumlah departemen diisi staf yang ditunjuk dan bukan dipilih atau diorganisasikan secara hirarkis, sedangkan keberadaannya tergantung kepada otoritas yang mutlak. Selain itu birokrasi juga diartikan sebagai rasionalisasi kegiatan kolektif sebagaimana birokrasi Weber.
Adapun perspektif klasik yang diajukan oleh Sosiolog Jerman Max Weber tentang birokrasi disebut juga dengan organisasi yang ideal meski menurut Stephen P. Robbins (1994) model birokrasi weber lebih berupa gambaran yang hipotesis dari pada tentang yang sebenarnya bagaimana kebanyakan organisasi itu distruktur menurutnya sebagai berikut:
1. Pembagian kerja, dalam hal ini pekerjaan dari setiap orang dipecah-pecah atau dibagi sampai pada pekerjaan-pekerjaan yang sederhana, rutin dan ditetapkan dengan jelas.
2. Hierarki kewenangan yang jelas adalah sebuah struktur multi tingkat yang formal, dengan posisi hierarki atau jabatan yang memastikan bahwa setiap jabatan yang lebih rendah berada di bawah supervise dan control dari yang lebih tinggi.
3. Formalisasi yang tinggi yaitu ketergantungan kepada peraturan dan prosedur yang formal untuk memastikan adanya keseragaman dan untuk mengatur perilaku pemegang pekerjaan.
7
4. Bersifat tidak pribadi (impersonal) yakni sanksi-sanksi yang diterapkan secara seragam dan tanpa perasaan pribadi untuk menghindari keterlibatan dengan kepribadian individual dan preference pribadi para anggota.
5. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kemampuan. Keputusan seleksi dan promosi berdasar atas kualifikasi teknis, kemampuan dan prestasi para calon.
6. Jejak karier bagi para pegawai, hal ini dimaksudkan bagi para pegawai untuk mengejar karier dalam sebuah organisasi dan sebagai imbalan atas komitmen terhadap karier tersebut. Para pegawai mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan dipertahankan walaupun mereka kehabisan tenaga atau kepandaiannya tidak terpakai lagi.
7. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi. Maksudnya adalah kebutuhan dan minat pribadi dipisahkan sepenuhnya agar keduanya tidak mencampuri sikap impersonal pada aktifitas organisasi yang bersifat rasional.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut di atas birokrasi tidak terlepas dari administrasi publik, karena di dalam birokrasi terjadi hubungan antara kepentingan manusia yang dijalankan secara rutinitas, terus menerus setiap hari dengan adanya wewenang dan kekuasaan serta beberapa pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan sebuah birokrasi harus berorientasi pada prisip pelayanan publik yaitu sesuatu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh penyelenggara negara sebagaimana ungkapan Riant Nugroho (2009) bahwa tugas pelayanan publik adalah tugas memberikan pelayanan kepada umum tanpa membeda-bedakan dan diberikan secara cuma-cuma atau sedemikian rupa sehingga kelompok paling tidak mampu juga bisa mendapat pelayanan. Tugas ini diemban oleh negara yang dilaksanakan melalui ekskutif. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) No.
8
63 Tahun 2003 sebagai penyempurnaan keputusan MENPAN No. 81 Tahun 1993 mengidentifikasikan pelayanan umum adalah pelayanan sebagai segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat dan di Daerah dan lingkungan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
A.3. Tipologi Dan Budaya Birokrasi
Menurut Ramli Haris (2009) tipologi birokrasi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, dari perspektif otoritasnya, dikenal dengan adanya birokrasi tradisional, karismatik dan birokrasi legal-rasional. Dari perspektif derajat keterbukaan, lebih lanjut Ramli Haris menyampaikan bahwa Lee (1971) mengklasifikasikan ke dalam birokrasi terbuka, campuran dan tertutup. Derajad keterbukaan birokrasi dapat dilihat dari aksesibilitas masyarakat untuk berhubungan dengan birokrasi, luasnya pelaksanaan recruitment, kebebasan kelompok lain untuk memasuki jajaran eselon birokrasi tingkat menengah dan tingkat tinggi serta derajad kesediaan birokrasi untuk mendistribusikan kekuasaannya kepada kelompok lain.
Berkaitan dengan hal birokrasi menurut Riant Nugroho (2009) konsep awal yang mendasari gagasan moderen tentang birokrasi berasal dari tulisan-tulisan Max Weber, seorang Sosiolog Jerman, dengan karyanya The Theory of Social and Economic Organization yang mengetengahkan ciri-ciri pokok dari birokrasi idial sebagai berikut:
1. Para anggotanya (staf) secara pribadi bebas dan hanya melakukan tugas-tugas impersonal dari jabat-jabatannya.
2. Ada hirarki jabatan yang jelas.
9
3. Fungsi-fungsi jabatan diperinci dengan jelas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan kontrak.
5. Mereka diseleksi berdasarkan atas kualifikasi profesional yang secara ideal diperkuat dengan diploma yang diperoleh melalui ujian.
6. Mereka digaji dengan uang dan mendapat pensiun.
7. Pekerjaan pejabat adalah pekerjaan yang satu-satunya.
8. Ada struktur karier dan kenaikan pangkat yang mungkin baik melalui senioritas maupun pretasi dan sesuai dengan penilaian para atasan.
9. Pejabat tidak boleh mengambil kedudukannya sebagai miliknya pribadi begitu pula sumber yang menyertai kedudukannya itu.
10. Pejabat tunduk pada pengendalian dan system disipliner.
Birokrasi dengan ciri-ciri tersebut di atas adalah birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi organisasi untuk itulah hal demikian di sebut birorasionalitas dan biroefisiensi yang tidak efisien disebut pemborosan atau biropatologi. Menurut Yates (1982) model dominan birokrasi pemerintah itu ada dua yaitu: demokrasi pluralis (pluralist democracy) dan Efisiensi administratif (administrative efficiency). Pembagiannya untuk pluralis demokrasi adalah: (1) adanya beraneka ragam kepentingan kelompok dan proses politik yang saling bersaing, (2) pemerintah harus memberi tawaran kepada beraneka ragam kelompok tersebut untuk mendapatkan butir-butir masalah dan sarana partisipasi, (3) pemerintah harus memiliki pusat-pusat kekuasaan yang banyak dan menyebar baik vertikal maupun horizontal untuk menjamin persaingan ambisi dan menghasilkan perimbangan kekuasaan, (4) pemerintah dan politik lebih baik difahami sebagai persaingan diantara kepentingan-kepentingan minoritas, (5) dalam proses pengambilan keputusan dimungkinkan bahwa kelompok yang aktif dan sah dari penduduk membuat mereka mendengar secara efektif, (6) persaingan antara lembaga pemerintah dan kelompok-kelompok
10
kepentingan diharapkan tidak adanya tawar menawar kompromi dan menghasilkan keseimbangan kekuasaan umum di masyarakat.
B. Temuan Dan Pembahasan
B.1. Kinerja Aparatur Publik Dalam Meningkatkan Layanan Kepada Masyarakat
Kinerja pelayanna publik pada umumnya adalah dapat memuaskan masyarakat tanpa memandang apapun. Untuk itu dalam penyelenggaraan pelayanan publik dituntut kualitas prima yang tercermin dari prinsip-prinsip pelayanan publik sebagaimana Sutopo dan Adi Suryanto (2006) menyebutkan antara lain:
1. Kesederhanaan, prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah difahami dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan yang dalam hal ini jelas untuk hal berikut:
a. Persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik.
b. Unit kerja/ pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan.
c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
3. Kepastian waktu, pelaksanaan pelayanan publik dengan menentukan kepastian waktu penyelesaian.
4. Akurasi yaitu produk pelayanan publik yang diterima dengan benar, tepat dan sah.
5. Keamanan, proses dan produk pelayanan memberi rasa aman dan kepastian hukum.
6. Tanggungjawab adalah pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana menyangkut kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai.
11
8. Kemudahan akses, tempat dan lokasi sarana pelayanan yang mudah dijangkau.
9. Kedisiplinan, keramahan dan kesopanan dalam hal ini pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, ramah dan santun.
10. Kenyamanan yaitu lingkungan pelayanan yang tertib, nyaman, bersih dan rapi.
Lebih lanjut Ratminto dan Atik Winarsih (2007) mengatakan bahwa penyelenggaraan pelayanana publik dituntut dengan kualitas pelayanan prima sebagai berikut:
1. Transparansi yaitu pelayanan bersifat terbuka, mudah diakses dan disediakan secara memadai dan mudah untuk dimengerti.
2. Akuntabilitas yaitu pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang ditetapkan.
3. Kondisional yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
4. Partisipatif yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.
5. Persamaan hak yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi.
6. Keseimbangan hak dan kewajiban yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.
Teori New Publik Management sebagai cara untuk mengelola organisasi sektor publik yang menjadi tuntutan masyarakat agar sektor publik menghasilkan produk barang atau jasa yang berkualitas tinggi atau sama
12
dengan yang dihasilkan sektor swasta. Pada intinya organisasi publik perlu belajar pada organisasi privat dan bisnis. Tapi bagi yang menolak atau kontra terhadap teori tersebut beralasan bahwa praktek managemen sektor swasta tidak selamanya baik dan jika diadopsi berarti mengadopsi keburukan sektor swasta kesektor publik, NPM bertentangan dengan prinsip demokrasi juga model lama dengan standar etika yang tinggi dan sebagai kapitalisme yang masuk pada sektor publik, NPM dianggapnya sebagai swasta sentries. Pelayanan publik tidak selamanya bisa dikatakan bahwa publik adalah konsumen akan tetapi publik adalah warga negara yang berhak mendapatkan pelayanan dari pemerintah dan mempunyai wewenang untuk memberikan pelayanan, sedangkan pelayanan prima dalam swasta terjadi jika ada transaksi jual beli dan tawar menawar harga.
New Publik Management sebagai reformasi total sektor publik pada dasarnya tidak hanya di Negara maju saja tapi juga pada Negara berkembang yang dipengaruhi oleh Inggris, Amerika Serikat, Kanada, New Zealand dan juga dipengaruhi oleh peran World Bank, UNDP dan IMF. Selain itu NPM tergantung pada factor kontingensi local (localized contingency) faktor korupsi dan lemahnya administrasi sangat berpengaruh pada kinerja pemerintah tetapi localized contingency lebih besar menentukan berhasil dan gagalnya upaya reformasi. Berkaitan dengan hal tersebut karya David Osborne dan Ted Gaebler yang berjudul “Reinventing Government” (1992) sebagaimana yang dikutip oleh Wayne Persons (2006) bahwa Reinventing Government sangat berpengaruh dalam reformasi pemerintahan dan mendesak agar pemerintah ditata ulang (reinvented) dengan semangat entrepreneurship lebih terdesntralisasi dan lebih responsif pada bentuk organisasi public, adapun 10 prinsip penataan ulang pemerintahan (reinventing government) adalah: (1) pemerintah harus lebih banyak menata
13
daripada berdebat, (2) pembuatan kebijakan harus mengedepankan pemberdayaan komunitas, bukan sekedar memberikan pelayanan, (3) pemerintah mendorong kompetisi dalam memberikan pelayanan bukan monopoli (4) organisasi publik harus digerakkan oleh sense of mission dari pada aturan, (5) pendanaan harus difokuskan pada hasil daripada input, (6) organisasi publik harus berkonsentrasi bukan hanya pada pengembangan tapi pada pemasukan juga, (7) kebutuhan masyarakat harus menjadi prioritas, bukan kebutuhan birokrat, (8) lebih baik mencegah daripada mengobati, (9) otoritas harus didesentralisasikan, (10) pemecahan problem dengan melibatkan pasar bukan hanya dengan menciptakan program publik semata.
Pengadopsian terhadap NPM dari Barat ke Negara-negara berkembang sangat bervariasi sebagaimana Malaysia yang menerapkan Total Qualiy Management (TQM) yang sukses dalam penerapannya namun tidak untuk Bangladesh dan beberapa negara di Afrika yang banyak mengalami kegagalan dalam implementasinya. Adapun beberapa permasalahan yang timbul dalam penerapan NPM di Negara-negara berkembang antara lain; (1) NPM didasarkan pada penerapan prinsip mekanisme pasar atas kebijakan publik dan managemennya terkait dengan pengurangan peran pemerintah yang digantikan oleh pengembangan pasar yakni dari pendekatan pemerintah sentries (state centered) menjadi pasar sentries (market centered approach) negara berkembang pengalaman pasarnya masih sangat sedikit dan lebih dikuasai oleh perusahaan asing dan bukan perusahaan local. Sementara itu pasar di Negara berkembang tidak efektif karena tidak ada kepastian hukum. (2) karena pasar di Negara berkembang belum kuat maka privatisasi akan dipegang oleh perusahaan asing atau kalangan tertentu yang bisa membahayakan karena memunculkan
14
keretakan sosial (3) sistem mekanisme birokrasi yang berubah menjadi sistem mekanisme pasar, jika tidak dilakukan secara hati-hati bisa menumbuhkembangkan korupsi. (4) lemahnya penegakan hukum, Sumber Daya Manusia dan kapabilitas warga negara bukan pelanggan.
Pernyataan tersebut di atas juga dikenal dengan New Public Management, paradigma ini menganggap bahwa paradima terdahulu tidak mampu menyelesaikan masalah dalam memberikan pelayanan. Adapun dalam New Public Management terdiri dari 7 komponen sebagai berikut :
1. Pemanfaatan managemen professional dalam sektor publik.
2. Adanya standard kinerja dan ukuran kinerja.
3. Penekanan yang lebih besar pada control out put.
4. Pergeseran perhatian kepada unit yang lebih kecil.
5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi.
6. Penekanan gaya sektor swasta pada praktek management.
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan Sumber Daya.
Dalam teori NPM tersebut terdapat standard dan ukuran kinerja sedangkan layanan kepada masyarakat dituntut untuk memberi pelayanan yang bermutu. Adapun pelayanan dikatakan bermutu apabila memenuhi beberapa dimensi, baik waktu, kualitas, biaya maupun moral. Untuk mengetahui bahwa pelayanan itu bermutu dengan standard ukuran yang telah ditetapkan, dimensi waktu yang menjadi salah satu ukuran adalah bagaimana aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam memberi pelayanan kepada para pelanggan memastikan kapan dan berapa waktu yang dibutuhkan dalam pemberian pelayanan tersebut. Untuk itu perlu adanya
15
perencanaan dalam membuat agenda kerja. Sedangkan perencanaan itu menurut Tjokroamidjojo (1994) suatu proses untuk mempersiapkan secara sistematis kegiatan yang dilakukan dalam mencapai tujuan tertentu. Perencanaan dalam sebuah organisasi adalah pendahuluan yang harus dilakukan, sebelum kegiatan pokok dilaksanakan. Perencanaan diperlukan karena adanya keterbatasan sumber daya dan sumber dana agar tidak menyulitkan dalam menentukan suatu kegiatan.
B.2. Hubungan Kinerja Aparatur Publik Dengan Budaya Kerja
Budaya kerja adalah pola tingkah laku dan nilai yang disepakati karyawan dalam menjalankan tugas, karier, dan promosi. Sedangkan menurut Budi Paramita dalam Taliziduhu Ndraha (2005) budaya kerja dibagi dua yaitu: (1) sikap terhadap pekerjaan yang ditunjukkan dengan suka pada pekerjaan daripada santai dan semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjaannya sendiri, atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya, (2) perilaku pada saat bekerja seperti rajin, berdedikasi, bertanggungjawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya dan suka membantu sesama karyawan atau sebaliknya.
Mentalitas aparatur birokrasi di Indonesia belum menampakkan indikasi perwujudan nyata dalam nilai-nilai demokrasi sistem pemerintahan yang menjunjung nilai-nilai kesejajaran yang digerakkan visi dan misi, Mereka belum menunjukkan tanda-tanda perwujudan aksinya. Kesulitan menterjemahkan kerangka baru atau aturan dalam aktivitasnya ini dikarenakan rule driven penggeraknya belum berubah secara total. Kenyataan ini melahirkan dilema dalam pengimplementasiannya. Fenomena yang dialami aparat pemerintah
16
dalam menjalankan tugasnya disamping sangat rendahnya motivasi, kemauan kerja serta inisiatip aparat birokrasi, karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Survey Pelayanan Publik Tahun 2001 pada 3 (tiga) tempat sebagai sample wilayah Indonesia yaitu Sulawsi Selatan, Sumatra Barat dan Yogyakarta oleh PSKK UGM (Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan), terlihat 59% responden penggunaan jasa pelayanan publik menyatakan kinerja pelayanan publik adalah buruk. Kesimpulan dari penelitian tersebut mengatakan bahwa hal itu terjadi karena pelayanan publik masih dilaksanakan dan digerakkan oleh peraturan (rule driven) serta anggaran, dan bukan oleh misi.
Sejak era orde baru telah berkembang berbagai variasi dari birokrasi di Indonesia. Paradigma birokrasi klasik misalnya, memandang aparat sebagai faktor produksi (model “economic man”) yang dapat dimanipulasi. Evaluasi merupakan alat untuk menentukan jenis manipulasi yang pantas diberikan (model “tell and sell”) baik berupa insentif maupun hukuman. Sedangkan paradigma human relations melihat aparat sebagai makhluk sosial (model “social man”) yang kebutuhan sosialnya perlu dipenuhi, sehingga evaluasi kinerja merupakan alat untuk mendengarkan keluhan mereka (model “tell and listen”). Disamping itu, paradigma Sumber Daya Manusia memandang aparat sebagai Sumber Daya (model “human resources”) yang harus dikembangkan untuk meningkatkan martabatnya sekaligus pencapaian tujuan organisasi. Dalam hal ini kegiatan evaluasi kinerja bertujuan untuk memecahkan masalah (model “problem-solving”) baik menyangkut perbaikan metode dan teknik yang digunakan dan optimalisasi hasil yang dicapai. Di era Reformasi berkembang paradigma manajemen publik baru (lihat Hughes, 1994) dengan mengoreksi paradigma terdahulu yang kurang efektif dalam memecahkan masalah, memberikan pelayanan publik, termasuk membangun masyarakat.
17
Gerakan “reinventing government” atau “post-bureaucratic management” merupakan wujud nyata dari paradigma tersebut. managemen publik baru ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi atau model, seperti model pertama adalah “the efficiency drive”, model kedua adalah “downsizing and decentralization”, model ketiga yaitu “in search of excellence” dan model terakhir yaitu “public service orientation”. Pada model terakhir menekankan pada kualitas, misi, dan nilai-nilai yang hendak dicapai organisasi publik, perhatian yang lebih besar kepada aspirasi, kebutuhan, dan partisipasi user dan warga masyarakat, memberikan otoritas yang lebih tinggi kepada pejabat yang dipilih masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka, menekankan “societal learning” dalam pemberian pelayanan publik, dan penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan, partisipasi masyarakat dan akuntabilitas.
Banyak contoh yang dapat diidentifikasi yakni: (1) pelayanan bidang pendidikan, 2) kesehatan, (3) transportasi, (4) fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah tidak memuaskan kebutuhan masyarakat, bahkan kalah bersaing dengan pelayanan yang dikelola oleh pihak swasta. Dikemukakan oleh Norman Flyn (1990) pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara hierarkis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing. Selama ini terdapat kecenderungan bahwa penentuan kualitas pelayanan publik adalah sangat ditentukan oleh pemerintah atau lembaga yang memberikan pelayanan (provider), bukan ditentukan secara bersama-sama antara provider dengan user, customer, client, atau citizen sebagai komunitas masyarakat pengguna jasa pelayanan dan pencerminan demokrasi dalam kemandirian. Padahal pelayanan yang diberikan seharusnya mencerminkan nilai-nilai demokrasi sebagaimana diungkapkan oleh Burns, Hambleton, dan Hogget (1994 : xiv) :
18
“It suggests that change in local government cannot be divorced from wider national and international socioeconomic forces which shape the contextfor local political action. Three major reform strategies public services : the extension of market, new managerialism, and the extension of democracy are considered”.
Dari kutipan singkat di atas menunjukkan bahwa pelayanan publik adalah salah satu unsur yang mendorong perubahan kualitas pemerintah daerah yang sangat dipengaruhi oleh faktor perluasan/ terwujudnya mekanisme pasar, managemen baru yang berkualitas, dan perluasan makna demokrasi.
Birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Sedangkan arah pembangunan kualitas manusia adalah memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan krativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Selain hal tersebut dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayanai, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis. Dengan revitalitas birokrasi publik aparatur pemerintah dalam pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan tugas dan kewenagan yang diberikan kepadanya dapat terwujud. Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public service
19
function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function).
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu Dennis A.Rondinelli (1981) mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik karena kurangnya tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit lokal, kurangnya sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab, adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang, dan kurangnya infrastruktur teknologi serta infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas pelayanan publik.
Selain hal tersebut di atas kegagalan pelayanan publik juga disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hierarkis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter.
Kegiatan pelayanan publik seharusnya sesuai dengan Local Good Governance Index (LGGI) yang digunakan saat ini dalam pengukuran kinerja sistem pemerintah sebagai wujud efektifitas dan efisiensi. Keterkaitan antara konsep good-governance (tata pemerintahan yang baik) dengan konsep public service (pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya. PNS sebagai aparatur birokrasi yang berfungsi sebagai penyedia layanan publik dituntut untuk memiliki kapasitas unggul dalam kinerjanya sebab kinerja mereka yang menentukan keberhasilan birokrasi pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan melakukan tindakan kerja yang profesional.
20
Berkaitan dengan etika kerja perlu penjabaran tentang konsep kerja. Konsep yang menurut George Thomason (1992:24) : An activity which demands the expenditure of energy or effort to create from ‘raw matrials’ those products or services which people value
Etika kerja berhubungan dengan kesadaran etik tentang kerja dan kesadaran etik itu merupakan peristiwa rokhani yang terjadi dalam kalbu manusia ketika dihadapkan pada beberapa pilihan dan bertanggungjawab atas pilihannya tersebut. Menurut Taliziduhu Ndraha ( 2005 h. 209-210) etika kerja identik dengan etos kerja sebagai berikut:
1. Kerja adalah rahmat . Aku bekerja tulus penuh syukur
2. Kerja adalah amanah. Aku bekerja benar penuh tanggungjawab.
3. Kerja adalah panggilan. Aku bekerja tuntas penuh integritas.
4. Kerja adalah aktualisasi. Aku bekerja keras penuh semangat.
5. Kerja adalah ibadah. Aku bekerja serius penuh kecintaan
6. Kerja adalah seni. Aku bekerja kreatif penuh suka cita.
7. Kerja adalah kehormatan. Aku bekerja tekun penuh keunggulan.
8. Kerja adalah pelayanan. Aku bekerja sempurna penuh kerendahan hati.
Dalam pola kerja terjadi hubungan antara pemerintah dan masyarakat, pada saat ini hubungan tersebut terlihat kurang harmonis. Indikasi utama dari fenomena itu adalah sering terjadinya protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah maupun perilaku aparatnya. Aksi protes itu sendiri dilakukan dengan cara yang sangat santun melalui saran di berbagai media sampai dengan tindak kekerasan (violance) berupa penjarahan, perusakan serta terorisme. Inti dari semua itu sesungguhnya bermuara pada satu hal, yakni terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparatnya.
Sebagaimana tersebut di atas di mata masyarakat aparat tidak lagi memperjuangkan kepentingan dan mengusahakan kesejahteraan rakyat. Secara menyolok justru terjadi semacam lomba atau pamer kekayaan di kalangan pejabat tinggi yang jelas sangat menyinggung rasa keadilan masyarakat. Akibatnya gap antara pejabat dengan rakyat semakin menganga lebar, dan pada
21
suatu ketika tidak terjalin sama sekali titik singgung diantara keduannya. Dalam kondisi demikian antara pejabat dengan rakyat seolah-olah menjadi dua pihak yang saling berhadapan secara konfrontatif.
Dalam era demokratisasi, dilema dalam hubungan antara penjabaran nilai-nilai demokrasi dan realitas managemen organisasi birokrasi di masyarakat menjadi hal yang rumit serta problematik. Realitas sosial masyarakat yang dilahirkan serba tidak teratur dan transisi, yang terdiri dari berbagai kelompok majemuk, tampil dengan topeng liberal demokrasi yang menuntut lahirnya sebuah citra perfect dari birokrasi yang berwujud demokratis dalam perspektifnya. Untuk hal tersebut perlu adanya penetapan ukuran dalam pemberian pelayanan minimum sebagaimana dalam Riant Nugroho (2009) dengan indikator sebagai berikut:
1. Meletakkan pelayanan minimum komitmen politik dari pemerintah.
2. Membuat evaluasi kebutuhan pelayanan minimum.
3. Menyusun rancangan strategis pelayanan umum.
4. Melaksanakan pelayanan minimum dalam konteks sektor dan area.
5. Melakukan pendampingan dalam pelayanan minimum.
6. Melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pelayanan minimum.
Kegiatan pelayanan publik seharusnya sesuai dengan kepentingan masyarakat sebagai wujud efektifitas dan efisiensi, terutama untuk anggaran yang akuntabel. Masyarakat mendapat respons Advokasi nilai atas pelayanan yang diterimanya dari kelompok-kelompok intelektual yang dipengaruhi lingkungan pendidikan, NGO, civil society yang menjadi agen demokrasi dalam masyarakat. Dilema yang ditimbulkan adalah keinginan mengimplementasikan paradigma pelayanan secara total kepada masyarakat sesuai tuntutan demokratisasi. Sementara birokrasi dihadapkan kepada keterbatasan supra dan infra struktur.
22
Berkaitan dengan etika birokrasi untuk kepentingan masyarakat maka harus diupayakan penerapan pendekatan yang bersifat teleologis maupun deontologis. Kita menginginkan birokrasi yang terdiri atas manusia yang berkarakter. Karakter yang dilandasi sifat-sifat kebajikan akan menghasilkan kebijakan yang menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan bukan hanya dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang mendasar, tetapi juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting karena dengan semangat kejuangan seorang birokrat, meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan. Seperti yang dicita-citakan oleh kaum “Administrasi Negara Baru”, kinerja birokrasi kita hendaknya memiliki pula semangat keadilan sosial yang akan tercermin dalam keberpihakan kepada yang lemah dalam kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya. Selanjutnya seperti dianjurkan oleh pandangan regime value, kinerja birokrasi kita harus berpegang teguh kepada konstitusi dan segenap ketentuan pelaksanaannya. Sebaliknya, kinerja birokrasi harus menentang setiap upaya yang tidak konstitusional apalagi yang bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, kinerja birokrasi kita juga harus berorientasi pada hasil (result oriented). Kebijakan dan tindakannya harus menjamin bahwa hasilnya adalah yang terbaik untuk masyarakat, dengan mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingannya sendiri. Dari kajian tersebut di atas dapat didiskripsikan bahwa kinerja aparatur publik sangat erat hubungannya dengan budaya kerja dimana aparat tersebut mekukan tugas dan fungsinya.
23
III. PENUTUP
A. Simpulan
Kesejahteraan sosial akan terwujud jika pelayanan yang prima dapat dilakukan oleh aparatur publik, dengan berpijak pada prinsip-prinsip layanan publik dan penentuan standard operasional prosedur layanan publik maka kualitas layanan yang bermutu akan diperoleh. Kepuasan dapat dirasakan oleh pelanggan yang dalam hal ini adalah pelanggan eksternal yaitu masyarakat dan kepuasan juga dapat dirasakan oleh pemberi layanan yaitu aparatur publik. Dalam rangka peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat tentunya aparatur publik akan Nampak cerdas jika menentukan strategi layanan dengan inovasi layanan yang ditetapkan berdasar pada keinginan masyarakat senyampang keinginannya tidak bertentangan dengan peraturan perundangan di Indonesia.
Hubungan antara kinerja aparatur publik dan budaya kerja sangat erat sekali jika dipandang dari kinerja itu adalah performance seseorang yang tercermin dari hasil pekerjaannya. Sedangkan budaya adalah karya dan kebiasaan yang dilakukan aparatur di tempat kerjanya yang dapat berpengaruh pada image Lembaga atau Organisasi dengan citra yang dibentuk sebagai budaya kerja yang baik atau buruk tergantung pada Aparatur Publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
B. Rekomendasi
Dari diskripsi yang telah penulis paparkan di muka dapat direkomendasikan hal sebagai berikut:
1. Kepada aparatur publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat hendaknya berdasar pada standar operasional yang telah ditetapkan dan
24
selalu berorientasi pada pelayanan yang bermutu agar kepuasan atas produk layanan dapat dirasakan
2. Kepada masyarakat atau pelanggan hendaknya mengetahui prosedur layanan yang diinginkan tanpa harus mengotori sebuah produk layanan dengan beberapa kecurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Albrow, Martin. 1989. Birokrasi. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Almond, Gabriel & Bingham Powel. 1996. Comparative Politics Development Approach. Little Brown Company. Bombai. India.
Burns, Danny; Robin Hambleton and Paul Hoggett. 1994. The Politics of Decentralization Revitalizing Local Democracy. London McMillan.
Broadbent, J. And Guthrie, J. 1992. “Changes In The Public Sctor: A Review Of Recent “Alternative’ Accounting Research. Accounting, Auditing & Accountability Journal. 5 (2): 3-31
Crozier, Michel. 1964. The Bureaucratic Phenomenon. University Press. Chicago
Effendi Akhyar. Dkk. 2008. Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang Efektif.
Flyn, Norman. 1990. Public Sector Management Harvester Wheatsheaf. London.
Hughes, O, E. 1998. Public Management. 2nd ed., London Mac Milan Press. London.
Haris, Ramli. 2009. Kepemimpinan yang Efektif di Era Globalisasi. Fakta Nyata. Jakarta.
Nugroho, Riant. 2009. Public policy. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Ndraha, Taliziduhu. 2005. Teori Budaya Organisasi. Rineka Cipta. Jakarta
Osborne, David, dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Plume. New York.
Persons, Wayne. 2006. Public Policy Pengantar dan Teori & Praktek Analisis Kebijakan. Dialih Bahasakan Tri Wibowo Budi Santoso. Kencana. Jakarta.
25
Rondinelli. Dennis, A. 1981. Government Decentralization in Comparative Perspectivve: Theory and Practice in Developing Countries, International Review of Administrative Science XLVII (2)
Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2007. Managemen Pelayanan. Cetakan Kedua. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sutopo, Adi Suryanto. 2006. Pelayanan Prima, LAN. Jakarta.
Stephen P. Robbins, 1994.Teori Organisasi: Struktur Desain dan Aplikasi, Alih Bahasa Jusuf Udaya. Arcan. Jakarta.
Tjokroamidjojo. 1994. Perencanaan Pembangunan. CV. Haji Masagung. Jakarta.
Thomason, George. 1992. A Textbook of Human Resource Management. Institute Of Personnel Management. London.
Yates, Douglas. 1982. Bureaucratic Democracy: The Search For Democracy and Efficiency in American Government. Harvard University Press eambridge