Kamis, 30 Januari 2014

KINERJA APARATUR PUBLIK DALAM PENINGKATAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT


KINERJA APARATUR PUBLIK DALAM PENINGKATAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT
(Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan Golongan III)
OLEH:
Dr. Rofikatul Karimah, M.Si
ABSTRAKS
Judul Karya Tulis ini adalah “Kinerja Aparatur Publik dalam Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat (Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan Golongan III). Latar belakang penulisan ini adalah masih adanya penilaian negative terhadap kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan. Untuk itu rumusan masalahnya bagaimana kinerja aparatur publik meningkatkan layanan kepada masyarakat ? dan sejauhmana hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja ? dengan tujuannya untuk mendiskripsikan kinerja aparatur publik dalam meningkatkan layanan kepada masyarakat dan memaparkan hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja.
Aparatur publik dalam meningkatkan layanan kepada masyarakat selalu berpijak pada prinsip-prinsip layanan publik dan penentuan standard operasional pelayanan, maka kualitas layanan yang bermutu akan diperoleh. peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat yang diberikan aparatur publik akan nampak cerdas jika menentukan strategi layanan dengan inovasi layanan yang ditetapkan berdasar pada keinginan masyarakat, senyampang keinginannya tidak bertentangan dengan peraturan perundangan di Indonesia.
Hubungan antara kinerja aparatur publik dan budaya kerja sangat erat sekali jika dipandang dari kinerja itu adalah performance seseorang yang tercermin dari hasil pekerjaannya. Sedangkan budaya adalah karya dan kebiasaan yang dilakukan aparatur di tempat kerjanya yang dapat berpengaruh pada image Lembaga atau Organisasi dengan citra yang dibentuknya. Adapun rekomendasi yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: (1) kepada aparatur publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat hendaknya berdasar pada standar operasional yang telah ditetapkan dan selalu berorientasi pada pelayanan yang bermutu. (2) kepada masyarakat atau pelanggan hendaknya mengetahui prosedur layanan agar tidak terjadi praktek kecurangan layanan.
Kata Kunci: Kinerja Aparatur, Pelayanan kepada Masyarakat
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi birokrasi yang telah digencarkan dalam rangka penciptaan Pemerintahan yang baik, kiranya masih dalam proses sebagaimana proses demokratisasi yang meluas diberbagai negara dan menggeser peran negara lebih signifikan. Menurut Riant Nugroho (2009) kebutuhan paska demokratisasi adalah pengembangan kebijakan yang unggul dengan mengimplementasikan good governance. Peran rakyat yang mengemuka dan tuntutan akuntabilitas publik serta kecenderungan untuk menempatkan rakyat dalam posisi yang lebih signifikan, menjadi mainstream artikulasi publik luas. Kini administrasi publik bekerja dalam sebuah entitas publik dengan peran negara yang makin menyempit, maka memerlukan kehadiran publik dalam artian aktor-aktor lain di luar negara menjadi lebih penting. Aktor-aktor luar negara dapat berupa asosiasi-asosiasi mandiri dari rakyat, kelompok-kelompok kepentingan, lembaga swadaya masyarakat, dan agen-agen negara yang kehadirannya lebih bersifat spontan yang sering menjadi kontrol kinerja aparatur publik dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.
Berdasar penelitian Derajad S.Widhyharto (2008), beberapa persoalan PNS antara lain adalah penyelewengangan wewenang, gaji kecil, rekrutmen yang bermasalah, dan munculnya korupsi untuk menambah gaji. Senada dengan penelitian tersebut, Akhyar Effendi dkk (2008) menyampaikan bahwa persoalan PNS dapat ditinjau dari tiga perspektif, yakni perspektif sistem (aturan hukum dan kebijakan), kelembagaan dan sumber daya manusia. Lebih lanjut Akhyar Effendi dkk (2008) menyampaikan bahwa kualitas SDM profil PNS masih rendah kualitas dan
3
mentalitasnya akibat rendahnya rasionalitas dan keterkaitan antara sub sistem dalam managemen PNS, mulai dari perencanaan sampai pemberhentian bahkan adanya tumpang tindih menegemen dan urusan kepegawaian sehingga kurang efektif koordinasi antara instansi. Dari pernyataan tersebut dapat digambarkan bahwa penilaian negative terhadap kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan masih perlu peningkatan untuk hal tersebut maka penulis menyajikan karya tulis yang berjudul “Kinerja Aparatur Publik dalam Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat (Kajian Pengembangan Materi Pelayanan Prima pada Diklat Prajabatan Golongan III)
B. Identifikasi Masalah
Pembukaan UUD 1945 pada alinea Empat disebutkan “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…” Berpijak dari landasan konstitusional tersebut menciptakan kesejahteraan umum adalah suatu keharusan. Aparatur Publik yang dalam hal ini adalah pegawai negeri sipil (PNS) dituntut untuk menjalankan tugas dan fungsinya memberikan layanan terbaik kepada masyarakat sesuai dengan standar operasional prosedur. Tanggapan yang disampaikan masyarakat atas layanan aparatur publik melekat erat dengan kinerja dan budaya kerja dimana aparatur tersebut berada. Untuk hal ini identifikasi masalah yang penulis kaji adalah bagaimana kinerja aparatur publik meningkatkan layanan kepada masyarakat, perlukah dirumuskan inovasi layanan dalam meningkatkan kepuasan pelanggan dan sejauhmana hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja.
4
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kinerja aparatur publik meningkatkan layanan kepada masyarakat ?
2. Sejauhmana hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja ?
D. Tujuan Penelitian
Selaras dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan, maka penulis dapat merinci tujuan penulisan yang berkaitan dengan judul di atas sebagai berikut:
1. Untuk mendiskripsikan kinerja aparatur publik dalam meningkatkan layanan kepada masyarakat.
2. Untuk memaparkan hubungan kinerja aparatur publik dengan budaya kerja
II. KERANGKA TEORITIK, TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
A.1. Teori New Public Managemen
Konsep New Public Management pada mulanya dikenalkan oleh Cristopher Hood Tahun 1991 sebagaimana ungkapan Hughes, O.E (1998). Bahwa munculnya New Public Managemen (NPM) di Eropa pada Tahun 1980-1990 karena ingin meninggalkan model administrasi publik tradisional atau model birokrasi klasik menuju pendekatan managemen modern yang lebih fleksibel dan juga disebut sebagai “Managerialism New Public Management, Market Based Public Administration, Post Bureaucratic Paradigm” dan Entrepreneurial Government, namun yang lebih popular dengan sebutan New Public Managemen, yang dikenalkan oleh Osborne dan Gaebler dengan
5
Reinventing Government dan lebih memberi perhatian besar kepada pencapaian kinerja dan akuntabilitas manajer public sehingga organisasi publik terbuka, fleksibel, ramping efisien dan rasional.
Penetapan tujuan organisasi dan personal sangat diperlukan agar dapat berdampak pada pengukuran atas prestasi yang dicapai melalui indikator atau standar kinerja dan ukuran kinerja yang harus dilakukan evaluasi program secara sistematik. Karakteristik NPM juga menekankan pada pengendalian output dan outcome dengan menciptakan persaingan di sektor publik dan penghematan sumber daya serta pemecahan unit kerja di sektor publik. Antara staf dan senior secara politis lebih commit kepada pemerintah yang berfungsi tampak berhadapan dengan pasar misalnya tender. NPM merupakan teori manajemen publik yang beranggapan bahwa praktek managemen swasta lebih baik daripada managemen sektor publik dan perlu diadopsi oleh organisasi sektor publik sebagaimana mekanisme pasar dengan adanya tender (Compulsory Competitive Tendering- CCT) dan adanya privatisasi perusahaan-perusahaan public (Hughes, 1998, Broadbent & Guthrie, 1992) sejalan dengan ungkapan Osborne dan Gaebler (1992) yang menyebutkan Catalytic government; steering rather than rowing” dari NPM menjadi landasan misi birokrasi, pemerintah dalam hal ini cenderung mengurangi fungsinya dengan adanya privatisasi dan bentuk lain dari marketisasi. Konsep NPM memposisikan pengguna layanan sebagai pelanggan yang harus dilayani.
A.2. Birokrasi Pelayanan Publik
Pengertian Birokrasi dikemukakan oleh M de Gournay dalam Albrow, (1989) pada abad ke – 18, hal itu dilakukan untuk memberikan atribut terhadap suatu penyakit yang jelas–jelas dapat merusak system pemerintahan di Perancis yang disebut bureaumania, dalam sejarahnya pemerintah Perancis pada saat itu
6
dikenal memiliki kinerja yang sangat buruk penarikan pajak yang tinggi untuk berpesta, perilaku yang kejam kepada mereka yang kritis. Untuk menyindir kinerja pejabat tersebut dipakei istilah bureaumania yang kemudian muncul kata bureaucratie (Perancis) burokratie (Jerman), burocrazia (Italia) dan bureaucracy (Inggris).
Berkaitan dengan hal tersebut menurut Michel Crozier (1964) konsep birokrasi yang ditandaskan sebagai pemerintah oleh sebuah biro yaitu pemerintah yang oleh sejumlah departemen diisi staf yang ditunjuk dan bukan dipilih atau diorganisasikan secara hirarkis, sedangkan keberadaannya tergantung kepada otoritas yang mutlak. Selain itu birokrasi juga diartikan sebagai rasionalisasi kegiatan kolektif sebagaimana birokrasi Weber.
Adapun perspektif klasik yang diajukan oleh Sosiolog Jerman Max Weber tentang birokrasi disebut juga dengan organisasi yang ideal meski menurut Stephen P. Robbins (1994) model birokrasi weber lebih berupa gambaran yang hipotesis dari pada tentang yang sebenarnya bagaimana kebanyakan organisasi itu distruktur menurutnya sebagai berikut:
1. Pembagian kerja, dalam hal ini pekerjaan dari setiap orang dipecah-pecah atau dibagi sampai pada pekerjaan-pekerjaan yang sederhana, rutin dan ditetapkan dengan jelas.
2. Hierarki kewenangan yang jelas adalah sebuah struktur multi tingkat yang formal, dengan posisi hierarki atau jabatan yang memastikan bahwa setiap jabatan yang lebih rendah berada di bawah supervise dan control dari yang lebih tinggi.
3. Formalisasi yang tinggi yaitu ketergantungan kepada peraturan dan prosedur yang formal untuk memastikan adanya keseragaman dan untuk mengatur perilaku pemegang pekerjaan.
7
4. Bersifat tidak pribadi (impersonal) yakni sanksi-sanksi yang diterapkan secara seragam dan tanpa perasaan pribadi untuk menghindari keterlibatan dengan kepribadian individual dan preference pribadi para anggota.
5. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kemampuan. Keputusan seleksi dan promosi berdasar atas kualifikasi teknis, kemampuan dan prestasi para calon.
6. Jejak karier bagi para pegawai, hal ini dimaksudkan bagi para pegawai untuk mengejar karier dalam sebuah organisasi dan sebagai imbalan atas komitmen terhadap karier tersebut. Para pegawai mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan dipertahankan walaupun mereka kehabisan tenaga atau kepandaiannya tidak terpakai lagi.
7. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi. Maksudnya adalah kebutuhan dan minat pribadi dipisahkan sepenuhnya agar keduanya tidak mencampuri sikap impersonal pada aktifitas organisasi yang bersifat rasional.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut di atas birokrasi tidak terlepas dari administrasi publik, karena di dalam birokrasi terjadi hubungan antara kepentingan manusia yang dijalankan secara rutinitas, terus menerus setiap hari dengan adanya wewenang dan kekuasaan serta beberapa pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan sebuah birokrasi harus berorientasi pada prisip pelayanan publik yaitu sesuatu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh penyelenggara negara sebagaimana ungkapan Riant Nugroho (2009) bahwa tugas pelayanan publik adalah tugas memberikan pelayanan kepada umum tanpa membeda-bedakan dan diberikan secara cuma-cuma atau sedemikian rupa sehingga kelompok paling tidak mampu juga bisa mendapat pelayanan. Tugas ini diemban oleh negara yang dilaksanakan melalui ekskutif. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) No.
8
63 Tahun 2003 sebagai penyempurnaan keputusan MENPAN No. 81 Tahun 1993 mengidentifikasikan pelayanan umum adalah pelayanan sebagai segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat dan di Daerah dan lingkungan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
A.3. Tipologi Dan Budaya Birokrasi
Menurut Ramli Haris (2009) tipologi birokrasi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, dari perspektif otoritasnya, dikenal dengan adanya birokrasi tradisional, karismatik dan birokrasi legal-rasional. Dari perspektif derajat keterbukaan, lebih lanjut Ramli Haris menyampaikan bahwa Lee (1971) mengklasifikasikan ke dalam birokrasi terbuka, campuran dan tertutup. Derajad keterbukaan birokrasi dapat dilihat dari aksesibilitas masyarakat untuk berhubungan dengan birokrasi, luasnya pelaksanaan recruitment, kebebasan kelompok lain untuk memasuki jajaran eselon birokrasi tingkat menengah dan tingkat tinggi serta derajad kesediaan birokrasi untuk mendistribusikan kekuasaannya kepada kelompok lain.
Berkaitan dengan hal birokrasi menurut Riant Nugroho (2009) konsep awal yang mendasari gagasan moderen tentang birokrasi berasal dari tulisan-tulisan Max Weber, seorang Sosiolog Jerman, dengan karyanya The Theory of Social and Economic Organization yang mengetengahkan ciri-ciri pokok dari birokrasi idial sebagai berikut:
1. Para anggotanya (staf) secara pribadi bebas dan hanya melakukan tugas-tugas impersonal dari jabat-jabatannya.
2. Ada hirarki jabatan yang jelas.
9
3. Fungsi-fungsi jabatan diperinci dengan jelas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan kontrak.
5. Mereka diseleksi berdasarkan atas kualifikasi profesional yang secara ideal diperkuat dengan diploma yang diperoleh melalui ujian.
6. Mereka digaji dengan uang dan mendapat pensiun.
7. Pekerjaan pejabat adalah pekerjaan yang satu-satunya.
8. Ada struktur karier dan kenaikan pangkat yang mungkin baik melalui senioritas maupun pretasi dan sesuai dengan penilaian para atasan.
9. Pejabat tidak boleh mengambil kedudukannya sebagai miliknya pribadi begitu pula sumber yang menyertai kedudukannya itu.
10. Pejabat tunduk pada pengendalian dan system disipliner.
Birokrasi dengan ciri-ciri tersebut di atas adalah birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi organisasi untuk itulah hal demikian di sebut birorasionalitas dan biroefisiensi yang tidak efisien disebut pemborosan atau biropatologi. Menurut Yates (1982) model dominan birokrasi pemerintah itu ada dua yaitu: demokrasi pluralis (pluralist democracy) dan Efisiensi administratif (administrative efficiency). Pembagiannya untuk pluralis demokrasi adalah: (1) adanya beraneka ragam kepentingan kelompok dan proses politik yang saling bersaing, (2) pemerintah harus memberi tawaran kepada beraneka ragam kelompok tersebut untuk mendapatkan butir-butir masalah dan sarana partisipasi, (3) pemerintah harus memiliki pusat-pusat kekuasaan yang banyak dan menyebar baik vertikal maupun horizontal untuk menjamin persaingan ambisi dan menghasilkan perimbangan kekuasaan, (4) pemerintah dan politik lebih baik difahami sebagai persaingan diantara kepentingan-kepentingan minoritas, (5) dalam proses pengambilan keputusan dimungkinkan bahwa kelompok yang aktif dan sah dari penduduk membuat mereka mendengar secara efektif, (6) persaingan antara lembaga pemerintah dan kelompok-kelompok
10
kepentingan diharapkan tidak adanya tawar menawar kompromi dan menghasilkan keseimbangan kekuasaan umum di masyarakat.
B. Temuan Dan Pembahasan
B.1. Kinerja Aparatur Publik Dalam Meningkatkan Layanan Kepada Masyarakat
Kinerja pelayanna publik pada umumnya adalah dapat memuaskan masyarakat tanpa memandang apapun. Untuk itu dalam penyelenggaraan pelayanan publik dituntut kualitas prima yang tercermin dari prinsip-prinsip pelayanan publik sebagaimana Sutopo dan Adi Suryanto (2006) menyebutkan antara lain:
1. Kesederhanaan, prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah difahami dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan yang dalam hal ini jelas untuk hal berikut:
a. Persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik.
b. Unit kerja/ pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan.
c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
3. Kepastian waktu, pelaksanaan pelayanan publik dengan menentukan kepastian waktu penyelesaian.
4. Akurasi yaitu produk pelayanan publik yang diterima dengan benar, tepat dan sah.
5. Keamanan, proses dan produk pelayanan memberi rasa aman dan kepastian hukum.
6. Tanggungjawab adalah pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana menyangkut kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai.
11
8. Kemudahan akses, tempat dan lokasi sarana pelayanan yang mudah dijangkau.
9. Kedisiplinan, keramahan dan kesopanan dalam hal ini pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, ramah dan santun.
10. Kenyamanan yaitu lingkungan pelayanan yang tertib, nyaman, bersih dan rapi.
Lebih lanjut Ratminto dan Atik Winarsih (2007) mengatakan bahwa penyelenggaraan pelayanana publik dituntut dengan kualitas pelayanan prima sebagai berikut:
1. Transparansi yaitu pelayanan bersifat terbuka, mudah diakses dan disediakan secara memadai dan mudah untuk dimengerti.
2. Akuntabilitas yaitu pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang ditetapkan.
3. Kondisional yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
4. Partisipatif yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.
5. Persamaan hak yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi.
6. Keseimbangan hak dan kewajiban yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.
Teori New Publik Management sebagai cara untuk mengelola organisasi sektor publik yang menjadi tuntutan masyarakat agar sektor publik menghasilkan produk barang atau jasa yang berkualitas tinggi atau sama
12
dengan yang dihasilkan sektor swasta. Pada intinya organisasi publik perlu belajar pada organisasi privat dan bisnis. Tapi bagi yang menolak atau kontra terhadap teori tersebut beralasan bahwa praktek managemen sektor swasta tidak selamanya baik dan jika diadopsi berarti mengadopsi keburukan sektor swasta kesektor publik, NPM bertentangan dengan prinsip demokrasi juga model lama dengan standar etika yang tinggi dan sebagai kapitalisme yang masuk pada sektor publik, NPM dianggapnya sebagai swasta sentries. Pelayanan publik tidak selamanya bisa dikatakan bahwa publik adalah konsumen akan tetapi publik adalah warga negara yang berhak mendapatkan pelayanan dari pemerintah dan mempunyai wewenang untuk memberikan pelayanan, sedangkan pelayanan prima dalam swasta terjadi jika ada transaksi jual beli dan tawar menawar harga.
New Publik Management sebagai reformasi total sektor publik pada dasarnya tidak hanya di Negara maju saja tapi juga pada Negara berkembang yang dipengaruhi oleh Inggris, Amerika Serikat, Kanada, New Zealand dan juga dipengaruhi oleh peran World Bank, UNDP dan IMF. Selain itu NPM tergantung pada factor kontingensi local (localized contingency) faktor korupsi dan lemahnya administrasi sangat berpengaruh pada kinerja pemerintah tetapi localized contingency lebih besar menentukan berhasil dan gagalnya upaya reformasi. Berkaitan dengan hal tersebut karya David Osborne dan Ted Gaebler yang berjudul “Reinventing Government” (1992) sebagaimana yang dikutip oleh Wayne Persons (2006) bahwa Reinventing Government sangat berpengaruh dalam reformasi pemerintahan dan mendesak agar pemerintah ditata ulang (reinvented) dengan semangat entrepreneurship lebih terdesntralisasi dan lebih responsif pada bentuk organisasi public, adapun 10 prinsip penataan ulang pemerintahan (reinventing government) adalah: (1) pemerintah harus lebih banyak menata
13
daripada berdebat, (2) pembuatan kebijakan harus mengedepankan pemberdayaan komunitas, bukan sekedar memberikan pelayanan, (3) pemerintah mendorong kompetisi dalam memberikan pelayanan bukan monopoli (4) organisasi publik harus digerakkan oleh sense of mission dari pada aturan, (5) pendanaan harus difokuskan pada hasil daripada input, (6) organisasi publik harus berkonsentrasi bukan hanya pada pengembangan tapi pada pemasukan juga, (7) kebutuhan masyarakat harus menjadi prioritas, bukan kebutuhan birokrat, (8) lebih baik mencegah daripada mengobati, (9) otoritas harus didesentralisasikan, (10) pemecahan problem dengan melibatkan pasar bukan hanya dengan menciptakan program publik semata.
Pengadopsian terhadap NPM dari Barat ke Negara-negara berkembang sangat bervariasi sebagaimana Malaysia yang menerapkan Total Qualiy Management (TQM) yang sukses dalam penerapannya namun tidak untuk Bangladesh dan beberapa negara di Afrika yang banyak mengalami kegagalan dalam implementasinya. Adapun beberapa permasalahan yang timbul dalam penerapan NPM di Negara-negara berkembang antara lain; (1) NPM didasarkan pada penerapan prinsip mekanisme pasar atas kebijakan publik dan managemennya terkait dengan pengurangan peran pemerintah yang digantikan oleh pengembangan pasar yakni dari pendekatan pemerintah sentries (state centered) menjadi pasar sentries (market centered approach) negara berkembang pengalaman pasarnya masih sangat sedikit dan lebih dikuasai oleh perusahaan asing dan bukan perusahaan local. Sementara itu pasar di Negara berkembang tidak efektif karena tidak ada kepastian hukum. (2) karena pasar di Negara berkembang belum kuat maka privatisasi akan dipegang oleh perusahaan asing atau kalangan tertentu yang bisa membahayakan karena memunculkan
14
keretakan sosial (3) sistem mekanisme birokrasi yang berubah menjadi sistem mekanisme pasar, jika tidak dilakukan secara hati-hati bisa menumbuhkembangkan korupsi. (4) lemahnya penegakan hukum, Sumber Daya Manusia dan kapabilitas warga negara bukan pelanggan.
Pernyataan tersebut di atas juga dikenal dengan New Public Management, paradigma ini menganggap bahwa paradima terdahulu tidak mampu menyelesaikan masalah dalam memberikan pelayanan. Adapun dalam New Public Management terdiri dari 7 komponen sebagai berikut :
1. Pemanfaatan managemen professional dalam sektor publik.
2. Adanya standard kinerja dan ukuran kinerja.
3. Penekanan yang lebih besar pada control out put.
4. Pergeseran perhatian kepada unit yang lebih kecil.
5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi.
6. Penekanan gaya sektor swasta pada praktek management.
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan Sumber Daya.
Dalam teori NPM tersebut terdapat standard dan ukuran kinerja sedangkan layanan kepada masyarakat dituntut untuk memberi pelayanan yang bermutu. Adapun pelayanan dikatakan bermutu apabila memenuhi beberapa dimensi, baik waktu, kualitas, biaya maupun moral. Untuk mengetahui bahwa pelayanan itu bermutu dengan standard ukuran yang telah ditetapkan, dimensi waktu yang menjadi salah satu ukuran adalah bagaimana aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam memberi pelayanan kepada para pelanggan memastikan kapan dan berapa waktu yang dibutuhkan dalam pemberian pelayanan tersebut. Untuk itu perlu adanya
15
perencanaan dalam membuat agenda kerja. Sedangkan perencanaan itu menurut Tjokroamidjojo (1994) suatu proses untuk mempersiapkan secara sistematis kegiatan yang dilakukan dalam mencapai tujuan tertentu. Perencanaan dalam sebuah organisasi adalah pendahuluan yang harus dilakukan, sebelum kegiatan pokok dilaksanakan. Perencanaan diperlukan karena adanya keterbatasan sumber daya dan sumber dana agar tidak menyulitkan dalam menentukan suatu kegiatan.
B.2. Hubungan Kinerja Aparatur Publik Dengan Budaya Kerja
Budaya kerja adalah pola tingkah laku dan nilai yang disepakati karyawan dalam menjalankan tugas, karier, dan promosi. Sedangkan menurut Budi Paramita dalam Taliziduhu Ndraha (2005) budaya kerja dibagi dua yaitu: (1) sikap terhadap pekerjaan yang ditunjukkan dengan suka pada pekerjaan daripada santai dan semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjaannya sendiri, atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya, (2) perilaku pada saat bekerja seperti rajin, berdedikasi, bertanggungjawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya dan suka membantu sesama karyawan atau sebaliknya.
Mentalitas aparatur birokrasi di Indonesia belum menampakkan indikasi perwujudan nyata dalam nilai-nilai demokrasi sistem pemerintahan yang menjunjung nilai-nilai kesejajaran yang digerakkan visi dan misi, Mereka belum menunjukkan tanda-tanda perwujudan aksinya. Kesulitan menterjemahkan kerangka baru atau aturan dalam aktivitasnya ini dikarenakan rule driven penggeraknya belum berubah secara total. Kenyataan ini melahirkan dilema dalam pengimplementasiannya. Fenomena yang dialami aparat pemerintah
16
dalam menjalankan tugasnya disamping sangat rendahnya motivasi, kemauan kerja serta inisiatip aparat birokrasi, karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Survey Pelayanan Publik Tahun 2001 pada 3 (tiga) tempat sebagai sample wilayah Indonesia yaitu Sulawsi Selatan, Sumatra Barat dan Yogyakarta oleh PSKK UGM (Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan), terlihat 59% responden penggunaan jasa pelayanan publik menyatakan kinerja pelayanan publik adalah buruk. Kesimpulan dari penelitian tersebut mengatakan bahwa hal itu terjadi karena pelayanan publik masih dilaksanakan dan digerakkan oleh peraturan (rule driven) serta anggaran, dan bukan oleh misi.
Sejak era orde baru telah berkembang berbagai variasi dari birokrasi di Indonesia. Paradigma birokrasi klasik misalnya, memandang aparat sebagai faktor produksi (model “economic man”) yang dapat dimanipulasi. Evaluasi merupakan alat untuk menentukan jenis manipulasi yang pantas diberikan (model “tell and sell”) baik berupa insentif maupun hukuman. Sedangkan paradigma human relations melihat aparat sebagai makhluk sosial (model “social man”) yang kebutuhan sosialnya perlu dipenuhi, sehingga evaluasi kinerja merupakan alat untuk mendengarkan keluhan mereka (model “tell and listen”). Disamping itu, paradigma Sumber Daya Manusia memandang aparat sebagai Sumber Daya (model “human resources”) yang harus dikembangkan untuk meningkatkan martabatnya sekaligus pencapaian tujuan organisasi. Dalam hal ini kegiatan evaluasi kinerja bertujuan untuk memecahkan masalah (model “problem-solving”) baik menyangkut perbaikan metode dan teknik yang digunakan dan optimalisasi hasil yang dicapai. Di era Reformasi berkembang paradigma manajemen publik baru (lihat Hughes, 1994) dengan mengoreksi paradigma terdahulu yang kurang efektif dalam memecahkan masalah, memberikan pelayanan publik, termasuk membangun masyarakat.
17
Gerakan “reinventing government” atau “post-bureaucratic management” merupakan wujud nyata dari paradigma tersebut. managemen publik baru ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi atau model, seperti model pertama adalah “the efficiency drive”, model kedua adalah “downsizing and decentralization”, model ketiga yaitu “in search of excellence” dan model terakhir yaitu “public service orientation”. Pada model terakhir menekankan pada kualitas, misi, dan nilai-nilai yang hendak dicapai organisasi publik, perhatian yang lebih besar kepada aspirasi, kebutuhan, dan partisipasi user dan warga masyarakat, memberikan otoritas yang lebih tinggi kepada pejabat yang dipilih masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka, menekankan “societal learning” dalam pemberian pelayanan publik, dan penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan, partisipasi masyarakat dan akuntabilitas.
Banyak contoh yang dapat diidentifikasi yakni: (1) pelayanan bidang pendidikan, 2) kesehatan, (3) transportasi, (4) fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah tidak memuaskan kebutuhan masyarakat, bahkan kalah bersaing dengan pelayanan yang dikelola oleh pihak swasta. Dikemukakan oleh Norman Flyn (1990) pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara hierarkis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing. Selama ini terdapat kecenderungan bahwa penentuan kualitas pelayanan publik adalah sangat ditentukan oleh pemerintah atau lembaga yang memberikan pelayanan (provider), bukan ditentukan secara bersama-sama antara provider dengan user, customer, client, atau citizen sebagai komunitas masyarakat pengguna jasa pelayanan dan pencerminan demokrasi dalam kemandirian. Padahal pelayanan yang diberikan seharusnya mencerminkan nilai-nilai demokrasi sebagaimana diungkapkan oleh Burns, Hambleton, dan Hogget (1994 : xiv) :
18
“It suggests that change in local government cannot be divorced from wider national and international socioeconomic forces which shape the contextfor local political action. Three major reform strategies public services : the extension of market, new managerialism, and the extension of democracy are considered”.
Dari kutipan singkat di atas menunjukkan bahwa pelayanan publik adalah salah satu unsur yang mendorong perubahan kualitas pemerintah daerah yang sangat dipengaruhi oleh faktor perluasan/ terwujudnya mekanisme pasar, managemen baru yang berkualitas, dan perluasan makna demokrasi.
Birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Sedangkan arah pembangunan kualitas manusia adalah memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan krativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Selain hal tersebut dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayanai, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis. Dengan revitalitas birokrasi publik aparatur pemerintah dalam pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan tugas dan kewenagan yang diberikan kepadanya dapat terwujud. Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public service
19
function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function).
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu Dennis A.Rondinelli (1981) mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik karena kurangnya tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit lokal, kurangnya sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab, adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang, dan kurangnya infrastruktur teknologi serta infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas pelayanan publik.
Selain hal tersebut di atas kegagalan pelayanan publik juga disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hierarkis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter.
Kegiatan pelayanan publik seharusnya sesuai dengan Local Good Governance Index (LGGI) yang digunakan saat ini dalam pengukuran kinerja sistem pemerintah sebagai wujud efektifitas dan efisiensi. Keterkaitan antara konsep good-governance (tata pemerintahan yang baik) dengan konsep public service (pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya. PNS sebagai aparatur birokrasi yang berfungsi sebagai penyedia layanan publik dituntut untuk memiliki kapasitas unggul dalam kinerjanya sebab kinerja mereka yang menentukan keberhasilan birokrasi pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan melakukan tindakan kerja yang profesional.
20
Berkaitan dengan etika kerja perlu penjabaran tentang konsep kerja. Konsep yang menurut George Thomason (1992:24) : An activity which demands the expenditure of energy or effort to create from ‘raw matrials’ those products or services which people value
Etika kerja berhubungan dengan kesadaran etik tentang kerja dan kesadaran etik itu merupakan peristiwa rokhani yang terjadi dalam kalbu manusia ketika dihadapkan pada beberapa pilihan dan bertanggungjawab atas pilihannya tersebut. Menurut Taliziduhu Ndraha ( 2005 h. 209-210) etika kerja identik dengan etos kerja sebagai berikut:
1. Kerja adalah rahmat . Aku bekerja tulus penuh syukur
2. Kerja adalah amanah. Aku bekerja benar penuh tanggungjawab.
3. Kerja adalah panggilan. Aku bekerja tuntas penuh integritas.
4. Kerja adalah aktualisasi. Aku bekerja keras penuh semangat.
5. Kerja adalah ibadah. Aku bekerja serius penuh kecintaan
6. Kerja adalah seni. Aku bekerja kreatif penuh suka cita.
7. Kerja adalah kehormatan. Aku bekerja tekun penuh keunggulan.
8. Kerja adalah pelayanan. Aku bekerja sempurna penuh kerendahan hati.
Dalam pola kerja terjadi hubungan antara pemerintah dan masyarakat, pada saat ini hubungan tersebut terlihat kurang harmonis. Indikasi utama dari fenomena itu adalah sering terjadinya protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah maupun perilaku aparatnya. Aksi protes itu sendiri dilakukan dengan cara yang sangat santun melalui saran di berbagai media sampai dengan tindak kekerasan (violance) berupa penjarahan, perusakan serta terorisme. Inti dari semua itu sesungguhnya bermuara pada satu hal, yakni terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparatnya.
Sebagaimana tersebut di atas di mata masyarakat aparat tidak lagi memperjuangkan kepentingan dan mengusahakan kesejahteraan rakyat. Secara menyolok justru terjadi semacam lomba atau pamer kekayaan di kalangan pejabat tinggi yang jelas sangat menyinggung rasa keadilan masyarakat. Akibatnya gap antara pejabat dengan rakyat semakin menganga lebar, dan pada
21
suatu ketika tidak terjalin sama sekali titik singgung diantara keduannya. Dalam kondisi demikian antara pejabat dengan rakyat seolah-olah menjadi dua pihak yang saling berhadapan secara konfrontatif.
Dalam era demokratisasi, dilema dalam hubungan antara penjabaran nilai-nilai demokrasi dan realitas managemen organisasi birokrasi di masyarakat menjadi hal yang rumit serta problematik. Realitas sosial masyarakat yang dilahirkan serba tidak teratur dan transisi, yang terdiri dari berbagai kelompok majemuk, tampil dengan topeng liberal demokrasi yang menuntut lahirnya sebuah citra perfect dari birokrasi yang berwujud demokratis dalam perspektifnya. Untuk hal tersebut perlu adanya penetapan ukuran dalam pemberian pelayanan minimum sebagaimana dalam Riant Nugroho (2009) dengan indikator sebagai berikut:
1. Meletakkan pelayanan minimum komitmen politik dari pemerintah.
2. Membuat evaluasi kebutuhan pelayanan minimum.
3. Menyusun rancangan strategis pelayanan umum.
4. Melaksanakan pelayanan minimum dalam konteks sektor dan area.
5. Melakukan pendampingan dalam pelayanan minimum.
6. Melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pelayanan minimum.
Kegiatan pelayanan publik seharusnya sesuai dengan kepentingan masyarakat sebagai wujud efektifitas dan efisiensi, terutama untuk anggaran yang akuntabel. Masyarakat mendapat respons Advokasi nilai atas pelayanan yang diterimanya dari kelompok-kelompok intelektual yang dipengaruhi lingkungan pendidikan, NGO, civil society yang menjadi agen demokrasi dalam masyarakat. Dilema yang ditimbulkan adalah keinginan mengimplementasikan paradigma pelayanan secara total kepada masyarakat sesuai tuntutan demokratisasi. Sementara birokrasi dihadapkan kepada keterbatasan supra dan infra struktur.
22
Berkaitan dengan etika birokrasi untuk kepentingan masyarakat maka harus diupayakan penerapan pendekatan yang bersifat teleologis maupun deontologis. Kita menginginkan birokrasi yang terdiri atas manusia yang berkarakter. Karakter yang dilandasi sifat-sifat kebajikan akan menghasilkan kebijakan yang menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan bukan hanya dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang mendasar, tetapi juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting karena dengan semangat kejuangan seorang birokrat, meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan. Seperti yang dicita-citakan oleh kaum “Administrasi Negara Baru”, kinerja birokrasi kita hendaknya memiliki pula semangat keadilan sosial yang akan tercermin dalam keberpihakan kepada yang lemah dalam kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya. Selanjutnya seperti dianjurkan oleh pandangan regime value, kinerja birokrasi kita harus berpegang teguh kepada konstitusi dan segenap ketentuan pelaksanaannya. Sebaliknya, kinerja birokrasi harus menentang setiap upaya yang tidak konstitusional apalagi yang bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, kinerja birokrasi kita juga harus berorientasi pada hasil (result oriented). Kebijakan dan tindakannya harus menjamin bahwa hasilnya adalah yang terbaik untuk masyarakat, dengan mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingannya sendiri. Dari kajian tersebut di atas dapat didiskripsikan bahwa kinerja aparatur publik sangat erat hubungannya dengan budaya kerja dimana aparat tersebut mekukan tugas dan fungsinya.
23
III. PENUTUP
A. Simpulan
Kesejahteraan sosial akan terwujud jika pelayanan yang prima dapat dilakukan oleh aparatur publik, dengan berpijak pada prinsip-prinsip layanan publik dan penentuan standard operasional prosedur layanan publik maka kualitas layanan yang bermutu akan diperoleh. Kepuasan dapat dirasakan oleh pelanggan yang dalam hal ini adalah pelanggan eksternal yaitu masyarakat dan kepuasan juga dapat dirasakan oleh pemberi layanan yaitu aparatur publik. Dalam rangka peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat tentunya aparatur publik akan Nampak cerdas jika menentukan strategi layanan dengan inovasi layanan yang ditetapkan berdasar pada keinginan masyarakat senyampang keinginannya tidak bertentangan dengan peraturan perundangan di Indonesia.
Hubungan antara kinerja aparatur publik dan budaya kerja sangat erat sekali jika dipandang dari kinerja itu adalah performance seseorang yang tercermin dari hasil pekerjaannya. Sedangkan budaya adalah karya dan kebiasaan yang dilakukan aparatur di tempat kerjanya yang dapat berpengaruh pada image Lembaga atau Organisasi dengan citra yang dibentuk sebagai budaya kerja yang baik atau buruk tergantung pada Aparatur Publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
B. Rekomendasi
Dari diskripsi yang telah penulis paparkan di muka dapat direkomendasikan hal sebagai berikut:
1. Kepada aparatur publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat hendaknya berdasar pada standar operasional yang telah ditetapkan dan
24
selalu berorientasi pada pelayanan yang bermutu agar kepuasan atas produk layanan dapat dirasakan
2. Kepada masyarakat atau pelanggan hendaknya mengetahui prosedur layanan yang diinginkan tanpa harus mengotori sebuah produk layanan dengan beberapa kecurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Albrow, Martin. 1989. Birokrasi. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Almond, Gabriel & Bingham Powel. 1996. Comparative Politics Development Approach. Little Brown Company. Bombai. India.
Burns, Danny; Robin Hambleton and Paul Hoggett. 1994. The Politics of Decentralization Revitalizing Local Democracy. London McMillan.
Broadbent, J. And Guthrie, J. 1992. “Changes In The Public Sctor: A Review Of Recent “Alternative’ Accounting Research. Accounting, Auditing & Accountability Journal. 5 (2): 3-31
Crozier, Michel. 1964. The Bureaucratic Phenomenon. University Press. Chicago
Effendi Akhyar. Dkk. 2008. Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang Efektif.
Flyn, Norman. 1990. Public Sector Management Harvester Wheatsheaf. London.
Hughes, O, E. 1998. Public Management. 2nd ed., London Mac Milan Press. London.
Haris, Ramli. 2009. Kepemimpinan yang Efektif di Era Globalisasi. Fakta Nyata. Jakarta.
Nugroho, Riant. 2009. Public policy. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Ndraha, Taliziduhu. 2005. Teori Budaya Organisasi. Rineka Cipta. Jakarta
Osborne, David, dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Plume. New York.
Persons, Wayne. 2006. Public Policy Pengantar dan Teori & Praktek Analisis Kebijakan. Dialih Bahasakan Tri Wibowo Budi Santoso. Kencana. Jakarta.
25
Rondinelli. Dennis, A. 1981. Government Decentralization in Comparative Perspectivve: Theory and Practice in Developing Countries, International Review of Administrative Science XLVII (2)
Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2007. Managemen Pelayanan. Cetakan Kedua. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sutopo, Adi Suryanto. 2006. Pelayanan Prima, LAN. Jakarta.
Stephen P. Robbins, 1994.Teori Organisasi: Struktur Desain dan Aplikasi, Alih Bahasa Jusuf Udaya. Arcan. Jakarta.
Tjokroamidjojo. 1994. Perencanaan Pembangunan. CV. Haji Masagung. Jakarta.
Thomason, George. 1992. A Textbook of Human Resource Management. Institute Of Personnel Management. London.
Yates, Douglas. 1982. Bureaucratic Democracy: The Search For Democracy and Efficiency in American Government. Harvard University Press eambridge

Senin, 20 Januari 2014

UNSUR RELIGIUS “ROMAN DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”

1
UNSUR RELIGIUS
“ROMAN DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH” KARYA HAMKA
DITINJAU DARI SUDUT PSIKOLOGI, PHISIK,DAN SOSIOLOGI
Oleh : Mohammad Zuhdi
Abstract
Roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” by Hamka is suitable to use as
learning material of Indonesian, especially the learning of literate
appreciation. We can take many lessons from this roman. Students
can sowe the problem if they face problem in “love” related to their
age as “teenagers” it is because the religious co mponents explicitly
in this roman
Key words: -Roman
-Relegous
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Bukan dikatakan ilmu bila suatu pengetahuan tidak membawa
manfaat bagi kehidupan manusia, di samping syarat -syarat lain yang
menjadi standar apakah suatu pengetahuan itu dapat dikatakan ilmu
atau bukan ilmu. Demikian juga karya sastra, yang di sebut ilmu
sastra, di samping membawa manfaat bagi manusia juga memenuhi
syarat lain untuk dapat dikatan sebagai ilmu. Syarat lain yang
dimaksud adalah misalnya, memiliki teori sendiri, kritik sendiri,
sejarah sendiri. Gubahan atau hasil karya sastra yang lain dapat
mempengaruhi pembacanya, baik cara berfikir, cara berperilaku,
menilai baik dan buruk serta mengenai benar dan salah.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Alfon Taryadi dalam
bukunya “ Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra dan Kemampuan
2
Bahasa” karangan Suyitno bahwa kegunaan sastra antara lain
adalah:
a. Merupakan salah satu sarana yang ampuh untuk memanusiakan
diri dan lingkungan kita.
b. Dapat memperkaya wawasan kita tetang kehidupan, menggugah
kecintaan kepada hidup, merangsang kreatifitas dan semangat
untuk menyempurnakan diri.
c. Menumbuhkan kepercayaan diri dan memupuk rasa identitas
sebagai bangsa.(2005:1)
Sedangkan A. Teew mengemukakan dalam bukunya
“Khasanah Sastra Indonesia”, bahwa: Sastra sebagai jalan ke -empat
ke kebenaran adalah pemakaian bahas a yang di mana-mana kita
dapati, di samping agama ilmu pengetahuan, dan filsafat. (2002:7)J.
Culler mengemukakan dalam buku “Kritik Sastra” karangan Mursal
Esten, bahwa roman bertindak sebagai model lewat mana
masyarakat membayangkan diri sendiri, penutura n, dan lewat mana
disendikan dunia.(1994:229) Bertolak dari berbagai pendapat para
tokoh sastra tersebut di atas dapat disimpulkan, betapa ilmu sastra
sangat bermanfaat bagi manusia dalam memperoleh wacana,
bagaimana menyikapi hidup dan kehidupan agar perj alanan hidup ini
menjadi lebih bermanfaat, lebih bijak dan sesuai dengan arti falsafah
hidup, dan kehidupan ini.
Bertolak dari paparan di atas penulis ingin mengaitkan isi roman
“Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka ini dengan pembelajaran
apresiasi sastra pada siswa, Penulis berasumsi, bahwa kondisi siswa
yang pada umumnya mereka masih membutuhkan arahan,
bimbingan dan teladan dalam memilih jalan hidup dan identitas diri.
agar jalan hidup mereka berada di jalan yang benar dan bijak dalam
mengarungi kehidupan. Roman yang banyak menampilkan perilaku
positif dari tokoh utama dengan sifat yang religius ini , menurut penulis
penting dan sangat bermanfaat sebagai renungan bagi siswa yang
3
menginjak dewasa, karena bukan tidak mungkin suatu saat mereka
akan mengalami masalah sebagaimana yang diceritakan dalam
roman ini. Atau paling tidak mereka memiliki strategi sebagai
antisipasi bagaimana memilih jalan hidup yang baik bila suatu saat
mereka menemui masalah semacam itu.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan roman ini bagi siswa adalah:
a. Untuk mengetahui sejauh mana unsur Relegius yang ada pada
roman “Di bawah Lindungan Ka’bah” ini.
b. Untuk dipakai sebagai teladan dan wawasan bagi para siswa
dalam mengarungi hidup mereka.supaya terhindar dari hal -hal
yang negative.
c. Untuk mengetahui gambaran kebudayaan masyarakat pada masa
lalu.
1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan roman ini di bagi dua
yaitu manfaat bagi siswa dan manfaat bagi guru
a. Manfaat bagi siswa adalah :
- Siswa mengetahui unsure reli gius yang terdapat roman
tersebut
- Siswa dapat mengambil contoh dari isi roman itu untuk
dijadikan wawasan dalam mengambil kebijakan yang benar
dalam masalahyang serupa.
- Siswa mengetahui budaya masyarakat pada jaman dulu.
b. Manfaat bagi guru adalah;
- Guru dapat mempersiapkan strategi pembelajaran Apresiasi
sastra dengan baik.
- Guru dapat melakukan proses KBM dengan mengaitkan isi
roman itu dengan kondisi siswa yang sedang menginja k
dewasa.
- Guru dapat mendoktrin unsure religious pada siswa melalui isi
cerita dari para tokoh roman tersebut.
4
1.4 Landasan Teori
Untuk menganalisis roman ini, penulis menggunakan teori M.S.
Hutagalung dan teori yang digunakan Suyitno. Adapun teori y ang
digunakan M.S. Hutagalung adalah sebagai berikut:
Dalam membangun watak tokoh -toko suatu cerita beliau
mengemukakan tiga sudut pandang, yaitu:
a. Sudut Psikologis
Aspek yang masuk dalam sudut ini adalah termasuk: cita-cita,
ambisi, kekecewaan, kecakapan, dan temperamen seseorang.
b. Sudut Phisik
Aspek yang masuk dalam sudut phisik ini adalah: kelainan jenis,
tampang muka, dan cacad tubuh.
c. Aspek Sosiologi
Aspek yang termasuk dalam sudut sosiologi ini adalah: lingkungan
masyarakat, kepangkatan seseorang, agama, kebangsaan dan
sebagainya.(2008; 63)
Untuk aplikasi pembelajaran, penulis menggu nakan teori yang
dikemukakan Suyitno, yang mengemukakan empat langkah dalam
proses pembelajaran apresiasi sastra, ke -empat langkah itu adalah
sebagai berikut:
a. Guru harus mempunyai sifat yang menyenangi sastra
b. Guru harus menguasai ilmu sastra
c. Guru harus memahami hakekat dan tujuan sastra
d. Guru memiliki kemampuan mengapresiasi sastra. (2005:13)
5
BAB II
Tinjauan Umum
2.1 Biografi Pengarang dan Karyanya
Berdasarkan buku yang berjudul “Hamka Sebagai Pengarang
Roman” yang ditulis oleh (Yunus Amir Hamzah, 2004 ) dan buku
“Leksikon Kesusastraan Modern” (Pamusuk, 1994 ) di bawah ini
penulis uraikan secara singkat riwayat hidup Hamka dengan hasil
karyanya.
Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Karim Amrullah. Di
samping nama singkatan ini, dikenal juga nama samarannya: AS
Hamid, Indra Maha dan Abu Zaki. Ia dilahirkan di Sungai Batang,
Maninjau, Smatera Barat pada tanggal 16 Pebruari 1908. Ayahny a
seorang Ulama’ Islam yang terkenal di Sumatera Barat yaitu Doktor
Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA). Dia pembawa pembaharu Islam
di Minangkabau.
Di saat Hamka masih kecil, perguruan agama Islam di
Minangkabau sudah cukup maju, banyak para penunt ut agama
dating ke situ ( Minangkabau). Sebagai gurunya waktu itu adalah
Syeh Ibrohim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan
Zaenuddin Lebbay, yang dipimpin ayah Hamka sendiri. Hamka
sebagai seorang Minangkabau, memang mendengar dan membaca
juga pantun-pantun, kaba-kaba, dan cerita-cerita rakyat
Dalam usia enam tahun, Hamka disekolahkan oleh ayahnya ke
Padang Panjang dan di sekolahkan di sana, pagi sekolah dan sore
harinya mengaji Al-qur’an pada Ayahnya sendiri hingga tamat. Dari
tahun 1916 sampai tahun1923 dia belajar ilmu agama pada sekolah
Diniyah di Thowalib Padang Panjang dan Parabek.
Penderitaan pada masa kecil yang disebabkan perceraian
Ayah dan Ibu kandungnya sangat berpengaruh pada Hamka.Akibat
6
dari perceraian itu, Hamka yang pad a waktu kecil dipanggil Si Malik
menjadi anak yang terlunta-lunta. Semua itu meresap dalam diri
Hamka dan kemudian nampak pada dalam karya sastranya. Setelah
beliau menguasai bahasa Arab, beliau menjelajahi hasil -hasil sastra
Arab. Segera beliau kenal deng an nama-nama Manfaluti, Abduh,
Mustofa Sadik Rafi’I, Zaki Mubarok dan lain -lain. Kesemuanya itu
membri corak dan arah pada jiwa Hamka.
Pada Tahun 1924, ia berangkat ke Yogyakarta dan mulai
mempelajari pergerakan-pergerakan Islam yang pada waktu it u ia
sedang berkelana. Ia dapat kursus dar HOS Cokroaminoto, H.
Fahruddin, Suryo Pranoto dan lain -lain.
Pada tahun 1925 ia pulang ke Padang Panjang. Pada saat
itulah tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula -mula
dikarang berjudul “Khotibul Ummah” . Pada tahun 1927 beliau
berangkat ke Makkah menunaikan ibadah Haji, Pengalamn naik haji
inilah rupanya yang menjadi ilham yang dikemudian hari dituangkan
dalam roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah”.
Pada tahun 1928 keluarlah buku ceritanya yaitu “Si Sabariyah”
di samping buku “Perempuan”, “Adat Minangkabau dan Agama
Islam”
Pada waktu ia pindah dari Makasar tahun1932 diterbitkan “Al -
Mahdi”, berkat pengalamannya terhadap masyarakat Bugis itulah
terjalin kebudayaan Bugis dan Padang, sementara itu muncullah
roman nya yang kedua yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Vander
Wijck”.Kemudian pada tahun itu juga ia pergi ke Medan dan
Melahirkan Novel yang berjudul “Merantau Ke Deli”
Pada tahun 1950 beliau pindah ke Jakarta . Selama 25 tahun
telah dituisnya tidak kurang dar 60 buku. Pada tahun itulah diangkat
pemerintah menjadi anggoa Badan Pertimbangan Kebudayaan dari
kementerian PPdan K .
7
Pada tahun 1958 Hamka diundang oleh pemerintah Mesir
untuk berpidato yang dalam pidatony a itu beliau memberi judul “
Pengarang Mohammad Abduh di Indonesia”.di situ beliau mendapat
gelar Doctor Honoris Causa dar Universitas Al Azhar Mesir.Sampai
di akhir hayatnya beliau aktif berceramah di seluruh penjuru tanah
air.
2.2. Sinopsis
Roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka ini
mengisahkan hubungan cinta antara dua anak manusia yang
berlainan jenis, menghadapi kegalauan, karena adanya perbedaan
derajat di masyarakat, di samping perbedaan harta kekayaan,
pangkat dan keturunan.
Hamid diceritakan, sejak kecil telah ditinggal Ayahnya untuk
selama-lamanya, dia bersama ibunya tinggal di kota Padang. Dalam
kehidupan yang sederhana itu ia membantu ibunya yang berjualan
kue. Dari berjualan kue itulah ia berkenalan dengan tetangganya
yang sangat baik budi, yaitu keluarga Haji Ja’far. Haji Ja’far adalah
seorang saudagar yang kaya. Beliau sangat kasihan bila melihat
kehidpan Hamid. Karena kebaikan Haji Ja’far itulah Hamid
disekolahkan bersama anaknya yang perempuan itu, bernama
Zaenab. Mereka disekolahkan sampai sekolah tingkat menengah.
Persahabatan antara keluarga Hamid dan keluarga Haji Ja’far makin
lama semakin erat saja. Setelah Hamid dan Zaenab sama -sama
lulus dari sekolah menengah, Hamid melanjutkan ke sekolah agama
ke Padang Panjang yang masih juga atas pertolongan Haji Ja’far,
Sedangkan Zaenab harus masuk pingitan sebagai adat dar i
bangsawan Padang yang masih kokoh itu
Bilamana liburan datang, Hamid merasa gembira, karena akan
bertemu dengan ibunya, Haji Ja’far serta Zaenab. Sejak itulah benih
cinta antara Hamid dan Zaenab mulai tumbuh. Namun kedua
8
keluarga itu terjadi perubahan ketika Haji Ja’far meninggal duni a.
Hamid yang tadinya leluasa datang ke rumah Zaena b, kini tidak lagi
seperti dulu, ia jarang ke rumah Zaenab. Tak lama juga ibu Hamid
sendiri meninggal dunia. Dan itulah yang menyebabkan hubungan
Hamid dan Zaenab semakin sukar, namun api cinta semakin
membara di antara mereka. Sebelum ibu Hamid meninggal dunia,
beliau sempat berpesan pada anaknya, supaya api cinta Hamid
terhadap Zaenab dipadamkan saja sebelum membakar segalanya.
Kemudian Hamid berjanji kepada ibunya untuk menghapuskan
cintanya pada Zaenab. Pada suatu saat Hamid sedang jalan-jalan di
pesisir Batang Arau dan bertemu Mak Asiah yang baru datang
menziarahi kubur Almarhum Haji Ja’far. Mak Asiah menyuruh Hamid
agar Hamid datang ke rumah Mak Asiah untuk suatu kepentingan.
Saat Hamid datang ke rumah Mak Asiah, Hamid disuruh membujuk
Zaenab, agar Zaenab mau dikawinkan dengan saudara sepupunya.
Dengan perintah itu Hamid mengabulkan perintah Mak Asiah.
Agaknya sulit sekali Hamid memulai pembicaraannya , karena
pekerjaan itu sangat bertentangan sekali d engan hatinya sendiri .
Tapi ternyata Hamid tidak berhasil membujuk Zaenab Pada saat itu
pikiran Hamid berkata-kata (memang saya ini hanya pantas menjadi
saudara Zaenab)
Untuk melaksanakan pesan Ibu Hamid, Hamid terpaksa harus
meninggalkan kota Padang, agar tidak lagi melihat Zaenab. Tanpa
sepengetahuan seorang pun Hamid dengan rela meninggalkan kota
Padang menuju Medan. Dari Medan melanjutkan perjalanannya ke
Singapura, terus ke Bangkok, Basrah, Nejid dan sampai ke Makka h.
Pengembaraan itu dimulai setelah terlebih dulu tiba di Medan, dan
mengirim sepucuk surat kepada Zaenab yang tanpa diberi alamat
pengirim. Dalam suratnya itu Hamid secara samar-samar
mengutarakan isi hatinya, namun demikian Hamid mendesak
Zaenab untuk kawin dengan saudara sepupunya.
9
Maksud pengembaraan Hamid ke Makkah tidak lain ialah
untuk menghilangkan luka di dadanya yang dibawa dari Padang. Di
Makkah itulah Hamid berusaha untuk menghilangkan luka di dada
dengan mendekatkan diri pada Tuhan. S egala ingatan yang duludulu
sedikit-demi sedikit berangsur lupa, meski bekasnya masih ada.
Luka yang hampir sembuh itu kembali sakit, pada saat Hamid
bertemu Saleh (teman Hamid), dan Saleh bilang kalau sebenarnya
Zaenab juga mencintai Hamid, hal itu disampaikan istri saleh, Rosna.
teman Zaenab yang memang sering ke rumah Zaenab, dan Zaenab
menuturkan rasa cintanya pada Hamid itu pada Rosna. Tapi
sebelum Hamid melaksanakan cintanya, datang berita dari istri
Saleh, bahwa Zaenab telah meninggal dun ia, karena menanggung
rindu. Mendengar berita itu, Hamid yang sudah sakit -sakitan,
semakin kritis dan akhirnya pada saat melaksanakan ibadah Haji di
bawah lindungan Ka’bah. dia menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
10
BAB III
A N A L I S I S
3.1 Unsur Relegius
Kata religius berasal dari bahasa Latin “Relego” yang berarti
merenungkan keberatan hati, keberatan keagamaan (Prent,
2009:733). Menurut YB. Mangunwijaya bahwa, arti kata “Relegio”
orang hanya dapat menduga, sebab ada yang berpendapat bahwa
relegio dating dari kata religo artinya menambatkan hati (200 2:182)
Antara relegius dan agama banyak dikacaukan orang dalam
pengertiannya, memang sebenarnya ada perbedaan arti antara
relegius dan agama. Relegius, lebih condong da lam melihat aspek
yang ada dalam lubuk hati , riak getaran hati pribadi. Sedangkan
agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada
Tuhan dalam aspek yang resmi, yuridis secara agama.
Dalam roman “Di bawah Lindungan Ka’bah” ini ada beberapa
tokoh utama yang perilakunya menunjukkan sifat relegius. Adapun
unsure relegius dari para pelaku roman ini, akan penulis tinjau dari
sudut psikologis, phisik, dan sosiologi.
3.1.1 Unsur Religius roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” Ditinjau Dari
Sudut Psikologi
Hamka dalam roman ini banyak mengisahkan cerita yang
sedih-sedih dan pengharapan-pengharapan. Kemudian dari
pengharapan itu oleh pengarang disandarkannya pada Tuhan.
Memang demikianlah hendaknya sikap manusia yang baik. Setiap
usaha perlu adanya rasa optimis, dan setelah berusaha,baru kita
berserah diri pada Tuhan, tercapai atau tidak usaha itu kita serahkan
pada Tuhan. Perilaku demikian ditunjukkan oleh pelaku utama,
Hamid. Dalam kemiskinanya setelah ayah Hamid meninggal dunia,
Hamid membantu pekerjaan ibunya, termasuk menjualkan kue .
11
Dalam menjalankan pekerjaan itulan dalam hati Hamid selalu
memohon belas kasihan dan berdo’a pada Tuhan.
“ Ibu pun menunjukkan kepadaku beberapa do’a
Dan bacaan, yang menjadi wirid dari almarhum
Ayah semasa mendiang hidup, mengharapkan
pengharapan yang besar-besar kepada Tuhan
serwa sekalian alam memohon belas kasihannya ”.
(Hamka, 1989:16)
Dalam kemiskinan itu Hamid mendapat pertolongan
tetangganya yang baik budi yaitu Haji Ja ’far. Hamid yang semula
menjual kue di masa kecil kini disekolahkan Haji Ja’far mulai dari
sekolah rendah (HIS) sampai sekolah menengah dan cita -cita
sekolah Hamid sampai berlanjut ke sekolah agama di Padang
Panjang
“ … dan saya bila sekolah itu tamat a kan
berangkat ke Padang Panjang, sebab Haji
Ja’far masih sanggup membelanjai saya, apa
Lagi demikianlah cita-cita ibuku”. (Hamka,1989:25)
Karena kecakapan Hamid itulah Haji Ja’far tidak segan -segan
membiayai Hamid sekolah mulai dari Sekolah Rendah sampai
Sekolah Tinggi Agama. Dalam hal ini pengarang juga mencerminkan
nilai agama, dimana dalam agama menyatakan bahwa, orang yang
membiayai anak sekolah itu sama dengan amal jariah yang tidak ada
putusnya, karena bila anak yang dibayai sekolah itu ilmunya
bermanfaat, orang yang membiayai sekolah anak itu juga masih
mendapatkan kiriman pahala. Jadi Hamka dalam penceritaan itu
mengandung unsure relegiusnya.
“Sekolah-sekolah Agama yang di situ mudah
sekali sayaMasuki, karena lebih dahulu saya
mempelajari ilmu umum, saya hanya tinggal
memperdalam pengertian dalam perkaraagama
saja, sehingga akhirnya salah seorang guru
menyarankan saya mempelajari agama di luar
sekolah , sebab kepandaian saya dalam
ilmu umum”. (Hamka,1989:26)
12
Hamid yang menuntut ilmu di Padang Panjang yang jauh dar
Zaenab mulai merasa kehilangan tanpa Zaenab di dekatnya. Inilah
mulai tumbuh benih cinta antara Hamid dan Zaenab, namun Hamid
tak berani mengutarakan cintanya pada Zaenab, karena adat masih
membelenggu.Tak mungkin orang seperti Hamid yang miskin dapat
diterima sebagai suami Zaenab yang kaya meskipun sebenarnya
Zaenab juga mencintai Hamid. Disn i pengarang agaknya protes
pada adat masyarakat yang tidak sesuai dengan agama, karena
dalam agama semua derajat manusia sama di mata Allah. Yang
membedakan antar manusia hanyalah kadarkeimanannya.
“ cinta adalah jiwa, antara cinta sejati dan
Jiwa tak dapat dipisahkan, cintapun merdeka
Sebagaimana jiwa. Ia tak membedakan antara
Derajat dan bangsa, kaya miskin, mulia papa
Demikian jiwa saya di luar dari kekang kerendahan
Saya dan kemulyaannya, saya merasai bahwa,
Zaenab adalah diri saya”. (Hamka,1989:30)
Setelah Haji Ja’far meninggal dunia yang kemudian disusul
pula oleh ibu Hamid, Hamid sering menyepi di tepi pantai. Pada saat
Hamid jalan-jalan bertemu dengan Mak Asiah. Pada saat bertemu
itulah Mak Asiah berpesan agar Hamid mau datang ke r umah Mak
Asiah. Pada saat datang ke rumah Mak Adiah, Hamid disuruh
membujuk Zaenab agar Zaenab mau dikawinkan dengan
sepupunya, namun Hamid tak berhasil membujuknya. Dengan
kejadian itulah Hamid merasa kecewa dan menginsafi dirinya sendiri
bahwa di dunia mesti ada sebagian orang yang bahagia, sebagian
lagi ada orang yang menanggung kesediahan.di sini Hamka
memaparkan cerita yang sesuai dengan kodrat kekuasaan Tuhan
bahwa, di dunia ini adalah tempat manusia menghadapi cobaan, baik
dalam hidup bahagia maupun dalam hidup susah semuanya itu
adalah ujian dari Allah sebagaimana firman Allah dalam Surat A l
Angkabut, ayat 2 yang artinya . Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang
13
mereka tidak diuji lagi? Jadi pada hakekatnya hidup ini adalah ujian
baik yang dalam kebahagiaan maupun dalam keadaan
ketidakberuntungan.
“Kemudian saya insyafi, bahwa ala mini penuh
Dengan kekayaannya. Tidaklah adil jika semua
makhluk dijadikan dalam tertwa, yang akan
menangis mesti juga ada, kita mesti mengukur
perjalanan alam dengan ukuran luas,bukan nasib
sendiri” (Hamka, 1989:50)
Kekecewaan Hamid dalam menghadapi permasalahan
pribadinya membuat Hamid mengambil kebijakan untuk pergi jauh ,
yakni ke Makkah berlindung di hadapan Ka’bah.. Selain merasa
frustrasi dia juga ingin melupakan rasa cintanya pada Zaenab.
Dalam Hal ini Hamka menggambarkan mencerminan sifat
relegiusnya, yaitu bahwa orang yang mengalami putus cinta tidak
harus dilampiaskan pada hal -hal negatif, tetapi disalurkan melalui
pendekatan diri pada Tuhan. Kita sering menyaksikan orang yang
lagi putus cinta dilampiaskan dengan minum -minuman keras,
mengkonsomsi Narkoba, bahkan sampai bunuh diri. Demikian sifat
relegius yang digambarkan oleh Hamka.
“Sekarang sudah tuan lihat, saya telah di sini
Di bawah lindungan ka’bah yang suci terpisah
Dari pergaulan manusia yang lain, di sini saya
Selalu terpekur dan memohon kepada Tuhan
sarwa sekalian alam, supaya Ia memberi saya
kesabaran dan keteguhan hati menghadapi
kehidupan”. (Hamka,1989:54)
Setelah setahun Hamid di tanah suci luka -luka di hati agak
sembuh, namun kembali berubah menjadi teringat akan hal -hal yang
lama karena kabar dari Saleh teman Hamid. Saleh meng atakan,
bahwa, istrinya, Rosna sering ke rumah Zaenab, dan didapatinya
Zaenab sering kali merenung dan menangis memikirkan kekasihnya
Hamid. Suatu saat Zaenab mengatakan pada Rosna, bahwa ia
sangat mencintai Hamid. Karena berita dari Saleh itulah, Hamid
14
merasa dirinya ada harganya hidup di dunia ini , karena ternyata ada
orang yang mencintainya.semula Hamid memang sudah tidak
mempunyai harapan untuk menikmati hidup ini dan bahkan berhasrat
untuk bunuh diri. Namun hal itu tidak dilakukan. Di sini Hamka
menampakkan unsure religiusnya, bahwa bunuh diri adalah suatu
dosa besar dalam agama Islam, oleh sebab itu walau bagaimana
pun galaunya pikiran Hamid melakukan bunuh diri dalam
menghadapi masahnya.
“ Dahulu saya telah putus asa hendak hidup,
kadang-kadang terlintas dalam hati saya hendak
membunuh diri. Akan sekarang saya hendak hidup
hendak merasai kelezatan cahaya matahari sebagai
orang lain pula, sebab pergantunganku telah ada ”.
(Hamka, 1989:68)
Zaenab anak Haji Ja’far baik sekali budi pekertinya, meski dia
anak orang kaya lagi terhormat dia tidak mau menyombongkan diri,
bahkan sebaliknya dia sangat menyayangi pada fakir miskin. Di sini
pengarang menunjukkan unsur relegiusnya yakni bahwa dalam
ajaran agama sesama manusia harus saling menyayangi , dan
menyantuni, Tuhan tidak membedakan antara orang kaya dan
miskin.laki-laki perempuan, cantik atau jelek, tampang atau tidak
tampang.yang membedakan antara manusia itu adalah kadar
keimanannya.
“Hamid tidak begitu gagah, tidak sepantas dan
selagak pemuda lain, tetapi hati kecilku amat
kasihan kepadanya, agaknya hidupnya yang
sederhana itulah yang telahmemaut sanubariku”.
(Hamka, 1989: 61)
Zaenab merenungi nasibnya yang selalu dirundung kedukaan
dan kerinduan, namun ia menerima kenyataan hidup itu dengan
penuh kesabaran dan ketabahan, di sini penga rang juga
menunjukkan unsur religiusnya yaitu bahwa dalam segala
permasalahan yang menimpa pada diri Zaenab, dia menerima
dengan kesabaran dan ketabahan, dalam ajaran agama dikakan
15
bahwa manusia Cuma sebatas berencana, dan Tuhanlan yang
menentukan segalanya.
“Bukan demikian sahabat, buat diriku sendiri
Tuhan telah menakdirkan barlain dari orang.
kedukaanku tumbuh diantara dua rumpun
kedukaan pula. Dahulu saya telah berduka,
sekarang berduka, dan kelak agaknya, terus
berduka”.(Hamka,1989:58)
Kekecewaan Zaenab dalam mengharap kedatangan Hamid
sebelum ajalnya tiba yang disampaikan lewat surat, menunjukkan
kebimbangannya untuk bertemu dengan Hamid, Karena melihat
kondisinya yang semakin kritis dari hari ke hari. Zaenab sendiri
mengetahui ajal itu ada ditangan Tuhan, sehingga dia menyerah saja
kepada yang kuasa. Unsur religius tertera di dalamnya. Bahwa,
masalal ajal ada di tangan Tuhan, kita tidak usah takut karena
sewaktu-waktu kita akan menemui kematian itu.Dalam Al -Qur’an
dinya takan yang artinya : Ketika datang ajal seseorang, tidak akan
dapat diundur sedetikpun dan tidak pula dimajukan.
“Sekarang abang, badan adinda sakit -sakit ajal
entah berlaku pada pagi hari, entah besok sore
gerak Allah siapa tahu. Besar harapan bertemu,
dan jika abang terlambat pulang,agaknya bekas air
penalkin dan jejeak mejan yang dua, hanya yang
akan abang dapati”.(Hamka,1989:71)
Ibu Hamid diceritakan oleh pengaran g sebagai seorang yang
pemalu, Hal ini wajar, karena ibu Hamid seorang yang miskin, dan
berada di lingkungan keluarga Zaenab yang kaya,dan terhormat,
sebagaimana dimaklumi adat masyarakatnya , bahwa perbedaan
kaya-miskin masih tetap lekat.Namun rupanya ibu Hamid dapat
menempatkan diri dalam pergaulan terutama di lingkungan
keluarganya Zaenab.Sifat malu memang diajarkan agama, Agama
mengajarkan bahwa Malu adalah sebagian dari cerminan iman
seseorang.di situlah unsure religius yang ditampilkan oleh
pengarangnya.
16
“Meskipun ibu saya merasa malu dan insyaf
akan kerendahan derajatnya, Mak Asiah demikian
istri Engku Haji Ja’far itu sekali-sekali tiada
meninggikan diri, sebagai kebiasaan perempuanperempuan
istri orang hartawan atau orang
berpankat”. (Hamka, 1989: 21
Ibu Hamid di samping tergolong pemalu, juga termasuk orang
yang penyabar,ia tidak cepa putus asa, ia memiliki tekat yang kuat
dalam mendidik anaknya, agar anaknya bisa menjadi orang yang
berguna di masyarakat. Sifat sabar dan tabah memang dia jarkan
dalam agama, bahwa dalam menghadapi segala tantangan hidup
orang harus sabar. Agama mengajarkan bahwa Allah beserta orang -
orang yang sabar. Dan kita tidak boleh putus asa dalam menemui
suatu masalah.
“Tetapi kelihatan ibu tidak putus harapan, ia
berjanji Akan berusaha, supaya kelak saya
menduduki bangku sekolah sekolah, membayar
cita-cita almarhum suaminya yang sangat
besarangan-angannya supaya kelak saya menjadi
orang yang terpakai dalam pergaulan hidup”.
(Hamka,1989:17)
Haji Ja’far digambarkan sebagai orang yang peramah dan
penyantun kepada fakir miskin. Mengingat Haji Ja’far sendiri dulunya
juga pernah mengalami kemelaratan. Oleh sebab itu beliau tahu
betul bagaimana penderitaan orang miskin. Sifat penyantun ini juga
diajarkan kepada istri dan anaknya. Sehingga Mak Asiah istri Haji
Ja’far dan Zaenab anaknya punya sifat penyantun. dan ramah
kepada orang lain. Dalam ajaran Agama kita diharuskan untuk hidup
saling tolong-menolong, saling hormat-menghormati kepada orang
lain, tidak boleh menyombongkan diri, Firman Allah dalam Al -Qur’an:
‘Wala Tuso’ir khoddaka linnas, wala tamsi fil ardhi maroha’ artinya:
janganlan kamu membuang muka terhadap orang lain dan jangan
berbuat sombong di muka bumi ini.
17
“Peribahasa dari Mak Asiah, adalah didikan dari
suaminya juga, seorang hartawan yang ramah pada
fakir miskin. Konon kabarnya kekayaan yang didapat
adalah dari usahanya sendiri, dan cucur keringatnya.
bukan dari warisan orang tuanya. Dahulu Haji Ja’far
seorang yang melarat juga tetapi berkat yakinnya
terbukalahbaginya pintu pencaharian”
(Hamka,1989:21)
Rosna sebagai teman Zaenab sering mendampingi
Zaenab,dan tempat bertukar pendapat tentang suatu hal Kedua
sahabat itu cukup akrab, pengarang menokohkan Rosna yang
banyak berperan dalam menyambungkan pembicaraan antara
Hamid dan Zaenab. Pada suatu saat antara keduanya bercerita
tentang Hamid. Dari situlah diketahui b ahwa sebenarnya Zaenab
sangat mencintai Hamid. Unsur relegius yang digambarkan pelaku
Rosnah adalah, masalah tolong menolong dalam kebaikan. Dalam
suatu Hadits Rosul disebutkan: “Ta’awanu alal birri wat taqwa, wala
ta’awanu alal itsmi wal udwan” artinya: Tolong menolonglah kamu
dalam kebaikan dan jangan kamu tolonh -menolong dalam
kemungkaran”
“ Agaknya engkau pandang rendah saya ini Ros,
Mencintai seseorang yang tiada sekedudukan
Dengan diri sendiri dan jauh tak tentu tempatnya.
Waktu itu istriku menjawa kata Soleh ‘Tidak Nab,
cinta itu adalah perasaan yang mesti ada tiap diri
manusia,laksana setetes embun yang turun dari
langit bersih dan suci’ “ (Hamka,1989:64)
Rosna mengatakan dalam suratnya , bahwa Zaenab telah
meninggal dalam keadaan menyerah , tawakal, dan sabar dalam
menerima cobaan sakitnya. Surat itu sebenarn ya disampaikan
kepada Hamid, tetapi tiba-tiba surat kawat saleh datang pula, yang
menyatakan, bahwa Hamid telah menyusul pula. Ending dari cerita
ini menunjukkan bahwa tokoh utama dalam cerita semuanya
berakhir dengan meninggal dunia. Memang begitulah cir ri-ciri roman
lama, yang menjadi kebiasaan pengarangnya. D an di situ terlihat
18
unsur relegiusnya yakni, dalam mengha dapi cobaan hidup dari takdir
yang menimpa manusia, harus diterima dengan sabar, tawakal
menyerah kepada Tuhan, karena hidup dan meninggalnya
seseorang itu merupakan kepastian Tuhan. Sebagaimana Firman
Tuhan dalam Al-Qur’an: “Idha jaa’a ajaluhum la yasta’khiruuna
saa’atan wala yastaqdimuuna”. Artinya . Bila ajal telah tiba, maka
tidak akan bisa di undur dan dimajukan sedetikpun.
“ …. Adinda kirimkan surat ini menyusul surat
kawat yang dahulu. Zaenab telah wafat. Apakah
selain itu yang adinda nyatakan? Dia telah
menanggung penyakit dengan sabar dan tawakal
mula-mula adinda menyampaikan kabar ini
kepada Hamid, sebab yang senantiasa menjadi
buah bibirnya adalah Hamid. Sampai saatnya
yang penghabisan, tetapi tiba-tiba kawat kakanda
datang pula, bahwa hamid telah menyusul
kekasihnya. (Hamka, 1989: 77)
3.1.2 Unsur Religius roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” Ditinjau dari
Sudut Phisiknya
Hamka dalam menceritakan roman ini kurang menampakkan
bentuk phisik pelakunya. Penampilan bentuk phisik hanya terbatas
pada pelaku utama Hamid. Pengarang menceritakan tokoh Hamid
sebagai seorang pendiam, yang suka bermenung seorang diri, dan
badannya kurus lampai, rambutnya hitam berminyak. Hal tersebut
sesuai sekali dengan kondisi tokoh utama dalam cerita ini yaitu
Hamid, sebagai seorang yang hidupnya kurang beruntung, dan
mengalami gagal dalam memenuhi cintanya. Di samping merenungi
jalan hidupnya, dia sering berpuasa sampai badannya kurus karena
memikirkan nasibnya yang kurang beruntung itu, namun dia seorang
anak yang pandai. Dan dari kegagalannya dalam bercinta itu dia
mengarahkan ke hal yang positif , seperti mempelajari buku-buku
agama, tekun beribadah, dan selalu mendekatkan diri kepada
Tuhan. Memang dalam ajaran Agama dijelaskan, bahwa sebagai
pengobat hati yang luka itu ada lima macam, sebagaimana yang
19
dijelaskan dalam kitab ‘Nashoihul ‘Ibad” yakn i Lima macam pengobat
hati adalah sebagai berikut:
a. Membaca Al-Qur’an sambil mengingat-ingat arti dan maksudnya.
b. Melakukan Sholat malam (sholat Tahajjud)
c. Mencari sahabat dan berkumpul dengan orang -orang yang
barbuat kebajikan ( Orang-orang Sholeh)
d. Suka melakukan Riadhoh atau Tirakat ( melakukan puasa)
e. Melakukan Dzikir, bermunajat, bertasbih (membaca bacaan yang
mensucikan Tuhan) dalam waktu yang cukup lama. (Nawawi,
1993:34)
Dari kelima macam pengobat hati seperti tersebut di atas
semuanya tercermin dalam pribadi tokoh utama, Hamid. Dia selalu
beri’tikaf di masjid sambil mengaji, bila malam hari juga bermunajad
kepada Tuhan, kumpulan mereka juga orang -orang sholeh, ahli
ibadah. Dia juga sering puasa, sampai -sampai badannya kurus, Dan
juga selalu berzdikir dan bertasbih.
“ …. Di hadapan kamar yang telah ditentukan oleh
Syeh untuk saya ada pula sebuah kamar kecil yang
muat dua orang. Di sana tinggal seorang anak muda
yang baru berusia 23 tahun badannya kurus lampai
rambutnya hitam berminyak, sifatnya pendiam
bermenung seorang diri”.(Hamka,1989:9)
Bentuk phisik Hamid sebagai tokoh utama digambarkan juga
oleh pengarang sebagai orang yang tidak gagah,se perti pemuda
lain. Hidupnya miskin dan sebatang kara, jiwa penyantun, serta rasa
iba ditunjukkan oleh Zaenab kepada Hamid. Meskipun Zaenab anak
orang kaya dan terpandang, sedangkan Hamid orang miskin, namun
Zaenab mencintai Hamid bukan kerena bentuk tubuhnya, melainkan
jiwa Hamid. Memang kebaikan jiwa adalah segalanya. Dan kebaikan
jiwa sama dengan kebaikan hati, jika hati seseorang baik, maka
segalanya akan baik pula, jika hati seseorang jelek, maka jeleklah
20
semua amal perbuatannya. Hal ini sesuai Hadits Nabi yang berbunyi:
“Inna fil jasadi mudhghotun idza soluhat sholuhal jasadu kulluh, idza
fasadat, fasadal jasadu kuluh” Artinya: Sesungguhnya dalam diri kita
ada segumpal daging, bila baik segumpal daging it u, maka baik
pulalah seluruh amal perbuatan manusia ,dan bila jelek segumpal
daging itu, maka jeleklah seluruh amal pe rbuatan manusia. Jadi
Zaenab mencintai Hamid bukan karena fisiknya, namun kebaikan
jiwa Hamid.
“Engkau kan tahu Ros, bahwa Hamid tidak gagah
tidak sepantas dan selagak pemuda lain. Tetapi
hati kecilku amat kasihan kepadanya, agaknya
hidupnya yang sederhana itulah yang telah memaut
hati sanubariku. Saya amat ibd kepadanya
karena saya merasa bahwa, tak ada orang lain
yang akan mengibai dirinya”.(Hamka,1989:61)
3.1.3 Unsur Religius Roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” Ditinjau Dari
Sudut Sosiologi
Keluarga Hamid diceritakan sebagai keluarga yang frustrasi.
Masalah yang menjadikan kefrustrasian keluarga Hamid adalah
karena perniagaan ayah Hamid jatuh bangkrut. Bermula dari situlah
kemudian keluarga Hamid memutuskan untuk meningga lkan
lingkungan masyarakat, tempat tinggalnya semula, dan pindah ke
kota Padang.
Pada masa kejayaan perniagaan Ayah Hamid, banyak sanak
saudara dan famili, serta tetangganya yang berdatangan mendekat.
Tetapi setelah usaha Ayah Hamid jatuh bangkr ut tak seorang pun
sanak saudara dan family serta tetangganya mendekati. Memang
begitulah yang terjadi di masyarakat. Bila orang sedang jaya
siapapun menyanjungnya, tapi bila jatuh susah tidak seorang pun
mau mendekatinya. Menghadapi keadaan yang demikian itulah,
kemudian Ayah Hamid mengambil keputusan untuk memindahkan
keluarganya ke tempat lain, dengan maksud menghindari tekanan
21
batin dari suasana yang tidak menguntungkan semua keluarganya.
Dalam agama kita memang diharapkan untuk memilih tempat tinggal
yang bisa menyelamatkan keluarga kita dari keamanan dan
kedamaian suasana lahir batin, Sehingga keadaan rumah tangga
kita dalam kondisi yang tentram dan damai.
“Masa itu daun sedang rimbun, bunga sedang
kembang dan buah sedang lebat, orang pun
dating menghampirkan diri, mengatakan mamak
mereka mendakwakan bersaudara, rumah tangga
senantiasa mendapat kunjungan dari kiri dan
kanan. Tetapi setelah perniagaan ayah jatuh,
kemelaratan menjadi ganti, segala kesenangan
itu tersisihlah dari sediki ke sediki”. (Hamka,1989:15)
Hamid meskipun masih kecil tahu akan keadaan orang tuanya
yang miskin. Dia melihat teman-temannya yang senasib membantu
orang tuanya bekerja dengan menjualkan kue, Hamid pun meniru
ikut menjual kue dalam membantu orang tuanya. Dia tidak merasa
malu dengan teman-temannya untuk menjual kue karena desakan
rasa iba terhadap ibunya. Di sini pengarang menunjukkan unsur
releiiusnya yakni bahwa, sebagai seorang anak seharusnya taat dan
barbakti pada orang tuanya, lebih-lebih kepada ibunya. Bahkan
sampai dijelaskan dalam hadis Rosul: Al jannatu tahta aqdamil
ummahaat. Artinya surga itu terletak di telapak kaki ibu, maksudnya
adalah sebagai seorang anak sudah seharusnya taat , dan barbakti
kepada ibu, mau selamat dunia akhirat, harus hormat dan taat orang
tua kepada ayah dan kepada ibu.
“Setelah saya agak besar, saya lihat banyak
anak-anak yang sebaya saya menjajakan kue,
maka saya mintalah kepadanya supaya dia
sudi pula membuat kue-kue itu, saya sanggup
menjualnya dari lorong-lorong, dari satu beranda
rumah orang ke beranda yang lain,
mudah-mudahan dapat meringankan sedikit
tanggungan yang berat itu”.(Hamka,1989:16)
22
Zaenab anak satu-satunya Haji Ja’far sangat patuh pada
ibunya. Kepatuhan itu tidak lain hasil didikan ayahnya yang berbudi
luhur, sehingga contoh yang baik itu menurun kepada anaknya.
Zaenab juga disayangi oleh orang tuanya, karena memang dia
adalah anak satu-satunya. Di sini pengarang menunjukkan unsure
religiusnya yakni sebagai seorang anak memang seharusnya
mematuhi dan taat kepada orang tuanya terutama kepada ibu.
Hadits Rosul mengatakan: ‘Al Jannatu tahta Aqdamil Ummahaat’
artinya: Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu . Maksud hadits
ini adalah kita harus taat dan berbakti kepada orang tua, jangan
sampai menyakiti hati orang tua, apalagi melawannya. Ingin selamat
dunia akhirat berbaktilah kepada orang tua, terutama kepada ibu.
“Anak perempuan itu masih kecil, sebaya
dengan saya. Apa perintah ibunya diikuti
dengan patuh, rupanya ia amat disayangi
ibunya, karena anaknya hanya seorang itu
(Hamka,1989:19)
Meskipun Zaenab anak orang kaya, terpandang dan hartawan
Namun Zaenab tidak pernah menyombongkan diri. Dia merasa
sebagai anak-anak yang lain. Tidak pernah berperasaan, bahwa ia
memiliki derajat tinggi, serta berbangsawan. Kebaikan budi Zaenab
mencerminkan kebaikan budi ayahnya, ia juga sangat menyayangi
orang miskin. Pada saat sekolah Zaenab sering digoda oleh temantemannya,
mereka mengatakan, anak orang kaya sekarang
bersekolah dengan anak orang penjual pisang goring. Tetapi Zaenab
tidak memperdulikan godaan temannya itu, ia tidak terpengeruh
sedikitpun dengan teman-temannyaitu. Ia juga tidak mau
menyombongkan diri.Di sini pengarang menunjukkan unsure
relegiusnya yakni: Sesama manusia tidak ada perbedaan antara
kaya dan miskin, yang membedakan antara manusia itu adalah
keimanannya kepada Tuhan. Firman Tuhan dalam Al-qur’an: ‘Ya
ayyuhal ladzina amanu inna jaalnaakum min dzakain wa unsa
wajaalnaakum syu’uban waqobaila lita’arofu inna akromakum
indaallahi atqookum’ artinya: Hai orang -orang yang bariman
23
sesungguhnya Allah menjadikan kamu sekalian bersuku -suku dan
berbangsa-bangsa supaya di antara kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang
paling beriman kepada-Nya.
“ …sekali-sekali tidaklah Zaenab memandang
saya orang lain lagi, tidak pula mengangkat diri
agaknya karena baiknya didikan ayah bundanya
Cuma di sekolah, anak-anak orang kaya kerap
Kali menggelakkan saya, anak penjual pisang
Goring telah bersekolah dengan anak orang
Hartawan” (Hamka,1989:23)
Zaenab sangat tertarik dengan kebaikan budi serta tabiat baik
Hamid. Ingin selalu Zaenab hidup berdampingan dengan Hamid.
Sifat Hamid yang terpuji yang tak didapati pada pemuda -pemuda
lain, baik dari kalangan bangsawan atau hartawan. Itulah yang
sangat disukai Zaenab. Jiwa yang baik merupakan modal berharga
dari kehidupan seseorang. Jiwa sama dengan hati. Disini pengarang
menunjukkan unsur relegiusnya, sebagaimana disampaikan Nabi
pada suatu Haditsnya yang berbunyi: ‘Inna fil jasadi mudzghotun
idza soluhal, sholuhaljasadukulluh, idza fasadad, fasadal jasadu
kulluh. Artinya: Sesungguhnya di diri manusia ada segumpal darah,
bila segumpal darah itu baik, maka baiklah semua kepribadian
seseorang itu, namun, bila segumpal dara itu jelek, maka jelek
pulalah semua kepribaian orang itu.Jadi dengan demikian bila
seseorang memiliki jiwa yang bersih, maka itulah orang yang baik.
“ …maka pada dirinya saya dapati beberapa
Sifat yang tinggi dan terpuji, yang agaknya tidak
terdapat pada pemuda-pamuda yang lain baik
dari kalangan kaya dan bangsawan sekalipun.
Sampai pada saat yang paling akhir daripada
Kehidupan ayahku, belum pernah ia menunjukkan
Perangai yang tercela. Wahai Ros saya tertarik
Benar kepadanya” (Hamka,1989:60)
24
Rosna adalah seorang yang berjasa dalam menghubungkan
perasaan cinta yang terpendam antara Zaenab dengan Hamid.
Perasaan cinta yang sekian lama ada di hati antara dua insane itu
belum pernah terungkap secara jelas. Belum sempat Hamid
mengucapkan perasaan cintanya kepada Zaenab, tiba -tiba Mak
Asiah menyuruh Hamid untuk membujuk Zaenab, agarZaenab mau
dikawinkan dengan saudara sepupunya. Namun bujukan Hamid itu
ternyata gagal. Keadaan demikian itulah yang membuat Hamid putus
asa, dan menjauhkan diri dari Zaenab. Hamid pergi tanpa
sepengetahuan seorang pun. Rosna, sahabatnya sebagai tempat
untuk mencurahkan isi hati Zaenab , merasa terharu dengan keadaan
Zaenab yang menahan rindu cukup dalam itu. Rosna merasa
terpanggil hatinya untuk mendampingi Zaenab da n member
pertolongan semampunya. Sekali lagi pengarang menunjukkan
unsure religiusnya; dimana Rosul telah bersabda: ‘Ta’awanu alall
birri wat taqwa’ Artinya: bertolonglah kamu dalam kebaikan. kita
diharuskan tolong menolong dalam kebaikan, bila ada saudara kita
ada yang membutuhkan pertolongan, meski mereka belum minta
tolong hendaknya kita memberikan pertolongan.
“Ingatkah kau Ros, bahwa dahulu ada tinggal
di dekat rumah ini seorang anak muda bernama
Hamid .. sebenarnya saya cinta dengan hamid
… tiba-tiba pada suatu saat dating suatu
kejadian yang menhancurkan angan-angan saya,
ia diminta oleh ibu saya supaya sudi bersuami…
setelah saya mengatakan tak sanggup menurut
perintahnya… ia pulang ke rumahnya semenjak
itu ia tak datang lagi akhirnya saya mendengar
dia telah pergi jauh” (Hamka,1989:59)
Dalam pembicaraan antara Zaenab dan Rosna, Zaenab
sakan- akan menjelaskan dirinya sendiri. Dia mengatakan pada
Rosna bahwa, agaknya kau anggap aku ini seorang yang rendah
Ros. Mencintai seseorang yang tiada sekedudukan dan tiada tentu
tempat tinggalnya. Meskipun dalam perasaan Rosna tidak mungkin
mempunyai perasaan sebagaimana anggapan Zaenab itu. Rosna
25
sendiri menyadari bahwa benih-benih cinta itu akan tumbuh tidak
memperdulikan kedudukan dan kebangsawanan. Di sini pengarang
menunjukkan betapa lembutnya perasaan Zaenab, meskipun dia
tidak bersalah, namun seolah-olah dia sudah melakukan kesalahan,
ini menunjukkan instropeksi diri Zaenab cukup tinggi. Unsur
relegiusnya yakni: Kedudukan manusia di mata Tuhan itu semua
sama, yang membedakan adalah derajat keimanannya.
“Agaknya engkau pandang rendah saya
ini Ros, mencintai seorang yang tiada
sekududukan dengan diri saya sendiri
dan tak tentu tinggalnya”(Hamka,1989:64)
3.2 Aplikasi Roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” Pembelajaran
Aplikasi atau penerapan roman ini dalam proses pembelajaran
pada siswa, menggunakan teori yang di kemukakan Suyitno. Dalam
bukunya “ Teknik pengajaran Apresi asi Sastra dan Kemampuan
Bahasa” yang menyebutkan lima langkah dalam mengajarkan
apresiasi sastra yaitu:
a. Menyenangi sastra
b. Menguasai sastra
c. Memahami hakekat dan tujuan sastra
d. Mempunyai kemampuan mengapresiasi sastra (Suyitno,2005:13 )
3.2.1 Menyenangi Sastra,
maksudnya adalah seorang guru perlu mengkaji terlebih dulu ilmu
yang berkaitan dengan unsure sastra, baik teori, analisis, budaya
masyarakat dan sejarah sastra.
3.2.2 Menguasai Sastra,
maksudnya adalah dengan bermodalkan poin pertama, menyenangi
sastra maka sedikit banyak akan mengkaji berulang -ulang sejauh
mana proses penerbitan roman itu sendiri kaitan nya dengan sejarah
budaya masyarakat.
3.2.3 Memahami Hakekat dan Tujuan Sastra,
maksudnya adalah dengan mendalami budaya masyarakat yang
kurang sesuai dengan aturan dan pedoman hidup berupa ajaran
26
agama, maka melalui sastra ini agar kiranya dapat menunjukkan
aturan seperti apa yang mestinya diikuti masyarakat.
3.2.3 Kemampuan Mengapresiasi Sastra
Maksudnya adalah setelah menyenangi , memahami maksud dan
tujuan guru melakukan diskusi mendalam kekurangan dan kelebihan
dalam sastra bersama-sama dengan siswa, manfaat apa yang dapat
diperoleh dari isi sebuah roman itu. Bila teladan itu layak dan sesuai
dengan kehendak agama dan dianggap b aik masyarakat, maka bisa
kita gunakan untuk perbaikan dalam hasanah kehidupan kita.
27
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
4.1.1 Roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah” ini banyak
mengandung unsur relegiusnya, yang sangat bermanfaat
sekali sebagai teladan siswa, terutama pelaku utama
Hamid yang menunjukkan segala perikunya dengan
aturan agama.
4.1.2 Roman ini bermanfaat sekali sebagai bekal bagi siswa
dalam mengarungi kehidupan dunianya, apalagi
dalamkehidupan saat ini keteladanan merupakan barang
langka, melalui membaca roman ini, baik sekali sebagai
renungan dalam menata kehidupan mereka.
4.1.3 Dengan mendalami roman ini siswa meng etahui
kebudayaan lama yang terjadi di suatu daerah
khususnya daeran Sumatera Barat saat itu , yang
mungkin juga sampai saat ini kebudayaan itu masih ada.
4.2. Guru dalam melakukan pembelajaran Apresiasi Sastra
sebaiknya menggunakan teor i yang dikemukakan
Suyatno yang terdiri dari 4 langkah,yaitu:
a. menyenagi sastra
b. menguasai sastra
c. memahami hakekat dan tujuan sastra
d. mempunyai kemampuan mengapresiasi sastra.
28
4.2 Saran
Roman ini sangat baik sebagai bahan ajar khususnya dalam
menganalisi sastra bagi siswa tingkat menengah, karena isi yang
terkandung dalam roman ini pas dan sesuai dengan kondisi
mereka, yang pada umumnya siswa yang sedang mencari
identitas diri.
29
Daftar Pustaka
Eneste. Pamusuk.2005. Unsur Religius Dalam Sastra Jawa,
Semarang: VC. Aneka Ilmu.
Esten, Mursal. 1994. Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern.
Jakarta: PT. Gramedia.
Hamka. 1989. Di Bawah Lindungan Ka’bah . Cetakan ke-19
Jakarta: Bulan Bintang.
Hamzah. Amir. Yunus. 2004. Hamka Sebagai pengarang
Roman.Jakarta: PT. Mega Booktore .
Hutagalung M.S. . 2008. Satu Pembicaraan Jalan Tak Ada
Ujung.Jakarta: Gunung Agung.
Mangun Wijaya Y.B..2002 Sastra Dan Religiusitas. Cetakan ke -9.
Jakarta : PT. Jaya Perusa.
Nawawi, Muhammad. 2003. Nashoihul ‘Ibad. Bandung: PT. Al
Ma’arif.
Prent. CM. K. 2009. Kamus Latin Indonesia. Jakarta : Kanisius
Purwodarminto W. J. S. 2004. Kamus Umum Indonesia.Jakarta:
Balai Pustaka.
Santoso ,Doyo. 2005 Unsur Religius Dalam Sastra Jawa.
Semarang: CV. Aneka Ilmu.
Suyitno. 2005. Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra Dan
Kemampuan Bahasa.Jogjakarta: PT. Hanindita.
S. Yulius 1998. Kamus Baru Bahasa Indonesia. Surabaya: Usaha
nasional
Teew. A. 2002. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: PN. Balai
Pustaka
30http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/RELIGIUS.pdf

Communicative Language Teaching (CLT) A Language Teaching Approach

Communicative Language Teaching (CLT)
A Language Teaching Approach.
By: Sholikin
Abstract
Communicative Language Teaching (CLT) telah menjadi perbincangan hangat di
anatara para guru bahasa Inggris, mengenai apa itu CLT dan perannya alam
proses belajar mengajar, di seluruh dunia. Pada kesempatan ini penulis
mengulas tentang CLT dan aplikasinya dalam preses belajar B. Inggris di
Indonesia, disamping itu penulis juga sampaikan, apa yang ditawarkan oleh
CLT, serta kemungkinan hambatannya ketika diterapkan serta solusinya sesuai
kontek kelas Indonesia, di samping bagaimana CLT memandang peran grammar
dalam proses belajar mengajar.
Key words: communicative, context, language
I. Introduction.
As the field of English language teaching methodology has developed for past
decades, we have a number of experiences of language teaching methodology,
such as direct method, grammar translation method, audio lingual and so on
and there has been a number of reactions for and against toward them. And
finally, is the latest methodology, communicative language teaching (CLT).
Since its appearance, CLT has been given many definitions. Language use is
stressed rather than knowledge of the language. CLT pays more attention to
language fluency and appropriacy than grammatical form. (Hird, 1995: 3).
While Holliday, (1994: 8) divided CLT into two versions. First, weak version, it
pays more attention to the practice of spoken skill with major input as
presentation of language model but it also involves reading, listening and
writing as an integrated task. While the strong version sees the learners
learning language rather than practicing language and emphasizes how
language works as a means of communication. Most linguists agree that CLT
gives more experience and opportunities to the learner to use the target
language that focuses on meaning rather than form in the real context. The
teacher facilitates guides and monitors them. He/she also is given more
freedom to develop the materials to meet the learner’s need. And I believe
that CLT has opportunities to be applied in Indonesian context, especially at
Madrasah, because CLT has an ability to be adapted into any foreign cultures,
since it has a cultural sensitivity, Holliday, (1994, 11). In this essay, I will
discuss, firstly, what CLT has to offer, secondly, the possible constraints of CLT
when it is applied in Indonesian context and how CLT can be adapted to
Indonesian context and finally, I will draw a conclusion.
What does CLT offer?
First, this essay will discuss the offers of CLT. To meet the goal of learning and
teaching English CLT offers a lot of approaches related to the position of
teacher, student, environment and grammar teaching.
CLT tends to be a leaner centered teaching methodology but it sees the
teacher can play an important role during the class activities. First, the
teacher can act as a bridge between the learner’s culture and the language
target culture. Language is a part of culture and it can not be separated from
it. Otherwise, it will lose its origin. On the other hand, the target language and
its culture might contradict the learner’s culture. In this case teacher can play
as a bridge between the two cultures by bridging and giving a cultural
understanding to them because English as a foreign language must be culturally
accepted (Bochner, 1982, 1986, cited in Ellis, 1996: 4). It means that the
learners must understand that the target language has it own culture. This
culture might different from their own culture. They have to ready to accept it
or making some compromising between the two cultures.
The Role of the Teacher
Secondly, teacher acts as a facilitator during learning activities (Larsen –
Freeman, 1986: 131). He/she has a great role to promote a situation,
which enables learners to perform communicative activities, like a small group
discussion in which the learners can communicate with one another actively or
by negotiating meaning. A role-play is also can be used where learners can
perform a doctor and his patient or a customer and a seller and so on. And
finally, they learn to communicate by communicating, (Larsen – Freeman,
1986: 131). And during communicative activities, the teacher performs as an
advisor. He/she gives some suggestion or guidance to the learners by answering
their questions or monitoring their activities. Little Wood, (1981, cited in
Larson - Freeman, 1986: 131).
How Does CLT see learners?
It offers the changes from teacher centeredness to the learner centeredness,
learner has more freedom to determine the class activities and discuss learning
materials. Through teacher guidance, learners will use their knowledge to
discuss and understand the materials. In this case learners will interact actively
and this leads to communication taking place naturally. (Thompson, 1986).
Furthermore, Savignon (1996) suggested that learners must be active in seeking
information, asking for clarification, and using the word that they have
mastered rather than memorizing the pattern. Because active communication
can not take a place if the learners just memorizes the sentence from the
teacher. They cannot produce their own sentences with the same meaning.
Beside that they must be exposed to a great deal of communicative experience
through games, role-play, and small group discussions, (Savignon, 1991).
During the communicative activities, learners are encouraged to be aware of
risk-taking in making mistakes. Because it is a part of the process of language
acquisition process and it becomes an essential feature to a good second
language learner. Besides that they have to do a bit of “gambling” in guessing
the meaning and take a risk of being wrong (Brown, D. 1994: p.140). To be a
risk taker is important in order that the learners are involved in the
communicative activities.
How does CLT see the Institution?
Institution plays an important role in the success of learning and teaching
English. What has it done to facilitate the class activities such as teaching aids,
resources and increasing the human resources? And how far does the institution
give freedom to the class activities. In English speaking countries where CLT
originates, learning English has an aim, which is instrumentally oriented; the
learners at the end of the course can survive among English speaking
community. So the teacher has more freedom to develop methodology and
class activities using the best instruments to meet the learners’ need.
(Holliday, 1994: 1). Besides that CLT sees institution as decision-maker to
decide what approach and materials are suitable to the class. So there are not
any curriculum constraints. The teaching is designed to develop learner
communicative ability. (Ellis, 1996: p. 6)
The Position of Grammar
And finally I will discuss the teaching of grammar from the CLT point of view.
Grammar. Grammar is very important in the language. Because of it, the
language is understandable and we can converse in it. (Fromkin, 1999: 11).
Furthermore, Savignon (1991: 7) said the communication can not be understood
without structure or grammar. That why CLT rejects the opinion that it does
not teach grammar to learners but it gives other ways of teaching grammar to
the learners. It teaches grammar to the learners using communicative ways
such as using retrospective approach or discussing it among the learners. So
teacher does not teach it directly but the learners discover it trough discussion
(Thompson, 1996: 2). Beside that teacher teaches grammar more freely by
paying more attention to the individual during the communicative activities
(Holliday, 1994: 6). It means CLT still see grammar is the important part of
language which learners must learn but it offers different ways with the
previous approach.
The Possible Constrains
After discussing what CLT has got to offer to English teachers, I will look at he
possibility of the constraints when CLT is applied in the Indonesian context,
especially the junior high school in Indonesia. Our classroom context is very
different from the BANA countries where CLT originates, (Holliday, 1994: 1).
Those countries are modern ones and have sophisticated technology to help the
success of learning and teaching activities. On the other hand, Indonesia is a
developing country in which the facilities to support learning and teaching is
not as good as those countries. As a matter of fact, the teacher is the basic of
the teaching and learning activities. (Liu, 1998: 2). The teacher is everything.
He/she is a stakeholder in the class activities.
1. Teacher Factor
Although, CLT is not a new approach in Indonesia, at least for the state English
teachers but they still have a lot difficulties in applying this approach, because
this approach needs a good English teacher proficiency in adapting and
applying it, in order it is suitable in the Indonesian context. The role of an
English teacher does not only teach English but also how to make the students
are involved as a member of English speaking people. (Holliday, 1994: 3)
Moreover, English teachers in Indonesia tend to use the “pragmatic methods”
such as Presentation Practice and production (PPP) and Grammar translation
method since they are familiar with the techniques and the goal is clear and
easy to evaluate. Although CLT offers very good and interesting activities, it
needs a lot of time for a preparation. While they have to teach a lot of classes
and to take a to support their family like their teacher mates in China, (Hird,
1995: 4) So they apply the method that they have acquired well and which is
easy to evaluate because the goal is clear. (Skehan, 1996: 1).
2. Students Factor
What CLT offers the learners in the class as a stakeholder is very interesting.
Learners have more freedom to decide the materials, activities and others like
the learners do in BANA countries. Whereas, we have to remember there are
some basic differences between the English learners in BANA and non-BANA
countries. Firstly, in BANA countries, the goal of learning English is as an
instrumental goal and the learners study English as a commercial basis
(Holliday, 1994: p. 1). In non-BANA countries, however, English is taught as a
compulsory subject and for a specific purpose. In Indonesia, the purpose of
learning English based on the 1994 or 2004 curriculum for Madrasah Tsanawiyah
and Madrasah Aliyah (junior high school and senior high school), is “English
subject covers the four language skills, reading, speaking, listening and writing.
Those are presented integratedly, though the emphasizing is on the reading
skill. So, the learning and teaching in Junior high school in Indonesia is,
learners have skills in reading, listening, reading and writing through the
themes chosen based on the learner’s language development, interest and
vocabulary acquisition level (1000 words) and appropriate grammar. (The1994
curriculum 1994: 1).
Secondly, in Indonesia English is taught to the learners under 16 years old.
They are English beginners who do not have any ideas about the advantage of
learning English and this condition leads to the low motivation in learning the
target language. Motivation is very important for the learners whether they are
integrative or instrumental ones. Otherwise they will get difficulties is learning
the target language. (Cook, 1991: 73). Because of the reason above it is
difficult to apply what Savignon and Thompson have said in the offer. Because
the learners in Indonesia tend to submit what the materials they will learn to
their teacher. They think they are as a source of knowledge. (Liu, 1998: p. 2)
and they are the key, they know much what to do to their learners in their
social context. (Holliday, 1994: 6).
3. Institution Factor
The other possible factor that might become a barrier in implementing this
method is the institution. Most of the institutions in Indonesia use top down
policy. Everything has been decided by the central government via the Ministry
of Education. The institutions in the grass root just follow the rules of the
game. This condition is also a common problem of learning English in Asia. (Liu,
1998: 2). Although the English curriculum was based on the meaningful
approach, the institution is not given authority to decide the materials, teacher
have to take the topic or sub topic which is written in the curriculum and the
learners do not have any choice about the materials they wish to study.
Otherwise we have a difficulty in the national exam and the learners will fail.
So teachers have to take the materials in the curriculum. Although it is
sometimes does not fulfill the learners’ need. Those condition makes teachers
who do not have creativities become static and the class becomes boring.
In BANA countries their teachers have sophisticated technology to support the
learning activities to meet the students’ needs (Holliday, 1994: 2) But in the
Asian countries specifically Indonesia, we have a limited resources (Liu, 1998:
3). Moreover, the technology can not be applied successfully since the classes
are relatively big that consist of 50’s students and it is also caused by a limited
time, 4 x 45 minutes per week, like what Liu describe about Chinese classes
(Liu, 1998: 3)
Another specific reason the subjects the students must learn in a week are
about 15 subjects, so they learn at least 4 subject a day. These specific
features will influence the learners in making preparations before they go to
school.
`The examination is the final target of any subject in Indonesian school
including English. This condition is also supported by the society that sees the
success of learning is measured by whether the learners can do the test well or
not or whether they can continue their education into a favorite school or not,
they do not care whether the learners can use English as a means of
communication or not. The concept of success among the Indonesian people
has some implications for the learning and teaching of English in the class. So
the teachers drive their students to spend their time in preparing the
examination, which leads them far away from the CLT concept. The learners
are given a lot of exercises to do without any or few communicative activities
(Harmer, 1998: 31).
4. Grammar Factor.
Beside that, the teachers still see grammar is the most important for the
learners. The teachers do not see grammar is a part of language, they teach it
separately from their context as if they will make the learners to be
grammarians or linguists. These problems might be affected by the final
examination, which is held by government, which mostly measures the
grammatical competence of learners. Campbell and Zhao, (1993, cited in Liu,
1998: 2). Other possibility is because the English teacher proficiency is low
(Liu, 1998: 4). And it is easier to teach grammar separately than teach it in the
communicative ways because the teachers do not have enough techniques and
lack of resources. (Liu, 1998: 2)
The Possible Adaptation
Although CLT comes from English speaking countries, which might have
different context with Indonesia, but it still has the chance to be applied in
Indonesia, since this approach is really adaptable in any educational context.
(Holliday, 1994:3). Further more he said CLT has the ability to be adapted in
any facilities of the class room context, institutional and cultural back ground.
(Holliday, 1994: 5).
In this chapter I will look at the specific adaptation of each element involved in
the class activities. First, in service training should be held for English teachers
in order they have enough knowledge and get new information about the
learning and teaching technology and they can adapt any technique in order to
make it suitable to their class room context. (Sullivan, 1996). Beside that they
know their new role in the class, as a facilitator, and mediator during the class
activities and promote the maximum of student talking time. Having enough
technique teachers can do research to analyse and to find the appropriate
method for their own classroom context during the class activities. (Holliday
1994: 2). This is aimed to adjust the level of materials, technique, the
learners’ need and time allowed.
1. Teacher
CLT is software, how good it is, will mean nothing if the human resources do
not support it, do not have enough time, energy and concentration to help it to
be applied in the classroom. We can not disregard teachers' welfare, how can
they become productive if they do not have any interest, how can improve
their quality if they are not given any promotion as promotion for their
dedication and qualification. Those things become crucial to increase their
motivation. So, motivation becomes “a soul” of success.
2. Student
After seeing the possible adaptation of the teachers’ role, let see the possible
adaptation of learner role. The control of the class activities is still on the
teacher hand and it contradicts what CLT offers about the role of the learners.
Teacher should encourage them to take the initiative in activities, by giving
understanding about their new role and by applying less a formal studentteacher
relationship. This relationship might be affected by other subjects and
is also caused by their previous experiences and continues up to now (Holliday,
1994: 2). Beside that, the teacher has to motivate them by explaining the
advantages of learning the target language to increase their motivation and
make the teacher appearance less formal. So the learners can enjoy the class
activities because the materials and information correspond to the learners’
motivation. (Cook, 1991: 75).
I think the role of the learner in my current teaching and learning can be
changed from
the teacher centeredness to the learner centeredness.
3. Institution
The success of implementing CLT also depends on the support of the institution
by improving the facilities, such as audio lingual and video. By using those
teaching aids learners do not only hear the language which is spoken by the
native speakers but they also view the situation and the context of the
language, when and where it is used. More resources should be available for
the learners because most of them come from low socio-economic families.
Having more access to the target language for them is very important. It can be
in the form of folk tales, novels or comics or any book which interests them to
read. The teacher can give them a task to make a brief report such as the
names of characters, the kind of novels, when the story happed, for example.
The barrier, which it is difficult to adapt, is the examination. There are two
kinds of examination that is held by the government. The first is a quarterly
examination. This examination is held in every four months. This examination
will decide whether the learners can continue to higher grade or stay behind.
The second is the final examination. This examination determines whether they
will get a certificate or not. This condition is difficult to change since the
school does not have an authority to hold examination.
4. Grammar
The teaching of grammar proposed by CLT has a great chance to be applied in
Indonesian context as long as the English teachers have a good English
proficiency and grammar teaching techniques. The teacher can use the
materials stated in the curriculum and the teachers can select the technique
which is suitable to the materials for a big class, limited facilities and no
speaking English environment. So the learning and teaching is still in the track
of the curriculum and communicative activities can be done as well..
How Group work learning support CLT.
Educators agree that one of the successes of the teaching and learning
language depends on the technique applied in the classroom activity. There are
several classroom activities that teacher can choose to support the acquisition
of second or foreign language in the class. I believe that group work as one of
the techniques will much help teacher live their language classroom and I am
sure that it will be an effective way to teach language Indonesian context,
since it is very effective for various goals, course content, differences in
students’ level and personalities, (Johnson & Johnson, 1988). Moreover in the
group peer teaching or information exchange among the member group will
occur. This activity is very useful since the relationships among students are
more equal and leads the students to feel comfortable to raise questions and
they are more able to experiment with their new language (Harmer, 1998: 21).
Group work can be held in a large class and heterogeneous student’s
background. (Johnson & Johnson, 1988). Group work as one of the
Communicative Language Teaching, hopefully, will work in the Indonesian
context, because it has already had potentials for cultural sensitivity to be
enhanced and developed in other non English speaking countries. (Holliday,
1994)
Conclusion
In short, Communicative language teaching approach offers a lot of activities
have been successful in the western context. This approach tries to maximize
the learners’ participation in the class activities. This method also gives
learners more freedom to decide the materials, activities and goal of learning.
The teacher creates a situation that enables the activities can be done as in
the real context. Beside that the teacher guides, monitors and does the action
research during the class activities to find the appropriate materials, method
and students’ needs. Teaching grammar by using CLT approach will be very
interesting and also challenging, because the learners can find it by
themselves. Almost all offers from CLT can be adapted in Indonesian context if
the English teachers have a good English proficiency and techniques how to
apply the concept of CLT in the class.
The offers, which are difficult to be adapted, are institution and the
examination. Both of them have relationship with the government policy. The
lack of facilities can be overcome if the teachers have creativity.
I believe that what has been offered by CLT above can be applied in Indonesian
context selectively and cautiously. The teacher must consider the level of
difficulty of materials, methods and situation by doing action research and
does not feel satisfied with what he/she has done. Moreover CLT offers several
teaching techniques to help students participate in the classroom activities
such as a small croup work learning.
Reference
Brown, H. D. 1994. Principle of Language Learning and Language Teaching,
Printice Hall Regent, San Francisco.
Ellis, G. 1996, How Culturally Appropriate is the Communicative Approach?,
ELT Journal, vol 50, No. 3, pp. 213-18.
Cook, V and Arnold, E. 1991. Second Language Learning and Language
Teaching. Great Britain.
Fromkin, V. nad Balir, D. et. Al. 1999. An Introduction to Language. Harcort.
Pty Ltd.
Hird, B. 1995. Hoe Communicative Can English Language Teaching in China?
Prospect, vol. 10. No. 3, pp. 21-7.
Holliday, A. 1994, The House of TESEP and Communicative Approach: ‘The
Special Needs of State English Language Education’ ELT Journal, vol. 48,
no. 1. pp. 3-11.
Harmer, J. 1998. HOE TO Teach English. Oxford.
Larssen Freeman, D. 1986. Techniques and Principle in Language Teaching,
Oxford University Press.
Littlewood, W. 1981. Communicative Language Teaching: An Introduction,
Cambridge University Press, Cambridge.
Liu, D. 1998, ‘Ethnocentrism in TESOL: Teacher Education and the Neglected
Needs of International TESOL Students. ELT Journal, vo;. 52, no. 1, pp.
3-10.
Savignon, S. 1991. ‘Communicative Language Teaching: State of Art’ TESOL
Quarterly, vol. 25. no. 2, pp. 261-77.
Skehan, P. Willis, J. & D. et. Al. (eds) 1994. Challenge and Teaching in
Language Teaching. Oxford.
Sullivan, P. N. 1996. ‘Sociocultural Influences on Classroom International
Styles’ TESOL Juornal, vol. 6, no. 1, pp. 33-34.
Thomson, G. 1996, ‘Some Misconceptions about Communicative Language
Teaching’, ELT Journal, vol. 50, no. 1, pp. 9-15.
http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/cltweb.pdf